Azan Maghrib baru saja berkumandang. Menandakan bahwa waktu berbuka puasa, di hari terakhir Bulan Ramadhan baru saja tiba untuk seluruh umat muslim di kota Beika.
Dengan sabar dan telaten Himawari Uzumaki duduk tepat di sebelah kakaknya. Penuh kasih sayang dia mencoba menyuapi sesendok mi ramen kesukaan sang kakak. Cita rasa yang sama, dibeli di restoran langganan yang sama, persis kesukaan ayah mereka tercinta.
Himawari sendiri, selain menyantap sebiji buah kurma sebagai takjil sebelum mengkonsumsi makanan berat. Tangannya juga sesekali bergerak memasukkan sepotong kue gulungan kayu manis dengan lambat ke dalam mulutnya. Kue manis yang selalu mengingatkannya pada sosok sang ibunda tersayang.
Mengunyah kue dengan agak terburu-buru. Berpacu dengan waktu yang terasa bergerak lebih cepat dari biasanya.
Seharusnya dia menyuapi kakaknya sampai makanan Boruto tandas tak tersisa. Barulah mengurus dirinya sendiri secara bebas.
Apa daya, rasa lapar dan dahaga yang amat menyiksa memaksanya bersikap egois untuk ikutan melahap kue yang berkali lipat tampak menggiurkan. Lambungnya pun butuh diisi, bukan hanya dizolimi dengan membiarkannya terus meronta kelaparan.Kuliah sambil bekerja paruh waktu memang sungguh melelahkan. Himawari jelas menyadarinya sejak awal memutuskan bekerja sebagai kasir di supermarket milik Paman Kakashi. Namun konsekuensi jika mengabaikan tawaran pekerjaan tersebut, jauh lebih besar daripada rasa lelah yang diterima fisiknya yang terasa remuk setiap hari.
Dia masih muda. Tulangnya pun punya susunan yang kuat dan kokoh.Alasan terbesar dari semua pengorbanan itu. Jika bukan dirinya, siapa lagi yang akan memenuhi kebutuhan mereka berdua? Siapa pula yang akan memenuhi stok makanan beku dan kalengan di dalam lemari pendingin? Dan yang lebih penting, siapa lagi kalau bukan dirinya yang menanggung biaya pengobatan sang kakak?
Kartu Asuransi Kesehatan memang membantu tetapi, tidak banyak.Negara maju yang dia tinggali bersama sang kakak juga butuh aliran dana untuk tetap menggerakkan roda perekonomian mereka.
Jauh sebelum kedua orang itu pergi. Sokongan dana tentu mengalir deras. Himawari maupun Boruto bahkan tidak perlu harus bersusah payah seperti saat ini.
Satu suapan hendak dimasukkan kembali ke dalam mulut Boruto. Baru sampai di depan mulut, pria yang dahulunya kekar dan tegap itu malah menolaknya. Mengganti dengan menggerak-gerakkan bibirnya menguntai frasa yang tak dapat Himawari mengerti sepenuhnya.
Dalam lecutan kebingungan, matanya bersiborok.
"Kakak bicara apa? Pelan-pelan, Hima nggak paham."
Penuh konsentarsi Himawari mendengarkan perkataan yang memental keluar dari mulut kakaknya.Terbata, susah payah, dia pun sedikit mampu menangkapnya walau dengan dahi berkerut dalam.
Tak lama, ekspresi Himawari menjadi sedingin balok es.
"Mereka sudah pergi." Tegasnya.Seakan menyangkal pernyataan Himawari barusan. Boruto menolak mentah-mentah satu suapan berikutnya. Kepala kuning pria itu, yang sekali lagi persis kopian sang ayah, satu-satunya yang bisa bergerak bebas malah ditelengkan. Menolak untuk menerima asupan apapun guna membasahi kerongkongannya.
"Demi Tuhan, makanlah sebelum aku tidak punya waktu menyuapimu Kak!" tersulut emosi, dada Himawari bergerak naik turun.
"Pa...a..., maa..."
Frasa yang terpenggal tidak jelas. Ibarat seorang anak kecil yang baru belajar mengenal suku kata.
Ucapan penuh usaha itu terus-terusan dilafalkan tanpa jeda. Berdengung riuh diantara sunyinya keadaan tempat tinggal mereka."Cukup. Aku bilang, mereka sudah pergi!"
Tidak tahan, sumbu pendek Himawari tersulut sempurna.
...
KAMU SEDANG MEMBACA
NaruHina Universe : Their Love Story
Fanfictiontidak peduli siapapun kamu bagaimanapun kehidupanmu aku akan selalu mencintaimu di setiap hari di setiap waktu bahkan d Universe manapun, aku akan menemukan dan mencintaimu seutuhnya (kumpulan) One shot NaruHina yang akan di Update ketika Ide sudah...