[8] Teacher

48 12 0
                                    

———

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

———

Sekarang aku berada di kelas dua belas. Tahap akhir dari sekolah menengah atasku dan waktu penentu untuk mengetahui apa kelanjutan hidupku selanjutnya. Hari ini pada tanggal 25 Juli adalah hari pertamaku berada di kelas 12.

Kelas tetap dan tidak dipisah. Aku masih bersama teman-temanku. Dan lingkungan di sekitarku terasa sama saja bagiku. Aku duduk di sebelah jendela. Kelasku berada di lantai dua. Karenanya jendela bisa menyorot kelas dan halaman belakang. Tatapanku sedari tadi tertuju ke arah sana dengan pikiran kosong. Sampai akhirnya, kelas dimulai karena guru telah masuk. Aku cuma menghembuskan nafasku gusar.

"Selamat pagi anak-anak, kali ini Mr. Leo yang akan menjadi wali kelas kalian semua!"

Wajah malas yang awalnya tertampil berganti dengan wajah terkejut. Seorang guru dengan wajah yang sangat kukenal. Kulit putih pucat seputih susu dengan suhu yang begitu dingin saat aku memegang tangannya. Namun, sebuah kacamata menghiasi wajah tampan miliknya.

Guru tersebut adalah Delio, orang yang selama ini  kurindukan.

Tatapanku bertemu dengannya. Delio menatapnya masih dengan senyum lebar khas miliknya. Sementara aku hanya menatapnya dengan wajah terkejut.

Sebuah ingatan-ingatan baru masuk ke dalam pikiranku dengan tiba-tiba. Seolah serpihan-serpihan dari diriku yang kembali.

Itu saat aku berada di perpustakaan sewaktu aku menginjak kelas sepuluh. Saat aku mengambil buku yang kusukai dan justru bersitatap dengan guru yang ada di sampingku. Itu adalah Delio. Dia tersenyum ramah ke arahku, tetapi aku justru mengabaikan dirinya.

Lalu, saat aku berada di ruang kesehatan karena pingsan sewaktu upacara. Delio, guru yang belum kukenal sebelumnya, menanyai keadaanku, memberiku obat, bahkan aku masih ingat ekspresinya saat itu yang begitu mengkhawatirkan diriku.

Selanjutnya saat aku terlambat dan gerbang telah tertutup. Namun, waktu itu Delio juga terlambat. Jadilah aku terselamatkan olehnya, karena guru diperbolehkan untuk masuk. Aku ingat saat itu, Delio berbincang denganku sambil bercanda jika besok terlambat bersama lagi. Aku hanya menanggapinya dengan senyuman sopan karena dia adalah guruku.

Sekarang aku tengah berada di kantor. Wali kelasku, Mr. Leo alias Delio itu sendiri, meminta bantuan beberapa anak untuk ke kantor agar membantunya membawakan buku tugas kelas. Temanku menerima setumpuk buku kelas kami, lalu segera keluar dari kantor. Selanjutnya, aku juga menerima setumpuk buku tersebut dari Delio.

Setelahnya, kami bertiga berjalan keluar dari kantor untuk menuju ke kelas. Temanku berada di baris paling depan dan Delio berada di belakangku. Kami berjalan di lorong, langkah temanku begitu cepat sehingga jarak kami terpaut cukup jauh. Lalu, tiba-tiba tumpukan buku tersebut diambil oleh Delio dan aku tidak membawa buku sedikit pun.

"Mr., biar saya saja yang membawakan." Aku berujar dengan tidak enak hati.

Delio terhenti sejenak. Lalu, dia menoleh ke belakang. "Tidak apa-apa, lagipula kamu kelihatan kurang sehat, lebih baik kamu istirahat di ruang kesehatan." Setelahnya, Delio berbalik untuk meneruskan langkahnya.

"Kenapa?" Aku berujar sambil meremat tanganku sendiri.

Delio menghentikan langkahnya saat mendengarku. Lalu, dia menoleh ke arahku dengan tatapan bingung.

"Kenapa Mr. Leo selalu memperlakukanku berbeda dari murid lainnya? Kenapa aku merasa seolah Mr. Leo sering memperhatikanku?" Aku berujar dengan suara yang tidak terlalu keras. Keadaan sekitar cukup sepi sehingga tidak ada yang mendengar, kecuali dirinya, mungkin.

Aku mendongak ke atas. Menatap wajah Delio dengan kacamata yang menghiasinya dengan lekat. "Mungkinkah Mr. Leo mengenalku?" Aku bertanya.

Aku ingin mengetahuinya. Jika dia masih mengingatku. Jika dia belum melupakan diriku selama hidupnya. Aku ingin tahu bagaimana yang Delio pikirkan saat ini tentangku.

Delio terlihat berpikir sejenak untuk menjawab pertanyaanku. Lalu, dia mendongak dengan wajah ramah. "Tentu saja aku tahu, kau adalah anak kelasku, Leya. Gadis ambisius yang cukup penyendiri di kelas, bukan?"

Jawaban yang dia katakan padaku seolah membuatku harus menyadari keadaanku dan keadaannya saat ini. Guru dan murid. Bisakah mereka bersama meski terpaut jarak umur yang jauh? Selebihnya, aku mengetahuinya sekarang.

Delio sudah melupakanku.

Seolah aku tidak pernah ada dalam hidupnya sekalipun.

Aku tersenyum dengan terpaksa, meski sesak di dadaku membuat badanku bergetar. "Baik, Mr. Leo, aku akan beristirahat."

Setelahnya, Mr. Leo berjalan lebih dahulu dan menyisakan diriku yang masih berdiri di lorong sekolah. Langkahku segera membawaku ke ruang kesehatan. Lalu, petugas kesehatan menanyai bagaimana keadaanku. Namun, justru air mata yang keluar.

"Saya merasa sesak, tolong beri saya obat sesak nafas."

Selanjutnya, aku hanya bisa menangis di atas meja belajarku sendiri. Sekarang aku menutup buku yang ada di hadapanku agar tidak basah mengenai air mataku sendiri. Aku harus move on. Aku harus merelakan Delio jika nantinya dia akan menikah.

Aku menyandarkan tubuhku pada kursi meja belajar. Lalu, tatapanku tertuju pada atap kamar.

"Kenapa dari semua guru harus dirinya yang menjadi wali kelasku?"

To be continued

[✓] Star Lost | Kim DokjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang