"Udah siap semua, Ca? Cek lagi, takut ada yang ketinggalan." Ujar Naira, ibunda dari perempuan yang sedang mengamati kamar tidur kosongnya. "Ayo, jangan lama lama, Sayang."
"Udah, Ma." Dengan nada yang ia gunakan, Caca berusaha mengusir ibu nya dari ruangan itu, dan syukurnya berhasil. Caca benci semuanya, Ia benci adaptasi, ia benci lingkungan baru, ia benci Ibukota yang penuh polusi dan menakutkan itu. Namun, Caca hanya bisa pasrah ketika ayahnya mengatakan Bekasi tidak mencukupi apa yang ia butuhkan.
Jakarta memberikan apa yang Caca butuhkan. The Hundred School, sekolah seni satu-satunya di Indonesia yang resmi bekerja sama dengan The Juilliard, sekolah seni Internasional di New York, Amerika Serikat, setidaknya itu alasan ayahnya memaksa untuk meninggalkan Bekasi. Caca membantah dengan mengatakan ia tak butuh The Juilliard itu, lagipula bukan itu yang ayahnya mau.
"Apa apa jangan lama. 15 menit lagi kita berangkat." Pria dengan nada ketus yang baru saja ada di pikirannya itu membuyarkan lamunan Caca. "Iya, Pa." Jawaban singkat itu Caca berikan tanpa menatap wajah ayahnya.
Caca menghela nafas pelan melihat banyaknya orang yang keluar masuk rumahnya. Istana itu kosong, hanya ada bangunan utuh yang tetap kokoh berdiri.
Mau tak mau, segalanya tentang Bekasi harus segera Caca tutup.
Segalanya.
;
Rumah baru nya dua kali lipat lebih megah. Tidak, sangat megah. Bau khas cat dinding yang belum lama kering masuk ke indra penciumannya. Beberapa pria dan wanita berpakaian rapi memimpin Caca menaiki tangga sembari membawa banyaknya barang. Melewati lorong tempat sertifikat dan piala dipajang. Lemari memuakkan, kata Caca. Ia pikir dengan adanya acara pindah rumah, segala pameran-pameran omong kosong itu hilang. Disimpan di gudang, atau setidaknya dibakar. Caca cukup kecewa itu tidak terjadi.
Caca memberi nilai 9/10 untuk kamar barunya. Tidak terlihat berbeda dari kamar sebelumnya, sangat luas, pintu kamar mandi di sudut akhir kamar, dan...
...sebuah pintu lagi.
Caca mengernyitkan dahinya. Mengucapkan terimakasih dengan senyum manis pada asisten yang membawa dan menata barang-barangnya, lalu berjalan perlahan ke arah pintu aneh tersebut.
Dingin. Suhu pendingin pada ruangan tersebut diatur 18°C. Cat dindingnya berwana krem, kosong, hanya dilengkapi pendingin ruangan di atas sudut. Caca memutuskan keluar dari ruangan tersebut, lalu dikejutkan oleh kehadiran ayahnya yang sangat tiba tiba. Lengkap dengan jas dan wangi yang sangat khas dan Caca kenali, memasukkan tangannya pada saku celana.
"Kamu gak tanya Papa itu ruangan apa?" Tanya nya dengan nada khas, dingin dan terkesan acuh. "Atau kamu ada ide itu buat apa?"
Caca hanya menggeleng pelan. Sesuatu sempat terbesit di pikirannya, sebelum ia sadar akan kemungkinan yang sangat tipis dan mustahil, bahkan terkesan konyol.
"Harusnya sekarang udah jadi ruangan itu, tapi mungkin sebentar lagi baru ada yang dateng. Tunggu aja, Papa tau kamu pasti suka." Pria bernama Krisna Satya Abigail itu tersenyum tipis, lalu mengusap puncak kepala putri sematawayangnya perlahan, lalu berjalan keluar kamar dan menutup pintu.
"Gak jelas." Caca memutar mata nya malas setelah memastikan ayahnya tak lagi mendengar. Ia tiba tiba teringat, beberapa lukisan cantik yang ia buat belum ada pada kamarnya, namun perempuan berusia 16 tahun itu memilih tidak peduli. Paling tidak Krisna membuang atau membakarnya. Ia membanting tubuhnya ke arah kasur, sedikit bertanya-tanya apa tujuan ayahnya membuat ruangan itu. Sebelum, suara ketukan pintu membuatnya berdecak malas dan berjalan ke arah suara itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lalu, Apa Masalahnya?
Teen FictionBagaimana rasanya terjebak dalam lorong sepi tak berujung? Menakutkan, gelap, sepi. Lalu, sendiri. Apa sempurna sebuah keharusan? Sebuah syarat? Atau hanya sebuah kiasan dan bualan belaka? Tidak ada yang tau. Lagipula, siapa yang sempurna di dunia f...