13

579 49 7
                                    

Suara instruksi dari airport announcer menggema, Phuwin menggenggam tangan lelaki kecilnya dengan kuat. Mereka melangkah pelan keluar sedikit demi sedikit meninggalkan area bandara, tak sedikitpun lelaki manis itu menampilkan wajah sedih. Tak peduli seberapa bingungnya Leon, dia masih membisu enggan berucap sepatah katapun.

"Mommy..."

Phuwin sedikit menunduk, memperhatikan wajah sedih itu tak kuasa lagi. "Kenapa sayang?"

"Kenapa kita pergi jauh sekali?"

"Jauh? Ini dekat"

Leon menggeleng, mengedipkan kelopak matanya yang mulai memanas "ini jauh sekali, kita sudah lama di atas langit. Dan sekarang Daddy pasti khawatir, dia juga merindukan kita"

Keheningan panjang.

Phuwin mendudukkan diri agar lebih sejajar pada si kecil, matanya tulus penuh rasa haru dan harapan yang luas. "Percayalah nak... Segalanya akan berjalan, sepatutnya berjalan, dia tetap akan berjalan"

"Mommy... Apa kau terluka?"

Senyum tipis, air mata sedih itu tanda kejujuran pasti "maafkan Mommy, kita harus tetap disini"

Leon kecil memeluk erat, wajah hanya kepala orang dewasa yang sanggup masuk dalam rengkuhannya, tak pernah masalah. "Jangan menangis lagi, Mommy tak pernah sendirian, Leon ada disini..."

"Maafkan Mommy, maaf..."

Sejuta rasa bersalah, tak akan pernah bisa membayar hidup bahagia yang kini ia dapatkan. Leon tak berhenti mengukir senyum, mengucap syukur yang banyak saat sosok manis kesayangannya terus menangis "kebahagiaanku tak pernah berkurang sedikitpun, selama Mommy masih ada disini"

Lantai keramik cerah di bawah kaki mereka mendingin, suasana sejuk kota itu seolah mengucapkan selamat datang. Tangan dewasa bertautan kuat dengan jemari jemari kecil, melontar senyum mencoba mengusir keraguan dan gundah, mereka berjalan menyusuri trotoar untuk menghentikan taksi.

Phuwin tak pernah merasa khawatir, tak pernah pesimis akan jalan hidup yang telah terbentang di depan sana. Dia telah sakit, dan Sekarang semakin sakit. Namun kata menyerah belum pantas ia deklarasikan sekarang, selagi sosok kecil kesayangannya masih bisa mengucap rasa syukur atas kehadirannya.

Segalanya cukup.

Di atas taksi, perjalan menuju ke rumah kakek dan neneknya. Phuwin tak dapat mengutarakan rasa sakit dan bahagia yang bersatu dalam hati, luka yang ia bawa dari kota kelahirannya datang ke tempat ini hanya mengharapkan obat, tak pernah lebih.

"Mommy... Kita mau kemana?"

Sejenak, jemari lentik si manis menyisir halus rambut Leon "ke rumah kakek dan nenek"

"Humm? Bukankah kakek dan nenek Leon sudah meninggal?"

"Bukan begitu sayang..." Phuwin tertawa pelan, menanggapi kepolosan anaknya berusaha tetap riang "kakek dan nenek Mommy, jadi ini buyut mu..."

"Ahh... Begitu yah..." Leon mengangguk-angguk "apa kita akan tinggal disana?"

"Humm... Kita akan tinggal disana, melanjutkan hidup kita disana. Dan suatu saat nanti, kakek dan nenek yang akan menggenggam tangan Leon, untuk berjalan lebih jauh" bibir kelu itu digigit kuat, ada isakan yang tertahan.

"Kenapa tidak bersama Mommy saja?"

Mencoba lebih tenang, Phuwin menaikkan sang anak di pangkuannya penuh perhatian "apa Leon sayang pada Mommy?"

"Tentu saja... Leon sayang.."

"Jika nanti, Mommy harus pergi—

—tidak... Tidak boleh..." Leon membalik tubuhnya ke arah Phuwin "kenapa Mommy bilang begitu?"

Hening lagi.

Tangan Phuwin mengarah ke depan, mengambil satu Tissue saat kepalanya pening. Seharusnya Leon terbiasa sekarang, saat kertas lembut putih bersih ternodai dengan tetesan kental darah yang tak berhenti mengucur dari hidungnya sejak saat itulah Phuwin paham, bahwa sosok lelaki kecil dihadapannya berharga melebihi apapun.

"Mommy..." Dia mencerna sejenak, dengan wajah kecil mengeras berusaha menahan air mata sembari mengusap darah yang masih saja bercucuran di wajah manis Phuwin. "Berjanjilah, Kita akan hidup bersama, untuk waktu yang lama"

"Mari kita mengubah janjinya" Phuwin menggenggam tangan Leon dengan erat "kita akan terus hidup bersama, hingga tuhan menghentikan segalanya"

Sebuah retorika gila tak berdasar, sekarang Leon mendapati dirinya tenggelam, terperosok jauh dalam kegelapan. Anak kecil dengan wajah bersemangat tak nampak lagi, dengan keras kepala Leon hanya bisa menggeleng tak terima. "Aku menantang tuhan... Untuk Mommy, aku akan menantang tuhan..."

.
.
.
.
.

Rasa nyeri, suasana panas dan terbakar di sekitaran kaki membuat sosok lelaki tegap terus melenguh tak nyaman di atas ranjang inap. Selang infus masih mengalir terpasang dengan rapi, hanya pergerakan memberontak tak berarti.

Ruangan dingin, senyap menusuk tajam. Bau obat, alkohol dan alat medis lain menyeruak. Pond mencoba menggosok tangannya ke seprai, seolah memastikan dia masih hidup dan bernafas.

"Tuan Pond..."

Kedengaran seperti namanya, nada serak suara wanita tua tak asing terus memanggil. Dia masih bungkam, bahkan untuk membuka kelopak mata begitu berat. Rasa sesal tiba-tiba menyerang kala ingatannya mulai tersusun rapi, rasa pahit yang membakar pada akhirnya telah mencapai akhir. Dengan utuh, segalanya berakhir.

Bagaimana dia akan membuat permohonan kali ini? Tak tahu malu dia telah menciptakan begitu banyak kekonyolan. Menyakiti sosok manis yang berharga, dan menuai jarak antara malaikat kecil kesayangannya yang lain.

Beku, untuk sedetik, dua detik, hingga bermenit-menit tindakan medis mencoba membuatnya membuka mata. Apakah ketakutan yang melekatkan lidah pada langit-langit mulutnya? Atau hanya reaksi lamban tubuh yang di hadapkan pada rasa bersalah? Kini Pond sadar, ini hanya harapan semu untuk mendapat jawaban.

"Tuan Pond Naravit? Apa anda mendengar saya?"

Suara lain berganti, terus menerus berbeda. Hingga dia membuka sedikit kelopak mata menyesuaikan cahaya redup, menyisakan kebimbangan panjang yang menyedihkan.

"Baiklah, tuan Pond Naravit sudah sadar. Tolong pastikan perawatannya, dan tambahkan obat ini"

Sayup-sayup terdengar, Pond merasa pening luar biasa. Mencoba membuka mulut, menyampaikan kata. Namun, belum sanggup.

"Tuan Pond?" Bibi Chai mendekat, mengusap bahu pria tegap itu dengan wajah nanar.

"Phuwin... Leon..."

"Tuan, beristirahatlah..." Jawabnya dengan tenang.

Pond mengatupkan bibir, air matanya mengalir. Suara wanita paruh baya itu ringan, hampir tak bernada seolah menegaskan bahwa permintaan maaf darinya tak pernah bisa mengubah keadaan.

Gerak badan yang tak bisa sempurna, mencoba mengangkat satu tangannya memohon menarik lengan wanita itu. Pond memejam, mencoba kembali berucap. "Phuwin... Leon..."

"Aku tak bisa bicara tentang apapun" potongnya dengan cepat, cekatan "tapi tentang kondisi anda, saya berjanji tuan muda akan mengetahuinya"

Pond meneguk saliva, antara yakin dan tidak bahwa Phuwin masih peduli pada kondisinya.

"Istirahatlah tuan, jangan memikirkan apapun. Sekarang kau bahkan celaka karena kecerobohan mu, aku yakin ini tak akan memberi dampak baik pada hubungan kalian"

"Phuwin dan Leon... Aku hanya butuh mereka"

.
.
.
.
.
.
.

To be continued

Jangan lupa follow komen dan ninggalin jejak 💙💙💙💙

Wishes And Dreams [Pondphuwin]18+[END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang