6.{Ren!!}

1 0 0
                                    

Roy's POV

Malam itu, sekitar pukul delapan, pak Rizky meneleponku, mengatakan agar kami semua segera menuju TKP kedua kasus. Jika sebelumnya kak Nanta yang asal menyambar jaketku, kali ini giliranku balas dendam. Berkedok tak sadar, aku menyambar jaket kak Nanta di dekat pintu.

Sesampainya di monumen Palagan, kak Nanta menarikku, dengan dalih menemani ke toilet sebentar, lantas menyambar jaketnya yang aku kenakan.

"Jaketku kok dicolong, seh???"
("Jaketku kok dicuri, sih???") Sembur kak Nanta padaku. Tapi, aku langsung sadar, kalau dia mengenakan jaket yang mirip, plek ketiplek.

"Lah, terus, itu mas Nanta pake jaket siapa?" Tanyaku polos.

Setelah kulemparkan pertanyaan itu padanya, aku melihat dengan jelas, pipi kak Nanta memerah. Langsung saja ku goda.

"Ciee... Jaket e sinten to, mas?" ("Ciee... Jaketnya siapa, mas/kak?")

Namun sepertinya aku memang sedang sial saat itu. Kak Nanta spontan menyikut perutku.

"Shh!! Meneng o! Wes, ayo balik." ("Shh!! Diam kamu! Sudah, ayo kembali.") Bisiknya.

Kami berdua pun kembali setelah menghabiskan 10 menit! Kak Aini dan Ren, yang kebetulan duo fujoshi, langsung saling melemparkan bisikan - bisikan satu sama lain.

"Ren, ojo kumat sek, Ren. Lha wong mung ngancani nang jeding tok kok langsung bisik - bisik ngunu..." ("Ren, jangan kumat dulu, Ren. Orang cuma nemenin ke kamar mandi doang kok langsung bisik - bisik begitu...") Komentarku, mulai kesal dengan dua orang itu, hanya dibalas dengan cekikikan.

Aku hanya memutar bola mataku dengan malas dan mengikuti yang lain menemui pak Rizky.

"Akhirnya kalian sampai juga," dengus pak Rizky agak kesal.

Seorang penyidik lain, yang mungkin baru kami temui hari ini melepas earphone yang saat kami datang pun masih setia menempel di telinganya setelah mendengar dengus pak Rizky.

"Oh, iya, ini anggota kami yang baru bisa bertemu kalian karena sebelumnya sibuk dengan pemeriksaan barang - barang bukti." Ucap pak Rizky saat menyadari raut wajah bingung kami.

"Perkenalkan, saya Ziare Surya Askara, bisa dipanggil Surya atau kak Surya saja. Saya harap kita bisa bekerja sama untuk menyelesaikan kasus ini." Ucapnya, memperkenalkan diri.

Ohh, kak Surya yang waktu otopsi itu... Pikirku. Memang, seingatku kami sempat bertemu saat autopsi jenazah Ai.

"Jadi, pak Rizky, ada temuan apa yang mengharuskan anda memanggil kami di jam makan malam grup kami?" Tanyaku, mengembalikan atensi pada kasus.

"Soal itu, biar Surya yang menjelaskan." Jawab pak Rizky.

"Oh, iya, jadi soal pengakuan Ara sebelumnya, dia bilang kalau dia sudah teringat sedikit tentang pelaku." Jelas kak Surya.

Setelah sedikit menjelaskan, kak Surya pun memanggil Ara untuk menjelaskan secara lebih detail pada kami.

"Jadi, apa yang sudah mulai dapat sampeyan ingat lagi, mbak Ara?" Tanya Fajar, membuka.

"Sebelumnya, mas, mbak, mata saya rabun jauh. Dan kondisi di lokasi waktu itu saya lagi agak jauh dikit dari pelaku dan korban." Ara memulai, sebelum menjeda sedikit, meminta air minum pada kak Rendy.

"Karena kondisi mata saya yang rabun jauh itu, mas, mbak, jadi saya belajar untuk menghafal orang dari postur badannya." Pada titik ini, aku dapat melihat Ara mulai sedikit gemetar. Mungkin dia belum terlalu siap mengatakannya, namun dia memaksa dirinya sendiri untuk menyampaikannya.

"Dan pelaku pas itu, saya lihat, punya postur badan yang mirip sama salah satu adik saya. Tapi saya masih mau positive thinking, untuk sekarang," lanjutnya.

Ayu yang menyadari kalau Ara gemetar spontan memeluknya, menenangkan Ara.

"Saya tahu ini berat buat mbak Ara buat menyampaikannya karena mungkin bersangkutan dengan adik mbak Ara. Kami sebenarnya engga maksa sampeyan buat bilang sekarang. Tapi terima kasih atas infonya, mbak." Ucap Ayu sembari mengelus punggung Ara.

Akhirnya, setelah sedikit melanjutkan perbincangan, kami, ah, tidak, maksudnya aku, kak Surya, dan kak Nanta bertiga mengantar pulang Ara sebelum kembali ke kediaman kak Aini, sekitar hampir pukul 11 malam. Sempat mampir ke warung mie ayam di dekat rumah kak Aini untuk mengisi sekaligus menghangatkan perut. Di saat itulah, kami, para lelaki, memanfaatkan waktu kami bertiga untuk membicarakan hal yang jarang kami bicarakan di depan perempuan. Termasuk, yah, jokes bapak bapak tentunya.

"Roy," panggil kak Surya yang hanya ku balas dengan deheman.

"Kenapa air mata warnanya bening?" Tanyanya.

"Ah, pasaran, Sur, ganti, ganti!" Potong kak Nanta sebelum sempat ku jawab.

"Dih, ngunu sampeyan, mas" nyinyir kak Surya.

"Ya wes, gantian aku ae, mas" ucapku menengahi.

"Sampeyan tau setan Sadako, to?" Tanyaku.

"Ohh, sing biasa metu seko TV iku kae to? Ya, ya, tau," timpal kak Nanta.

"Nah, kenapa Sadako metu ne mesti lewat TV?" Tanyaku lagi sembari nyengir.

"Napa, dek?" Tanya kak Surya balik.

"Soalnya, nek metu seko ati dibarengi niatan apik, kae jenenge shodaqoh, mas" jawabku, tertawa terbahak - bahak.

Tiba - tiba, ponsel kak Nanta berdering. Ada telepon dari kak Aini masuk. Kak Nanta segera mengangkatnya sembari sedikit menjauh.

Setelah menutup telepon, kak Nanta kembali dengan wajah yang sedikit murung.

"Kenapa, mas?" Tanyaku.

"Ayo, kene kudu balik nang TKP saiki." Jawab kak Nanta dengan nada datar.

Sesampainya kami di monumen Palagan, aku merasakan kakiku melemas saat melihat siapa yang bersimbah darah di rerumputan situ.

"Renn!!!" Seruku berlari menghampiri Rian yang memangku tubuh adik angkatnya itu...

To Be Continued...

Pliss Mamien kena write block keknya😭😭

Total kata : 822

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 07 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Dibalik Es Itu...Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang