22

4.9K 475 70
                                    

Waktu berjalan dengan begitu cepat dan terasa agak menyakitkan—bagi Neo. Tidak terasa kehamilannya sudah memasuki usia sembilan bulan yang artinya tinggal menghitung hari ia memasuki ruang operasi. Sudah berbulan-bulan berlalu dan hubungannya dengan sang suami, Bastian, tidak mengalami perubahan yang cukup pesat. Hubungan keduanya masih jalan di tempat yang di mana ketika orang asing melihat mereka, orang-orang itu tidak akan percaya bahwa Bastian dan Neo adalah pasangan sah.

Yang Neo tahu, belakangan ini Bastian mulai fokus kuliah. Dia juga sering melihat dominan itu mengerjakan tugas. Bastian pun sudah jarang keluar dan lebih sering menghabiskan waktu di apartemen dan tempat gym. Namun, meski begitu, itu tidak berdampak apa-apa untuk hubungan keduanya. Bastian dan Neo seperti orang asing yang tidak terikat apapun.

Berbeda seperti kemarin-kemarin, hari ini Bastian tidak pulang, mungkin dominan itu pergi bekerja. Malangnya, bersamaan dengan itu Neo merasa perutnya mulai aneh. Perutnya tiba-tiba nyeri dan sakit secara bertahap. Rasa mulas yang awalnya bisa ia tahan, pelan-pelan mulai meningkat hingga membuatnya terbangun dari tidur. Neo meraih hp untuk melihat jam yang ternyata sudah menunjukkan pukul empat sore. Sembari meringis, Neo bangkit dari kasur dan berjalan keluar kamar untuk mengecek apakah suaminya sudah pulang.

Di luar kamar, Neo mendapati tidak ada siapa-siapa di sana selain dirinya. Ia mengecek ke balkon serta mengetuk pintu kamar mandi, namun nihil. Neo berkesimpulan bahwa Bastian memang belum pulang. Neo meremas gagang pintu kamar mandi saat rasa mulasnya kian terasa melilit. Keringat dingin mulai membanjiri tubuhnya yang hal itu membuat ia langsung panik. Sadar jika kandungannya sudah berusia sembilan bulan membuat Neo yakin jika ini adalah tanda-tanda dirinya akan melahirkan. Tanpa menunggu lagi, Neo mengambil hp di kamar untuk menelepon ibunya.

"M-ma ...."

"Kamu kenapa, Neo?!" Terdengar suara grasak-grusuk di seberang telepon.

"Perutku sakit banget, Ma ...."

Mendengar itu, Jenna tidak bisa untuk tidak panik.

"Kamu di apartemen sekarang?"

Neo hanya berdeham seraya mengusap perut buncitnya.

"Tunggu Mama, ya! Mama ke sana sekarang. Kamu jangan panik dan atur napas! Teleponnya jangan dimatiin!" Jenna berkata dengan nada panik. Wanita itu menyuruh sang anak untuk jangan panik, namun dirinya sendiri yang panik. Bayangan ketika ia melahirkan Neo, membuat mata Jenna mulai memerah. Wanita itu mendadak tidak tega ketika membayangkan bahwa Neo sekarang sedang merasakan rasa sakit itu.

Di apartemen, Neo terus mengusap perutnya. Setelahnya, tangannya turun untuk meremas sprei kasur. Demi apapun, rasanya sakit sekali. Neo ingin sekali berteriak sekencang mungkin untuk melampiaskan rasa sakit di sana.

"Mama, sakit ...." Neo akhirnya mengadu pada Jenna.

Jenna yang sedang menyetir sontak mengusap air matanya yang tiba-tiba keluar.

"Sabar, ya, Sayang. Mama sebentar lagi sampai. Tolong tahan, ya!" Jenna berkata dengan nada lembut dan sedikit bergetar.

Beberapa saat kemudian, Neo mendengar pintu apartemen diketuk dari luar dan ia langsung bangkit untuk membukanya. Ia tahu jika itu adalah ibunya karena dirinya sudah diberi tahu bahwa sang ibu telah tiba. Ketika berdiri dan berjalan, Neo merasa seperti melayang. Raga-nya seolah tidak menjejaki bumi serta pikirannya sedikit kosong.

Melihat Neo yang sudah pucat, Jenna semakin panik. "Kamu udah siapin perlengkapan bayi?"

Neo mengangguk seraya mencengkeram sisi pintu.

"Mana?"

"Di bawah ranjang, Ma."

Jenna langsung masuk ke kamar dan mengambil tas ransel berwarna biru elektrik yang berisi perlengkapan bayi. "Ayo!" Jenna membantu Neo berjalan menuju mobil. Di sepanjang koridor, wanita itu terus menenangkan Neo yang terus meringis kesakitan.

Love or Lust? [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang