Jeremy Joan Mahesbara

27 3 0
                                    

Tiada hari tanpa mengganggu si gay sialan, Deza. Terlahir sebagai seorang yang straight adalah sebuah anugrah buat gue. Tidak bisa gue bayangkan kalau gue harus menjadi jalang lacur seperti Deza. Bagaimana mungkin gue dulu berteman dengannya? fuck, berteman? no, just a neightbor.

Dengan beraninya dia mengungkapkan rasa suka kepada gue? what the hell with him? tidak menyangka bahwa selama ini dia seorang gay. Kesal, gue sangat kesal bahkan benci terhadapnya, sudah 1 tahun lebih gue melampiaskan amarah gue kepadanya.

Joan, pria tampan dan pintar, tinggi berisi, calon pilot, idola para wanita adalah seorang gay? hahaha sebuah mimpi buruk buat gue.

lagi pula apa yang mengharuskan gue gay kalau ada wanita seksi yang menjadi pacar gue, Lily. Lihatlah bentuk badannya yang seperti gitar spanyol. Seorang kakak kelas yang menjadi kembang sekolah bisa gue dapatkan. 

gue lihai dalam memainkan peran, menjadi murid teladan di sekolah dengan berbagai bakat dan prestasi. Dan peran lainnya adalah brengsek. Tergantung situasi dan kondisi, di depan keluarga dan orang penting gue adalah boy crush, karena gue harus menjaga nama baik Daddy yang seorang Dewan dan Mommy yang seorang Dokter, apalagi Grand Pa adalah mantan menteri.

Sedangkan di tongkrongan gue adalah penggila pesta dan sex bukanlah hal yang tabu, tentunya gue pemilih dan selalu menggunakan kondom, kalau tidak gue bakal punya banyak anak dari pacar dan mantan gue.

.

.

.

Sangat menyebalkan setiap hari harus berpura-pura baik terhadap Deza di depan orang tua gue dan mamanya, contohnya dengan bareng ke sekolah. Karena ini adalah kebiasaan kami dari kecil, yang SD, SMP, dan sekarang SMA selalu satu sekolah. Lucu jika mengingat gue dulu nangis kalau tidak satu meja dengan Deza, kenapa dia harus menjadi gay.

Beruntung teman kelas gue tidak tahu kalau gue dan Deza pernah berteman.

Awalnya gue merasa kehilangan sosok Deza, ya bagaimana nggak orang udah 9 tahun bersahabat, tapi gue harus lawan itu ya dengan cara menghancurkan dia. Melihat wajahnya saja buat gue muak, kembali mengingat saat ia menyatakan rasa sukanya.

Selama 1 tahun lebih ini gue menjaga jarak darinya di depan umum, cuek akan urusannya di kelas, dan memastikan dia tidak punya teman. Jahat? Dia lebih jahat karena menghianati persahabatan demi rasa gay-nya.

Dan lihatlah sekarang ia duduk di meja paling belakang dengan semua orang mengabaikannya. Tentunya gue mempengaruhi semua orang, karena gue dominan di kelas dan sekolah ini. Siapa yang tidak mengenal gue? Dan siapa yang bakal berani melawan gue? Even gue salahpun gue bakal bisa benar akhirnya.

.

.

.

Pulang sekolah sore habis dari mengantar Lily, gue kembali lewat jalanan depan sekolah, gue melihat Deza di halte bus, bersama seseorang. Hmm mereka terlihat akrab? Siapa orang itu? Anak SMA juga? Satu sekolah dengan kami? Apa yang mereka bicarakan?

Gue berhenti dan memotretnya dari jauh. Kemudian lanjut pulang dan berusaha mengabaikan apa yang gue lihat.

Sampai di rumah gue merebahkan diri di lantai, lelah dengan kegiatan gue hari ini, apalagi berhadapan dengan gay sialan tadi di toilet. Menyenangkan melihat ekspresinya, apakah gay memang suka hal cabul seperti itu?

Tidak lama gue dengar suara gerbang depan dibuka, itu tandanya Deza sudah pulang. Tanpa sadar gue terlelap dalam mimpi.

.

.

.

Paginya seperti biasa gue bakal jemput Deza.

(BL/BxB) What Are We?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang