Udara dingin yang menusuk kulit dia abaikan. Belvin mengisap rokoknya dalam-dalam, membiarkan asapnya memenuhi paru-paru, sebelum mengembuskannya ke udara, lenyap bersama angin malam yang berembus ringan.
Pakaian tanpa lengan yang dipakainya membuat udara dingin itu terasa sangat menusuk-nusuk kulitnya.
Hanya saja Belvin tidak fokus dengan dingin yang dia rasakan. Atensinya sepenuhnya terpusat kepada penjelasan Gavin tadi tanpa dia kehendaki. Padahal dia tidak ingin memikirkannya, namun kalimat-kalimat itu terus teringang di kepalanya.
Otak dan hatinya memang selalu tidak sejalan.
Jika sejalan dari dulu Belvin pasti sudah melupakan laki-laki yang menyakitinya itu. Bukan malah bermain api sendiri dengan menerimanya kembali.
Otaknya selalu menyuruhnya untuk melupakan itu dan menjalani hidup dengan normal. Dia hanya perlu memperbaiki dirinya sendiri dengan usahanya sendiri.
Dia selalu dicemooh oleh logikanya sendiri yang bisa-bisanya begitu patah hanya karena cinta masa remajanya. Namun, logikanya memang selalu tidak berfungsi dengan benar sehingga irasionalitasnya yang selalu mengambil alih.
Cinta itu memang rumit.
Tidak peduli seberapa sakit yang diterima karena cinta, orang-orang akan kembali menyerahkan dirinya untuk disakiti... karena cinta. Termasuk diri Belvin sendiri.
Cinta dan benci berdampingan dalam diri Belvin sekarang.
Belvin tidak bisa membohongi dirinya sendiri jika jantungnya yang dia pikir tidak akan bisa lagi berdebar untuk laki-laki mana pun... ternyata masih bisa berdebar.
Berdebar karena laki-laki yang sama. Berdebar karena laki-laki yang membuat jantungnya berdebar untuk pertama kalinya.
Hanya saja dia selalu menolak keras bahwa dirinya ternyata masih begitu mencintai Gavin.
Rasanya dia seolah-olah menginjak-nginjak perjuangannya dulu. Yang berusaha begitu keras untuk bangkit dari keterpurukan yang membelenggunya begitu kuat setelah ditinggalkan oleh satu-satunya orang yang menjadi tempatnya bersandar.
Nyatanya keterpurukan itu sekarang pun masih membelenggunya. Belvin ingin keluar. Sungguh ingin keluar.
Terapisnya bilang dia harus mencoba berdamai dengan luka-luka itu.
Belvin mencoba. Pernah berhasil. Sebelum kedatangan Gavin kembali menghancurkannya.
Setiap melihat Gavin selalu ada dorongan dalam dirinya untuk membuat laki-laki itu menderita sama seperti yang dialaminya. Lalu, begitu melihat Gavin bisa menjadi begitu patuh kepadanya, dia menikmatinya.
Dan penjelasannya tadi... kembali membuat Belvin kesulitan menentukan arah tujuannya lagi.
Padahal saat membuka jalan untuk Gavin kembali, dia akhirnya kembali mempunyai tujuan hidup. Membuat laki-laki itu menderita adalah tujuannya.
Sejujurnya Belvin pun capek hidup seperti ini.
Capek bertarung dengan isi kepalanya yang rumit dan hatinya yang tidak bisa dia pahami oleh otak rasionalnya.
Dia ingin terbebas dari belenggu yang membuatnya sesak. Psikisnya begitu lelah.
Entah kenapa dia bisa sampai di titik seperti ini. Entah kenapa. Entah bagaimana. Dia pun bingung.
Dia ingin sembuh, tapi kenapa dorongannya untuk sembuh masih belum cukup untuk menyingkirkan egonya yang seperti ingin tetap hidup seperti ini?
Ingin tetap hidup melihat orang-orang yang pernah menyakitinya hidup dalam penyesalan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dimana Ujungnya?
Romance[Sequel Letting Go] "I'll kill you." "I love you." "I will make your life a living hell!!" "Do it! My life, everything in me is yours. Always be yours, Bel." © nousephemeral, 2024 all pictures inside, include cover © pinterest.