Phuwin terdiam lama, sejak beberapa jam yang lalu seluruh rumah sudah heboh beberes untuk segera berangkat ke Bangkok.
Tak terasa dia telah menghabiskan waktu sekitar tiga bulan di kota ini, memori tua yang coba ia buka lembar demi lembar menghabiskan air mata. Terkadang langit mendung dan cerah, kemudian Phuwin akan menggenggam tangan sang anak riang memainkan tiap jemari kecil di sela tawa.
Sang kakek dan nenek beriringan, bergantian menemaninya untuk mengasuh si kecil. Tanpa keluh dan banyak protes, mereka melewati waktu-waktu singkat terasa panjang.
Keramik kasar di teras, suara roda koper berwarna hampir senada dengan wajah tua bahagia. Phuwin meneguk saliva, mencoba mengambil Leon dari rengkuhan kakeknya. Sigap menenteng barang bawaan bahkan sudah sangat siap sejak beberapa menit yang lalu mobil terparkir, dia telah selesai hari ini.
Cerita bahagia yang ia ukir di atas tanah seluas kota Melbourne selesai, berakhir di kala kesepakatan dan hasil perbincangan panjang dilakukan sejak lima hari yang lalu. Kabar terakhir dari Bibi Chai bahwa Pond sudah dinyatakan sembuh total, cukup syok saat mendengar bahwa musibah datang tepat ketika ia pergi meninggalkan Bangkok.
Tidak butuh waktu lama, hatinya kembali melunak. Mencoba untuk tetap bertahan namun rasa sedih serta duka telah berpadu menjunjung rindu, segalanya sirna membuat kekecewaan tak lagi muncul di permukaan hatinya. Memilih terima dan mengusir segala rasa gundah, Phuwin mengalah.
"Mommy..." Leon menarik pelan lengan pria manis itu, seraut wajah polos penuh kehati-hatian mendapat senyuman kecil "apa kita akan bertemu Daddy lagi?"
"Apa Leon sudah rindu?"
Cara Phuwin berbicara membuatnya menggigit lidah, mungkin takut mengeluarkan kata.
"Leon... Apa Leon sudah sangat rindu pada Daddy?"
"Humm... Maafkan Leon..."
"Kenapa minta maaf?" Wanita tua, nenek Phuwin merangkul cucunya dengan sayang "kalian seperti dua mahluk yang terlahir bersamaan untuk membawa kebahagiaan pada Mommy mu"
Phuwin tak memberi waktu pada dirinya untuk berbicara lebih banyak, memberi keleluasaan pada sang nenek untuk berdialog dengan anaknya. Seolah-olah dunia kini masuk lebih jauh dalam khayalan, siapa sangka bahwa dia baru saja mendapati Pond berusaha membuka jalan, demi kehadirannya dengan Leon.
Kedua tangannya menyentuh kaca mobil, seenggok harapan dan sekilas cahaya dalam mata lentik itu seperti senyum yang tertahan. Untuk saat yang ditunggu, satu kenangan lama yang berusaha ia kubur terasa sangat nyata menunggu kehadirannya.
Setibanya di bandara, Phuwin tak bisa berhenti menahan rasa menggebu-gebu dalam hati. Bercampur aduk antara rindu, prihatin, dan rasa ego yang tak kunjung menyesuaikan.
Garis jalan lurus langkah demi langkah dalam diam, membiarkan kebisingan sekitar mengganggu. Dia menarik koper besar, satu tangan lain menggenggam jemari si kecil. Bersenandung riang, dia tak dapat memahami bagaimana kebahagiaan terstruktur dalam hati Leon. Tak dapat menangkap dengan jelas, bahwa harapan yang di ucapkan malaikat kecil itu telah lama mencekiknya.
"Mommy..." Antusias lagi, Leon mulai memasuki terowongan pintu pesawat. Phuwin masih diam, matanya mengedip untuk menyesuaikan diri "Mommy... Ayo cepat..."
"Phu?" Sang nenek menepuk bahunya "apa ada sesuatu yang menggangu mu? Atau ada yang tertinggal?"
"Tidak..." Dia mencoba mengukir senyum, gundah dalam hati tak terhindar kala dua orang tua menuntun anaknya melangkah lebih dulu.
Bermimpi melayang-layang, usaha apa yang telah mencegah hatinya untuk mengeras? Pond menunggu selama tiga bulan, apakah perasaan lelaki itu memudar? Atau sebaliknya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Wishes And Dreams [Pondphuwin]18+[END]
Fanfiction"Lonceng sepeda apa?" Wajah manisnya kebingungan, mengapa dia menyusun alur yang bahkan tak pernah hadir dalam ingatannya? "Apakah ada legenda tentang dua malaikat muncul di permukaan salju? Aku selalu memimpikannya" Kerinduan menguliti tubuhnya, ka...