36. ANGKAZLAS

3 2 0
                                    

。⁠:゚Happy Reading゚⁠:⁠。

Sesampainya di Mansion Alvagantra. Gibran langsung mengamuk dan menghancurkan barang-barang tanpa berpikir dua kali.

"ARGH!"Gibran mengacak lalu mencengkram rambutnya.

Tasya yang baru saja keluar dari lift di buat kaget dengan keadaan ruang tamu Mansion saat ini. Dengan cepat ia berlari menghampiri Gibran yang kini tengah mencengkram rambutnya.

"Gibran hei, sayang kenapa hm?"tanya Tasya sambil menekuk kaki kirinya lalu mengusap rambut Gibran dengan lembut.

Gibran melepaskan cengkeramannya pada rambutnya lalu mendongakkan kepalanya. Langsung saja ia memeluk Tasya dan menumpahkan air matanya di bahu kiri Tasya.

Tasya membiarkan Gibran memeluknya, ia membalas pelukan tersebut seraya mengelus lembut punggung Gibran dengan menggunakan tangan kanannya.

"Sst, anak Mama kenapa hm?"Tasya mencoba bertanya setelah beberapa menit membiarkan Gibran menangis.

Gibran mengurai pelukan tersebut lalu menatap Tasya."Dia pembohong."Ucapnya dengan linang air mata, ditambah dengan hidung yang memerah dan bibir yang sedikit melengkung ke bawah.

Tasya tersenyum lantas mengusap rambut Gibran ke belakang, guna untuk merapikan rambutnya.

Tasya menuntun Gibran untuk berdiri dan melangkahkan kakinya menuju ruang makan.

Tidak lama kemudian, mereka berdua sampai di ruang makan. Tasya menyuruh Gibran untuk duduk di kursi meja makan.

Tasya mengambilkan Gibran segelas air minum lalu memberikannya kepada Gibran.

Gibran menerima gelas yang berisikan air lalu menerimanya, ia meneguknya hingga membasahi sedikit kerah bajunya.

Tasya melepaskan jaket Gibran dan menyimpannya di sandaran kursi. Ia mendudukkan dirinya di kursi tersebut, tepat di sebelah kiri Gibran.

"Sekarang bisa cerita ke Mama?"tanya Tasya dengan lembut.

Gibran menganggukkan kepalanya."Dia pembohong, Ma."ucapnya.

"Dia bohongin Gibran kalau dia cinta sama Gibran."Lanjutnya lalu menatap manik mata milik Tasya.

"Dia cuma jadiin Gibran sebagai umpan."Lanjutnya lagi.

Tasya sama sekali tidak mengerti dengan apa yang diucapkan oleh Anaknya ini. Ia akan menanyakannya dilain waktu.

"Mama ngga ngerti, Mama ngga tahu siapa yang Gibran maksud."ucap Tasya.

"Nanti ceritakan ke Mama dilain waktu, ok."Lanjutnya lalu berdiri dari duduknya.

Tasya mengambil jaket Gibran lalu mengusap rambut Gibran."Mama duluan."ucapnya lalu mencium kening Gibran.

Tasya melangkahkan kakinya pergi dari sana, ia takut sang Suami terbangun karena ia tidak ada di kamar.

Mansion Xendrix

"NGGA hiks!."Teriak Aila saat melihat Anaknya pulang dengan keadaan yang sudah tidak bernyawa.

"Papi harap ini hanyalah mimpi."Ucap Andra dalam hati.

Andra memeluk istrinya, salah satu Anaknya pergi untuk selamanya, ia tidak ingin hal itu terjadi. Tapi apa boleh buat, Tuhan sudah menentukan semuanya. Dan mungkin ini sudah waktunya dia pergi.

Alan yang baru saja datang langsung membuang motornya, sekaligus dengan helm yang dilempar sembarangan setelah terlepas dari kepalanya.

Alan langsung berlari dengan air mata yang terus menerus mengalir, sehingga membuat pipinya menjadi basah.

Alan berhenti di depan pintu utama Mansion, ia melangkah kakinya dengan pelan. Kakinya bagaikan jelly, ia menekuk kedua lututnya di samping sofa.

Aila yang melihat kedatangan Alan pun langsung saja melepaskan pelukan dari Andra dan beralih memeluk Alan.

"Ma, maafin Adek. Adek ngga becus jagain Abang."Ucap Alan dengan lirih seraya membalas pelukan Aila.

"Ini bukan salah Adek. Adek jangan salahin diri Adek."Ucap Aila sambil mengusap pelan punggung Alan dengan menggunakan tangan kirinya.

Alan mengurai pelukan tersebut."Tapi, kalau Adek ngelindungin Abang. Pasti Abang bakal baik-baik aja."Ucapnya.

Aila mengusap pipi Alan yang basah akibat air mata."Cukup Abang, Adek jangan. Mama mohon jangan berkata seperti itu hiks."Ucapnya lalu memeluk Alan kembali.

"Maaf."Ucap Alan dengan lirih. Setelahnya, ia menutup matanya.

Aila yang tidak lagi mendengar suara Alan di buat panik, apalagi tubuh Alan yang melemas.

Aila mengurai pelukannya lalu menatap Alan yang kini tengah menutup matanya."Adek hei, jangan buat Mami khawatir."Ucapnya seraya menepuk pelan pipi Alan.

Andra yang mendengar suara Aila yang mengandung kekhawatiran langsung saja menoleh dan melepaskan genggamannya pada tangan kanan Alvin.

Aila menoleh kearah Andra."Mas."Ucapnya.

Andra memberi anak buahnya isyarat melalui gerakan mata. Para anak buah Andra yang melihat isyarat tersebut, langsung saja mengambil alih tubuh Alan.

Mereka mengangkat tubuh Alan menuju kamar Alan dengan menggunakan lift.

"Udah, Adek bakal di tangani oleh Dokter pribadi."Ucap Andra sambil mengusap surai rambut milik Aila dengan lembut.

Mansion Venandro

"TIDAK! TIDAK MUNGKIN!"Teriak Alister sambil melempar beberapa piring dan gelas kaca.

Saat ini Alister berada di dapur, ia ingin melampiaskan kemarahannya dengan cara melempar barang-barang yang tidak berguna. Ya, itu mungkin menurutnya.

Piring dan gelas dengan harga yang bisa menjangkau sepuluh juta per buah. Dan bayangkan saja, ia melempar lebih dari sepuluh. Ditambah lagi dengan gelas yang tidak kalah bandingannya dengan harga piring tersebut.

。⁠:゚To Be Continue゚⁠:⁠。

Written
Kamis 4 Januari 2024

Publish
Selasa 16 April 2024

ANGKAZLAS [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang