Bab 5 (Kewajiban)

177 4 0
                                    

Indra dan Aira sudah memasuki apartemen Indra. Hening menyelimuti keduanya. Aira tak ingin berharap bahwa Indra benar-benar menerimanya. Ia tidak ingin banyak bertanya.

"Apartemen ini punya dua kamar. Lo tidur di kamar satunya," kata Indra datar sembari menunjuk sebuah kamar yang letaknya disamping kamarnya. 

Aira menatapnya.

Indra terkekeh sinis. "Apa? Jangan harap gue akan menerima pernikahan ini. Ingat, cukup sampai tiga bulan dan pernikahan ini selesai."

Indra meraih kopernya. Tadi sewaktu Aira ingin membawanya, Indra segera menyambar kopernya dengan cepat.

Ketika Indra hendak menaiki tangga, langkahnya terhenti. "Jangan berharap apa-apa sama pernikahan ini. Gue nggak tau tujuan lo apa. Tapi, selama lo jadi istri gue, lo nggak berhak ngatur-ngatur kehidupan gue. Bersikap layaknya orang asing. Kita ... hidup masing-masing," kata Indra. Ia kembali melanjutkan langkahnya tanpa menoleh lagi. Ia sama sekali tidak ingin peduli bagaimana reaksi Aira.

Aira terdiam menatap kepergian Indra sampai tak terlihat lagi setelah pintu kamarnya tertutup. Ia menghela nafas pelan.

"Bismillah," ucap Aira. Kemudian ia juga berjalan menuju kamar yang Indra tunjuk.

***

Indra keluar dari kamarnya. Ia sudah rapi bersiap untuk pergi. Ia memakai celana hitam dipadukan dengan hoodie berwarna hijau toska. Rambutnya yang selalu ia jadikan model mandarin menambah kadar ketampanannya.

Ia bersiap untuk pergi. Namun langkahnya terhenti melihat pintu kamar yang tertutup itu. Kamar yang biasa kosong kini sudah ada penghuninya.

"Ck!" Indra berdecak. Merepotkan! Pikirnya.

Indra mengetuk pintu itu. Tak lama, pintu terbuka. Menampilkan seorang gadis yang sudah berganti pakaian namun tetap mengenakan kerudung.

Indra terpaku beberapa detik. Wajah tanpa polesan make up itu entah kenapa membuatnya terpana. Ditambah mata yang sembab dan hidung yang memerah khas seperti orang baru menangis. Sebelumnya, Indra memang tidak pernah menatap Aira langsung. Atau ia hanya memperhatikan sekilas. Aira pun sering menunduk ketimbang menatap lawan bicaranya. Kini ia menatap penuh suaminya.

Cantik? Ya, Indra akui Aira cantik. Meski dalam hati ia masih mengakui bahwa Acha lebih cantik daripada Aira.

"Kenapa, Kak?" Pertanyaan Aira membuat Indra tersadar.

Indra sedikit gelagapan. "Itu, itu ... kalau mau makan masak aja apa yang ada di dapur. Gue nggak mau di cap sebagai suami yang nggak bertanggung jawab. Kalau makan tinggal makan," ujar Indra.

Aira mengangguk paham. "Iya, Kak," jawab Aira.

Indra mengangguk setelah itu langsung berlalu pergi.

"Kakak mau kemana?" tanya Aira spontan.

"Bukan urusan lo."

Indra langsung pergi setelah mengatakan itu. Aira mematung. Ia memejamkan matanya. Apakah tepat jika ia tetap bertahan di pernikahan ini. Sementara Indra tak menginginkannya.

Tapi ... kedua mertuanya ingin mereka tetap bersama. Terlebih dengan pesan sang Ibu yang belum lama Aira dengar ketika Ibunya menghubunginya tadi.

"Maafin Aira, Bunda. Aira benar-benar nggak melakukan hal keji seperti itu. Aira dijebak, Bunda."

Aira sangat senang ketika Ibunya kembali menghubunginya. Dari kemarin ia begitu khawatir dan sedih bila orangtuanya mendengar kabar itu dan tidak percaya padanya. Ia bicara sambil menangis.

Indra AiraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang