bonus; before married

318 41 5
                                    

"Tau nggak sih lu? Atasan gue hari ini ijin buat sidang cerai karena suaminya nggak bisa menuhin kebutuhan keluarga mereka." ucap seorang perempuan setelah menyeruput jus di gelasnya.

"Eh, tapi ada juga tuh selebgram yang hidupnya berkecukupan tiba-tiba cerai." celetuk perempuan lain yang berambut pendek.

"Cerai lagi trend kali, ya? Seminggu lalu tetangga gue juga baru cerai karena beda prinsip katanya." lanjut perempuan lainnya ikut menanggapi.

Sejak tiba di restoran ini, ketiga perempuan di meja sampingnya sudah begitu asyik bergosip dengan suara cukup lantang. Mau tidak mau, Orter mendengarkan dan menyimaknya dalam diam.

Pernikahan.

Perceraian.

Beda prinsip.

Masalah keuangan.

Itu semua adalah hal-hal yang Orter pikirkan belakangan ini, membuatnya selalu maju mundur untuk melamar Rayne.

Hubungannya dengan Rayne sudah berjalan hampir 3 tahun, dan ini adalah waktu yang tepat untuk membawa hubungan mereka ke jenjang yang lebih serius.

Rayne sejak tadi hanya menopang dagunya sambil memerhatikan Orter yang pikirannya melayang jauh. "Mikirin apa, sih? Serius banget."

Orter menggeleng, pergerakan kedua tangannya yang sedang memegang sendok dan garpu seketika terhenti. "Bukan apa-apa."

"Yang bener?" tanya Rayne curiga.

"Ray.." panggil Orter ragu-ragu. "Kamu pernah kepikiran nggak sih buat hidup bareng sama aku sampe tua?"

Rayne tersedak, membuat Orter mengulum senyumnya. "Kok kaget banget kayaknya?"

Rayne bahkan tidak berkedip ketika Orter mencondongkan tubuh ke arahnya untuk mengelap dagunya yang basah.

"Lagian kamu tiba-tiba banget nanya gitu." gerutu Rayne, tapi wajahnya sudah memerah sampai ke telinga.

Orter terkekeh. "Jadi gimana?"

"Well, iya?" jawab Rayne terlihat masih bingung. "Kita beneran mau ngomongin ini di sini? Sekarang?"

Orter mengusap tangan Rayne yang ada di genggamannya dengan ibu jari. "Aku cuma mau mastiin aja kalo kita ada di jalan yang sama."

"Tapi aku boleh sambil makan ini nggak?" tanya Rayne menunjuk strawberry tartlets miliknya yang baru saja disajikan.

"Iya sayang, itu aku pesenin emang buat kamu." jawab Orter santai.

Rayne tersenyum, tangannya mulai menyendok kue itu lalu menyuapkan ke mulutnya sendiri.

"Kamu ada kredit nggak, sih?"

Rayne mengunyah kue itu dengan cepat sebelum mengangguk. "Ada."

Orter mengernyit heran. "Kamu kredit apaan?"

"Mobil yang sekarang aku pake itu kan masih kredit tau." Rayne memberi satu suapan kue yang disambut Orter dengan senang hati. "Kamu ada?"

Orter tertawa kecil. "Apartemen sih paling, tapi udah hampir beres."

Tangan Rayne meraih gelas minuman yang tersedia di meja, dan memberikan salah satunya pada Orter. "Selanjutnya apa, masih keuangan?"

"Keuangan ngalir ajalah, ya.." Orter menerima gelas dari tangan Rayne kemudian meneguknya. "How about our sex life after we get married?"

Rayne hanya tersenyum canggung, tidak menyangka bahwa Orter akan membicarakan hal ini sebagai topik kedua yang perlu dibahas.

"Aku sih nggak akan minta setiap hari, tapi seminggu sekali pasti harus ya? Boleh nggak?" goda Orter dengan alis yang naik turun.

Rayne menjauhkan kepala Orter menggunakan telunjuknya. "Iya, tapi tetep liat situasi dan kondisi nanti."

Satu ciuman dilayangkan Orter pada pipi Rayne setelah mendengar jawabannya.

"Kamu mau punya anak berapa?" tanya Orter lagi dengan nada lebih serius.

Mendengar pertanyaan itu, Rayne mengambil waktu untuk berpikir. "Aku prefer satu sih--"

"Dua aja mendingan." sela Orter, membuat Rayne mendelik ke arahnya.

"Ya kalo gitu mah ngapain nanya." gerutu Rayne.

Orter mati-matian menahan senyumnya supaya tidak berubah menjadi cengiran karena rasa gemas dan bahagia yang begitu membuncah.

"Pokoknya pas kita udah stabil masalah finansial, baru deh aku mau komitmen punya anak."

Orter menganggukkan kepalanya berkali-kali, tanda setuju dengan syarat yang diberikan Rayne.

"Aku tau gimana sibuknya jadwal kerjaan kita berdua." kata Rayne tiba-tiba, membuat Orter langsung memberikan atensi penuh padanya. "Tapi, tolong banget jangan pernah lembur kalo emang nggak urgent. Karena kita sama anak-anak nanti perlu family time."

Sejak pembahasan topik ini dimulai, Rayne terlihat sangat antusias, dan hal ini jauh di luar ekspektasi Orter.

"Aku sama kamu emang nggak punya basic parenting skill yang mumpuni, tapi aku pengen anak-anak kita tumbuh di lingkungan yang positif."

"Rayne.." Orter kini menggenggam kedua telapak tangan Rayne di atas meja. "Kalo aku ngajak kamu nikah, berarti kamu mau?"

"Mau, aku siap kalo kamu juga siap." jawab Rayne yakin.

Orter menghembuskan napas lega, sambil sesekali menciumi kedua punggung tangan Rayne secara bergantian.

Fin.

It's You - [orterayne] verTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang