•••••••••
Gemercik rintik-rintik hujan yang kembali menjatuhkan entitasnya membuat beberapa sudut rumah kecil yang keluarga Jimin tempati itu terkena tetes-tetes hujan yang menembus atap rumah yang bocor. Dirumah sepetak penuh ember yang menadahi atap bocor tersebut, hawa dingin mencekam tampak jauh lebih membekukan dari udara dingin diluar sana.Jimin, pemuda yang sebelumnya telah memaksa Jungkook untuk memasuki kamarnya itu berdiri tegak dengan tatap menantang pada wanita anggun yang terduduk disalah satu kursi dimeja makan.
Kini, setelah tigabelas tahun berlalu. Jimin kembali berhadapan dengan wanita yang menjadi awal kehancuran keluarganya. Wanita yang telah merenggut masa mudanya juga harapan hidup ibunya.
Wanita ... yang juga telah menelantarkan adiknya sejak lahir kedunia.
"Langsung pada intinya. Apa tujuanmu kemari?" Kalimat dingin bernada datar yang Jimin suarakan selaras dengan wajah datar tanpa ekspresi ramah yang kerap ia tunjukkan.
"Ryu Jimin?" tebak Jooha dengan senyum sinis yang terpahat dari bibir berona merah miliknya.
"Kau sudah sebesar ini, ya. Kupikir, kau ikut binasa seperti ibumu."
Kedua tangan Jimin tampak saling mengepal dengan kuat. Raut wajahnya pun kian mengeras dengan sorot tajam yang tak berpaling dari Jooha. Pemuda itu akan selalu mengingat dosa apa saja yang telah wajah wanita itu perbuat dalam menghancurkan hidupnya.
"Kutanya sekali lagi. Apa yang mengundangmu datang ketempat kotor ini, nyonya Jeon Jooha?" tanya Jimin dengan penekanan disetiap penggal kalimatnya.
Terkekeh sebentar, wanita pemilik nama Jeon Jooha itu menatap balik manik kelam Jimin yang menyorot tajam padanya. Kaki jenjangnya bersila dengan anggun kendati ia terlihat tak nyaman menduduki kursi keras berbahan kayu dirumah Jimin.
Barangkali kulitnya terinfeksi sebab menduduki kursi milik pemuda miskin itu. Jimin tidak peduli. Toh ia tidak pernah mengundang wanita itu datang ke rumahnya.
"Bocah tadi itu ... anakku, bukan?" tebaknya yang lagi-lagi tepat sasaran.
Tawa sinis terdengar saat Jimin mengangkat dagunya dengan angkuh tanpa gentar. "Lalu, apa urusanmu jika Jungkook memang anak kandungmu? Bukankah kau sendiri yang telah membuangnya tepat setelah kau melahirkannya?"
"Jadi namanya Jungkook, ya," ucap Jooha santai. Raut tenang di wajahnya seolah menyimpan banyak hal yang tidak bisa Jimin terka. "Hm, ya, kau benar. Aku mengaku salah karena telah menelantarkannya. Kali ini aku ingin mengambil kembali hakku sebagai ibu yang melahirkan anak itu."
"Hakmu kau bilang?" ulang Jimin sembari tertawa sarkas. "Hak apa yang kau miliki pada anak itu? Kau sudah membuangnya. Kau sama sekali tidak membesarkannya. Atas dasar apa kau begitu yakin memiliki hak atas Jungkook?"
Kepalan tangan Jimin kian mengerat hingga buku-buku jarinya memutih. Ada luapan sesak yang seolah mendesak dalam dadanya saat harus kembali mengingat bagaimana perjuangannya membesarkan Jungkook dan membuat anak itu tetap hidup di sisinya. Sakit apa saja yang telah adiknya lalui tanpa sosok seorang ibu.
"Hei, bukankah aku sudah mengaku salah? Siapapun pasti pernah melakukan kesalahan dimasa muda. Lagipula, mau bagaimanapun aku tetap ibu kandung bocah itu. Aku tetap berhak untuk membawanya pergi—"
"Kau yang pergi dari sini, nenek sihir!"
Seruan nyaring bernada tinggi yang memotong ucapan Jooha membuat kedua sosok yang sedang bersitegang itu mengalihkan atensi mereka. Pada sosok Jungkook yang baru saja muncul dari kamarnya dengan bantingan pintu berkekuatan penuh.
KAMU SEDANG MEMBACA
SEMICOLON [ Hujan&Januari Series ]
FanficBagian dari project Hujan & Januari Series _____________ Dari banyak hal berharga yang telah di renggut dari hidupnya. Masa mudanya, kebebasannya, harga dirinya, dan ibu kandungnya. Ryu Jimin hanya ingin satu persen alasan hidupnya untuk tetap tingg...