"Yas, besok ke rumahnya Uni Tati, yuk."
Gue hanya menoleh sejenak, berpikir. Iya, mikirin seberapa banyak emak-emak yang harus gue salimin di rumahnya Tante Tati. Anaknya Tante Tati, Dilla, baru aja wisudaan beberapa hari yang lalu. Dan sebagai bentuk syukurnya, beliau mengadakan tasyakuran di rumahnya dengan menghidangkan masakan-masakan Padang.
Gue sangat tergiur, bro.
"Ayok dah, naik motor aja ya tapi."
Besokannya, tepat setelah sholat dzuhur, gue dan mama cus ke rumah Mama Dilla yang letaknya gak begitu jauh dari rumah gue. Tinggal keluar dari gang yang berlika-liku seperti kehidupan ini, lantas terpampang lah rumahnya Dilla dengan jelas, beserta rumah makan Padang yang menjadi penghasilan mamanya.
Rumahnya rame sama motor-motor dan juga mobil. Setelah markirin motor di deket pohon biar itu jok ga kepanasan, gue pun mengekori mama masuk ke dalem rumah Dilla. Baru juga melewati pintu, udah disambut sama segerombolan emak-emak yang lagi asik ngerumpi. Begitu gue dan mama masuk, semua mata tertuju ke arah kita.
Duh, berasa artis gue.
"Eh Yasmin, lagi liburan, ya?" Mama Dilla menyambut gue dengan ramah. Gue pun mengangguk dan menyaliminya.
Setelah saliman sama mama gue juga, Tante Tati pun mengenalkan gue ke temen-temen seper-minang-annya. "Ini lho, temennya Dilla dari SD, kuliah di Arab sekarang."
Mendengar kalimat 'kuliah di Arab', ibu-ibu itu pun langsung menyambut gue dengan heboh.
"Arab? Wah, hebat, ya."
"Lagi liburan sekarang, nak?"
Gue menjawab dengan sopan, "Iya, tante, lagi liburan." Abistu gue salimin satu-satu dah mereka semua.
"Kuliah apa di Arab, nak?" Ibu-ibu bergamis merah itu bertanya penasaran.
"Tafsir Qur'an, tante, di PNU," jawab gue kembali.
Mereka makin heboh, entah apa yang dihebohin. Kemudian melontarkan kalimat-kalimat pujian dan sedikit menepuk-nepuk bahu gue sambil tersenyum.
"Ya udah makan dulu, Yas. Ada rendang banyak di belakang," kata mamanya Dilla, bikin gue auto ngiler denger kata rendang.
"Iya tan, aku ke Dilla dulu, ya."
Dan setelah dipersilahkan untuk minggir, gue pun mencari-cari keberadaannya Dilla yang ternyata juga lagi ngumpul sama temen-temennya. Iyalah nyamperin yang punya acara dulu, masa dengan lancang mo langsung makan. Gini-gini gue tau sopan santun bre.
"Dil," panggil gue pelan, malu ah banyak temennya.
Untung aja yang dipanggil langsung noleh. "Eh, Yas!"
Kita berdua sempet berpelukan, cepika-cepiki gitu loh namanya juga temen dari SD yakan. Gue pun mengucapkan selamat atas kelulusannya, dan memberikan sebuah paper bag berisi hadiah wisuda buat dia. Dilla juga sempat mengenalkan gue ke temen-temennya yang sama-sama wisuda kemaren.
Gue menjabat tangan mereka, gantian memperkenalkan diri. "Aku Yasmin, temen SD nya Dilla."
"Yasmin ini loh, ges, kuliah di Arab dia," kata Dilla jelasin ke temen-temennya.
"Wih, jauh amat di Arab, gimana rasanya kuliah disana?"
"Bolak-balik umroh dong?"
"Panas ngga disana?"
Kemudian, 10 menit berikutnya pun gue habiskan untuk menceritakan dengan singkat pengalaman kuliah gue di Riyadh. Yang kadang kalo siang panas banget, tapi giliran udah malem malah dingin banget. Gimana gue dan temen-temen gue di Riyadh jalan-jalan naik unta, mengarungi gurun, juga lesehan di Masjid Nabawi. Tapi itu jokes doang sih, soalnya gue kan kuliah di Riyadh bukan Madinah.
"Kamu balik kapan, Yas?" Itu adalah pertanyaan yang dilontarkan Dilla setelah cukup lama basa-basi.
Gue berpikir sejenak. "Bulan depan, InsyaAllah."
"Oalah masih lama lah ya," Dilla diem sejenak. "Eh kamu ngga mau makan, Yas? Ada rendang itu loh," Dilla nawarin biar gue ga berlama-lama basa-basi dengan dia dan teman-temannya.
Gue ketawa singkat. Ketawa, soalnya peka juga dia. Gue udah laper, asli.
"Kalian emang ngga makan?" Tanya gue terakhir sebelum bener-bener pergi ke belakang.
"Udah pada makan kita. Gampang, nanti juga nambah sendiri," jawab temennya Dilla dengan rambut dikuncir—Aida.
"Yodah aku ke belakang dulu ya. Dil, makasih banyak ya."
"Iya Yas, makasih juga ya hadiahnya."
Gue pun kali ini bener-bener pergi darisana. Meski wajah gue terlihat datar dan biasa aja, percayalah kalo sebenernya gue sedang selebrasi di dalem hati.
Gue menuju dapur, yang sebenernya udah biasa gue datengi ketika main ke rumah Dilla pas SD dulu. Menu-menu yang tersaji bener-bener menggiurkan. Gue pun mengambil seperangkat alat makan, kemudian menyiduk nasi yang 'agak' banyak ke atas piring. Karena sebenernya gue ga seberapa seneng sayur, gue langsung skip aja ke lauk.
Perkedel kentang entah gimana akan selalu jadi favorit gue. Siapapun yang masak, apapun rasanya, perkedel akan selalu jadi menu numero uno yang gue taro di atas piring. Kemudian, gue bergeser untuk memilih daging rendang yang gede, sampe akhirnya ada orang yang berdiri di samping gue.
"Pasti sekarang bebas, ya," gue gak menghiraukan orang sebelah gue, ngira dia ngomong sendiri. Tapi kemudian, dia ngelanjutin ucapannya, "Bebas, soalnya ngga ada daging babi."
Mendengar kata 'daging babi' yang kini menjadi trauma-nya gue, otak gue otomatis langsung mengingat kejadian waktu kondangan kapan hari itu.
Gue menoleh singkat, menatap laki-laki di samping gue yang sekarang mengambil paru—menu yang ada di sampingnya rendang.
Alis gue bertaut.
"Dih, cowok palang babi," kalimat itu melengos aja dari mulut gue. Entah ya, sejak saat itu gue sudah menyimpan dendam kesumat pada laki-laki yang secara ga langsung menghina gue itu.
Yah, meskipun kenyataannya dia mencegah gue dari memberi makan daging babi ke bapak gue sendiri.
Laki-laki yang gue yakini adalah laki-laki yang sama dengan orang di kondangan waktu itu cuma tersenyum kecil. Lebih tepatnya, nyengir dengan mata datar. Psikopat, asli.
"Kerudungan doang tapi makan babi," sahut dia yang gak gue sangka-sangka.
Gue, sebagai lulusan pesantren hukum yang dikenal punya santri berpikiran kritis cuma berdehem pelan. Masa-masa gue nyantri dulu, berdebat urusan agama ataupun hal-hal kecil di asrama adalah suatu perkara yang ga pernah terlewatkan.
Termasuk debat dalam membela diri ketika difitnah.
"Saya kira masnya muslim."
Sebuah tutorial debat dari seorang Yasmin Adiba. Mulailah debat dengan kalimat yang sengit dan sedikit mengompori.
Orang itu mengerutkan alisnya. "Saya emang muslim, tuh?"
Langkah kedua, gasken aja lah. Jangan kasi kendor, kita yang megang kendali. Langsung pojokin sepojok-pojoknya.
"Tapi ngga pernah baca Al-Qur'an, ya? Makanya ngga tau kalo gak boleh mencampur adukkan yang haq dan bathil. Bisa-bisanya ada daging babi di nikahan orang muslim."
Yang ketiga, ga boleh gentar. Dalam membela diri ketika difitnah, yakinlah kalo kita emang ga salah. Dengan begitu, ngga ada celah bagi lawan debat untuk ngelawan kita.
Gue pun menyiramkan bumbu rendang ke atas nasi, kemudian bergeser untuk mengambil sambel dan kerupuk.
"Dih, mentang-mentang baca Qur'an udah berasa yang paling Tuhan," laki-laki itu masih nyautin padahal jarak gue dan dia udah 3 langkah.
Skakmat. Yang pertama marah, dia yang kalah.
Gue kembali menoleh singkat. "Seenggaknya saya baca Al-Qur'an, nggak kayak kamu."
Kali ini gue bener-bener meninggalkan laki-laki yang udah 2 kali menyinggung gue. Gue ga ingin melihat wajahnya sampe kapanpun.
Kursi di pojok menjadi sasaran tempat gue makan kali ini. Dengan bad mood, gue menyantap nasi padang di hadapan yang tetap terasa enak meski sebenernya hati engga. Mungkin juga karena udah kebiasaan, mama akan kembali dari acara cepika-cepikinya tiap kali gue udah duduk dengan sepiring makanan di depan gue.
Jadilah mama menarik kursi, menjadi orang pertama yang makan itu nasi karena gue tau mama pengen disuapin.
"Kok dikit banget, Yas?" Mama nanya, ngode biar gue ngambil nasi lagi kalo udah abis.
Gue yang biasanya langsung menjawab ketika dikode kali ini cuma menghela napas panjang.
"Mama ngerti anaknya Tante Ita yang waktu itu mama tunjuk?" Tanya gue memulai percakapan—gibah, lebih tepatnya.
Mama gue mengangguk. "Kenapa emang?"
"Ih, tu orang loh, Ma," gue meletakkan sendok di piring. "Masa aku dikatain kerudungan doang tapi makan babi? Kan ngeselin, ya. Lagian, Ma, kemaren waktu kondangan itu loh, bisa-bisanya ada daging babi? Aku kan ga liat, Ma, hampir tak kasih ke papa kemaren," jelas gue panjang lebar dengan menggebu-gebu.
"Ya makanya diliat-liat dulu, Yas, masa ngga keliatan," mama malah nyeramahin gue, bikin gue ga terima.
"Tapi emang ga keliatan, tau. Asli, mana ngeselin bener tu orang. Ya Allah, istighfar terus aku Ma ketemu dia, mana mulutnya jelek banget lagi," gue kembali nyerocos. "Barusan juga, Ma. Aku waktu ngambil makan ketemu orangnya lagi! Kayak, Ya Allah beneran, Ma, aku ribut sama dia astaghfirullah."
Mama malah natap gue bingung. "Emang Yasmin ngomong apa ke orangnya? Paling dia ngomong gitu soalnya Yasmin juga ngomongnya jelek."
Gue menatap Mama ga percaya. "Hah? Ya Allah, Ma. Ya apasih debat bawa-bawa dalil gitu? Lah orangnya malah marah, ngatain aku gegara aku baca Qur'an udah ngerasa yang paling Tuhan."
Mama cuman ketawa denger penuturan gue. Padahal udah jelas muka gue kayak mak lampir gini, mama malah ketawa. Males, dah.
"Ngga paham agama kali," kali ini mama memberikan penjelasan yang sangat singkat tapi justru malah gue lupakan.
Ngapain juga Ya Allah gue debat bawa-bawa dalil sama orang yang ga paham agama? Buang-buang waktu aja.
Gue kembali memegang sendok, memotong daging rendang yang udah ditungguin mama daritadi.
Tepat saat itu pula, gue dan mama dihampiri oleh ibu-ibu yang gue yakini pasti temennya mama.
"Loh, Teh Irma?"
Gue dan mama spontan noleh ke sumber suara secara bersamaan. Meski agak ga inget beliau ini siapa karena temennya mama banyak, ketika gue melihat laki-laki di belakangnya, saat itu juga gue langsung sadar kalo beliau ini adalah Tante Ita, juga anak laki-lakinya yang baru aja gue ajak ribut beberapa menit yang lalu.
"Eh, Mbak Ita, disini juga?" Mama gue langsung berdiri, cepika-cepiki.
Mau ga mau gue ikutan berdiri dan salim lah. Padahal lagi asik-asiknya makan dan gibah, eh yang digibahin muncul. Gue hanya bisa menahan diri agar tidak memaki orang-orang yang ada di hadapan gue saat ini.
"Kok ada disini, Teh?" Tante Ita yang pertama nanya, mungkin beliau bingung melihat keberadaan mama dan gue disini.
Padahal mah, gue sama mama juga sama bingungnya.
"Ini, Mbak. Yasmin kan temennya Dilla, sih, rumah saya juga deket sini," jawab mama bawa-bawa nama gue. "Kalo Mbak Ita?"
"Uni Tati ini iparnya saya," jawab Tante Ita, bikin mama mengangguk-angguk singkat.
Duh, dunia sempit bener, dah.
Dua detik hening, mama tiba-tiba membuka suaranya. "Ini ya, Mbak, anaknya yang kemaren dibilang?"
Gue melirik singkat ke mama. Dari sekian banyaknya topik yang memungkinkan, kenapa sih harus nanyain 'anak cowoknya Tante Ita yang kemaren dibilang'?
"Iya, Teh, ini kakaknya Salma," Tante Ita menjawab dengan sumringah, abistu bisik-bisik ke anaknya—meski gue juga bisa denger, sih. "Ayo, bang, kenalin dirimu."
Laki-laki itu maju selangkah, menyalimi mama dengan sopan dan tersenyum. Tapi gue tau, itu senyum palsu. Cuma biar keliatan baik aja di depan temen emaknya.
"Saya Adrian, Tan, panggil Rian aja ngga papa biar akrab," laki-laki itu akhirnya mengenalkan namanya.
Oh, itu toh nama orang yang pengen gue maki-maki dari kemaren. Ga usah sok-sok akrab lo sama emak gue.
"Rian masih kuliah apa kerja, Nak?" Mama kembali bertanya. Gue masih diam memperhatikan.
"Alhamdulillah udah kerja, Tan," kata si Adrian, mukanya menutup-nutupi kesombongan yang ada di hatinya.
Mama nanya lagi. "Kerja apa, Rian?"
"Kerja di Lion Air, Tan," lagi, dia tersenyum penuh kebanggaan. Tapi gue tau, dia hanya berusaha agar tidak menampakkan kesombongannya.
"MasyaAllah, gajinya gede, ya?"
"Alhamdulillah lumayan, Tan."
Idih mama. Giliran tau dia kerja di maskapai dengan penghasilan banyak aja langsung sumringah. Andai mama sendiri yang ngerasain betapa keselnya gue ketika dikatain sama orang itu. Ngga bakal mama ngobrol sama dia dengan wajah yang begitu ceria.
"Rian umur berapa sekarang? Udah punya calon, belom?"
Gue yang udah ga bisa tinggal diam spontan menyikut tangannya mama. Bukannya tadi kita udah sepakat buat meng-gibahi orang ini bersama-sama? Kenapa sekarang malah nanyain udah ada calonnya apa belom?
"Tahun ini 26 tahun. Masih belum ada calon juga," cowok itu juga menjawab dengan sedikit malu-malu. Ga paham juga apa yang di-malu-in.
"Wah, sayang banget, ya. Rian ini udah ganteng, mapan, siap menikah, tapi belom ada calonnya," mama kembali ketawa-ketawa. Gatau apa yang di pikirannya sekarang.
Melihat arah percakapan ini menuju kemana, Tante Ita pun ikut-ikutan bertanya.
"Kalo Yasmin tahun ini umur berapa, Teh?"
Oke kenapa sekarang topik pembicaraan malah berubah jadi gue?
Tapi karena gue harus sopan sama setiap orang—kecuali si Adrian itu, gue pun menjawab dengan 'senyum bisnis' andalan gue. "Umur 21, Tante."
"Kamu ngga ada rencana nikah muda, emangnya?"
Waduh. Gue menoleh ke mama, yang ternyata malah menatap gue intens seolah menunggu jawaban gue.
PADAHAL WAKTU KONDANGAN BUKANNYA MAMA BILANG GUE MO NIKAH SAMA RAJA MINYAK????
"Hehe, nggak ada, Tan. Ngurus diri sendiri aja masih susah, gimana mo ngurus orang lain," jawab gue seadanya—meskipun bener apa yang gue bilang.
Haduh ngancurin image sendiri demi kebaikan masa depan.
Tapi sepertinya Tante Ita tidak puas dengan jawaban gue. "Mengurus suami sebenernya ngga sepenuhnya tanggung jawab istri, suami kamu juga bisa ngurus diri, kok."
Lah.
"Ngga gitu, Tan. Maksudnya, saya kan masih kuliah di Arab. Kalo suami saya tinggal di Indonesia, nanti siapa yang masakin dia? Mungkin agak sulit juga buat suami saya nanti, kerja dan bersih-bersih rumah sendiri," kali ini gue memberikan penjelasan yang lebih masuk akal.
Tapi Tante Ita masih ga terima. "Kan ada pembantu yang bisa masakin dan bersihin rumah."
Gue menghela napas. Susah bener dah ngobrol sama emak-emak.
"Yah, Tan, kalo gitu mah nikah aja sama pembantunya, jangan sama saya," jawab gue ketawa-ketawa.
Gue ngga salah dong? Kalo masak dan bersihin rumah udah dikerjain pembantu, terus kewajiban sebagai istrinya gimana? Gue aja tinggal di Arab, bro.
Kali ini, Tante Ita sepertinya menganggap perkataan gue ada benernya juga. Setelah menghela napas, Tante Ita meletakkan tangannya di bahu gue. Beliau tersenyum.
"Nanti bilang tante ya kalo kamu udah lulus."
Saat itu juga, tubuh gue merinding seluruhnya. Meski agak gamau, tapi demi kesopanan, gue cuman bisa tersenyum dan menjawab, "InsyaAllah."*
KAMU SEDANG MEMBACA
arunika
Romance"Saya kira mbaknya muslim." Cuman 1 kalimat, tapi udah cukup bikin Yasmin Adiba tersinggung bukan main kalo aja dia ga punya adab terhadap lawan jenis. Kirain cuma bakal ketemu sekali, tapi yang namanya emak-emak ada aja kelakuannya buat dapetin men...