3

3 0 0
                                    

Tandai jika typo!

***

Aku tersenyum tipis, masih mengingat jelas kejadian tersebut. Sudah lima tahun sejak hal itu. Kisah yang benar-benar singkat, namun membekas di ingatanku hingga saat ini. Aku menatap ke arah luar jendela Cafe, hujan masih sama derasnya sejak tadi. Telah berjam-jam aku berkutat di depan laptop, menyelesaikan pekerjaanku. Sejak lulus kuliah jurusan hukum aku mengambil pekerjaan sebagai pengacara.

Aku menghela napas lega. Akhirnya pekerjaanku selesai. Aku merenggangkan otot-otot tubuhku yang sudah terlalu lama duduk. Aku membereskan barang-barangku, bersiap pulang. Sebuah buku berwarna hitam tidak sengaja terjatuh dari tasku. Aku memungutnya, buku itu kudapat setahun yang lalu, tepat beberapa hari setelah hari wisudaku.

Saat itu, hari yang paling kutunggu. Mama dan Papa datang menyapa, memberiku ucapan selamat. Aku tertawa, bahagia, tanpa tahu apa yang sedang terjadi di luar sana. Yara juga datang memberiku ucapan selamat. Yara datang tidak lama, ia dapat telepon, setelah itu pamit pergi. Wajahnya kelihatan panik, aku membiarkannya pergi tanpa tahu kenapa dia seperti itu, mungkin sesuatu yang buruk terjadi.

4 hari setelahnya, Yara meneleponku. Suaraku dengan riang menjawabnya.

“Halo, Yara? Kenapa?” Setelah mendengar jawaban dari seberang sana, aku terkejut, tidak tahu harus berbuat apa. Aku panik, bingung, dan seperti orang linglung. Aku bergegas pergi mengambil jaketku, berlarian mencari taksi. Di dalam taksi, entah kenapa air mataku selalu merembes keluar, aku benar-benar tidak mengerti. Aku hanya terbengong menatap keluar. Pikiranku melayang ke mana-mana.

Sampai di tempat tujuan, rumah sakit. Aku langsung mencari kamar yang di beritahu Yara tadi. Di sana terlihat ramai. Wajah mereka terlihat muram. Yara melihat ke arahku. Berlari memelukku. Yara histeris.

“Apa yang terjadi, Yara?” Aku ikut terisak mendengar tangisan Yara. Suaraku terdengar serak.

“Arsen ... pergi, Na.” Aku tahu itu dari telepon, aku ingin memastikannya lagi. Kukira aku salah dengar. Ternyata benar. Tidak ada yang perlu diperjelas. Air mataku mengucur lebih deras. Aku tidak bisa meminta penjelasan sekarang, semua masih belum percaya dengan kepergian Arsen, mereka masih terlihat syok.

Sorenya, Arsen di makamkan. Masih terdengar jelas tangis pilu keluarganya. Apalagi seorang perempuan paruh baya yang menjadi ibu Arsen itu. Beberapa orang mulai pergi, menyisakan orang yang masih menganggap ini mimpi, termasuk aku.

 Aku menatap kosong ke arah malam Arsen, benar-benar tidak percaya dirinya sudah pergi. Seseorang menepuk pundakku, ibu Arsen. Dia berusaha tersenyum meski masih terlihat terpukul.

“Kamu Anna?” tanya ibu Arsen. Aku mengangguk. Ibunya memberiku sebuah buku. Buku hitam yang entah kenapa di berikan kepadaku. “Ini buku Arsen, buku Arsen tentang kamu, Anna.”

Yara mendatangiku bersama seorang perempuan cantik, perempuan saat di taman waktu itu. Yara memelukku sebentar, lalu melepaskannya. “Kita balik dulu yuk, ngobrolnya jangan di sini.” Aku hanya bisa mengangguk.

Kami kembali ke rumah Arsen. Bukan, lebih tepatnya aku ikut mobil mereka karena tadi tidak sempat membawa mobil.

“Duduk dulu, Anna.” Aku terkejut mendengar perempuan yang kutemui di taman itu mengetahui namaku. Aku duduk sambil memangku buku hitam tadi.

“Sebelum kami jelaskan, lebih baik kamu baca kertas di buku itu, Anna. Mungkin beberapa pertanyaanmu akan terjawab,” tunjuk Yara pada buku ini. Aku tidak banyak bicara, hanya mengangguk, lalu membuka buku tersebut. Di dalamnya terselip sebuah kertas. Aku membaca isi kertas tersebut.

Surat UntukmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang