Barisandhya || 1

11 5 0
                                    

Suara angin ribut tak menghalangi pendengaran Andhy, dia tahu ada isak yang tengah gadis itu tahan di seberang sana. Tangis yang berusaha dibendung, mungkin dia tidak ingin Andhy mendengarnya.

"Lo di mana? Gue ke sana sekarang."

Setelah mengetahui lokasi sang gadis, dia pun pergi berharap kehadirannya bisa sedikit membantu. Sebagai teman, Andhy memang dikenal cukup perhatian dan mudah diajak membicarakan banyak hal.

Di pinggir pantai, pelabuhan tampak sepi di jam seperti ini. Biasanya tempat itu akan ramai kembali saat sore atau menjelang malam, tidak sedikit juga orang yang memilih lokasi ini untuk duduk bercerita saat malam.

Andhy melangkah pelan, dari belakang dia bisa melihat ada getar yang gadis itu tahan. Menepuk dengan pelan, Andhy mengangkat alis saat menemukan wajah cantik di hadapannya berurai air mata.

"An-andhy ... "

Bahu fungsinya sebagai tempat untuk bersandar, kali ini terpakai juga karena gadis itu menangis dalam pelukan. Andhy belum bisa bertanya, ia paham temannya butuh waktu sebelum akhirnya mengurai cerita dengan sendirinya.

"Gue nggak tahu salahnya di mana, dia pergi gitu aja dan nggak ngasih penjelasan apa-apa."

Andhy membuka penutup botol air mineral, mengulurkannya pada gadis di samping. Ia menunggu jeda, memilah kata yang tepat untuk menanggapi kalimat yang baru saja didengar.

"Kalian berantem sebelumnya?" Gadis itu menggeleng, dia menyerahkan kembali botol air pada lelaki di sampingnya. "Hubungan kalian udah berjalan berapa lama?"

"Tiga minggu."

Andhy sebenarnya paham, temannya ini hanya menjadi sasaran permainan. Mustahil senior seperti itu akan lama bertahan menjalin kisah dengan orang yang baru ditemuinya, mereka hanya butuh validasi setelah Ospek selesai dilaksanakan.

"Lo sayang beneran sama dia, Dir?"

Gadis itu menatap ke arah Andhy, pertanyaan barusan ia jawab dengan anggukan pelan. Tidak mungkin dia bisa merasa sesakit ini jika tidak benar-benar menyimpan perasaan, Adira baru menikmatinya sekejap dan lelaki yang notabene seorang senior dari mereka itu pergi tanpa penjelasan.

"Gue tahu ini bukan saat yang tepat," ujar Andhy, "tapi masa' lo nggak ngerti kalau selama ini dia cuma main-main?"

Adira mengembuskan napas, mengusap lelehan bening di wajahnya dengan sedikit kasar. Sedikit jengah, tapi ini adalah pilihannya bercerita pada orang lain.

"Gue tahu, gue paham. Tapi ... entah sejak kapan gue bisa sayang beneran sama dia."

"Berarti ilmunya jago, lo bisa dibikin patah hati sampai segininya."

"Lo nggak ngerti posisi gue."

Andhy tersenyum kecut, dia membuang wajah dan menikmati suasana senja di pinggir pelabuhan. Rasanya sudah lama, ia merindukan momen tenang seperti ini. Meski awalnya, ia datang ke tempat ini bukan karena keinginan sendiri.

Adira yang beberapa waktu sudah mulai jarang bergabung, mendadak membuat panggilan di gawai Andhy. Lelaki yang tidak memiliki firasat apapun itu hanya bisa menerimanya, sampai akhirnya dia di sini menemani seorang gadis yang patah hati.

"Lo nggak perlu lama-lama kayak gini," ujar Andhy, "mulai besok, lo harus masuk kampus dengan biasa-biasa saja biar dia nggak semakin merasa menang."

"Gimana bisa biasa aja? Gue masih mau ngejar dia, apalagi kalau lihat dia di kampus."

"Bisa nggak kalau lo coba abaikan semua tentang dia, lo masih punya kita semua."

Adira menatap ke samping, jujur kalimat itu yang ia tunggu sejak tadi. Namun, perasaannya menolak, dia sudah salah langkah sejak awal.

"Emang gue masih boleh gabung sama kalian?"

"Ya boleh, lah. Siapa yang berani ngelarang lo coba?"

Adira tersenyum, ada beban yang sedikit terangkat setelah tahu Andhy berada di pihaknya. Setelah ini mereka akan datang ke kos Candra bersama, katanya ada tugas yang harus dikerjakan.

"Beneran nggak apa-apa? Gue 'kan nggak sekelas sama kalian semua."

Andhy merasa gemas, ia pun menarik lengan gadis itu dan membawanya masuk. Adira hanya mengikut, dalam hati begitu cemas akan respon teman-temannya yang beberapa waktu belakangan tak lagi disapanya dengan baik.

"Ndhy, bawa catatan yang kemarin nggak?" tanya Abi.

"Eh, Adira ... sini gabung," ujar Candra.

"Diraaa!" Laila datang mendekat, menarik lengan Adira dan membuat gadis itu membuang rasa canggungnya.

Mereka sibuk mengerjakan tugas yang direncanakan, tidak ada yang berubah karena semua masih menganggap Adira tetap seperti biasa. Andhy beberapa kali tersenyum, ia sudah bisa melihat Adira merasa lepas saat Laila dan yang lain mengajaknya bicara.

Meski tidak sekelas, tentu saja mata kuliah mereka sama dan Adira juga memahami apa yang sedang teman-temannya kerjakan. Sembari membantu, Adira mencuri pandang ke arah Andhy dan merasa hangat karena ternyata lelaki itu benar.

"Terima kasih."

Andhy sedikit mengerutkan kening. "Buat apa?"

"Karena lo ada buat gue hari ini, lo juga yang bawa gue balik ke mereka."

"Sama-sama. Mulai besok, lo udah nggak boleh segan lagi. Kita semua masih temen lo."

Adira mengangguk, motor yang mereka gunakan mengarah ke jalan rumah gadis itu. Sebagai seorang yang tinggal sendiri, baru kali ini dia merasa ada orang lain di sampingnya. Selama tiga pekan menjalin hubungan dengan senior, dia sering keluar dan tidak merasa kesepian. Beberapa waktu lalu, dia berpikir akan kehilangan sumber kebahagiaan saat kekasihnya pergi. Namun, Andhy benar dengan ucapannya yang mengatakan bahwa gadis itu masih memiliki mereka.

"Sekali lagi makasih ... lo nggak mau mampir dulu?" tanya Adira.

Andhy melihat ke sekitar rumah Adira. "Nggak usah, udah malem juga dan lo harus istirahat."

"Kalau gitu, sampai ketemu besok di kampus."

Andhy mengangguk, ia pamit dan memutar arah motornya ke jalan utama. Sepertinya hari ini ada pelajaran hidup yang bisa dibawanya pulang, Adira kembali dengan harapan gadis itu tidak akan lagi masuk ke lubang yang sama. Cukup tenang, Andhy tidak perlu repot menyadarkan gadis itu akan kesalahannya.

Salah karena sudah terlalu percaya pada orang baru, salah karena meski sudah paham nyatanya Adira bisa menaruh rasa yang terlalu berlebihan. Sebagai teman, Andhy berharap Adira fokus pada tujuannya mengejar pendidikan.

"Nggak ada salahnya, sih. Lagian kita baru semester awal, nggak apa-apa dong kalau main bentar aja," celetuk Abi.

"Ya tetep aja, jadi korban senior itu nggak bagus. Apalagi kalau nanti beneran sakit hati," jawab Andhy.

"Selagi dia baik-baik aja, nggak masalah bukan, sih?" ujar Bian.

"Iya, kita tunggu aja nanti. Kalau dia kecewa, kita bisa jadi tempatnya kembali."

"Candra bener, tapi Adira perlu orang yang meyakinkan sebelum dia balik ke kita lagi," ucap Laila.

Obrolan sore itu ternyata terjadi, orang pertama yang Adira cari adalah Andhy dan beruntungnya lelaki itu bisa meyakinkan temannya tanpa harus banyak berteori.

<**_**>

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 19 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

A Piece of StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang