"Yas, minta tolong anterin ke rumahnya Tante Ita dong."
Gue yang lagi rebahan di kasur spontan menghampiri mama di dapur. Dulu, ketika kakak gue—Haura, masih ada di rumah, dia adalah orang yang langganan disuruh mama keluar-keluar rumah. Karena ya gitu, gue orangnya mageran banget, asli. Ribet juga kan kalo kemana-mana, kudu pake jaket dulu, kerudung dulu, celana panjang dulu, baru keluar padahal deket. Si Haura mah bodoamat gasken aja langsung keluar.
Sekarang si Haura lagi di Malang, gantian gue yang jadi korban tumbalnya mama.
"Dimana rumahnya Tante Ita?" Tanya gue sambil mengambil kresek di atas meja.
"Bentar, mama share di WA."
Sementara mama buka handphone-nya, gue siap-siap pake jaket dan kerudung. Setelah mendapatkan lokasi pasti rumahnya, gue langsung ngeluarin motor dan tancap gas ke titik yang udah di-shareloc.
Memasuki daerah perumahan, gue sangat terpukau pada rumah-rumah tingkat yang berjejeran. Ngga kaget juga, sih, namanya juga punya anak kerja di Lion Air, pasti wajar punya rumah di perumahan elit kayak gini.
Sampailah gue di rumah dengan gerbang tinggi yang dicat hitam, kayaknya yang ini rumahnya. Gue pun memencet bel yang ada di depan gerbang. Just to make sure, gue juga WA mama agar memberitahu Tante Ita kalo gue ada di depan rumahnya.
Gak lama kemudian, suara pintu dibuka terdengar. Orang yang ada di dalem lagi make sendal, langkah kakinya lumayan rame juga di tengah-tengah perumahan elit yang lagi sepi. Gerbang pun dibuka, menampakkan sosok laki-laki tinggi dengan kaos hitam dan celana abu-abu.
Mukanya keliatan baru bangun tidur. Dia sempet natap gue sebentar, sebelum akhirnya ngomong.
"Kenapa?"
Itu Adrian. Dia terlihat gembel kali ini setelah dua kali sebelumnya gue ketemu dia, dia terlihat sangat rapi dan berwibawa.
Gue yang abis menganalisis penampilannya reflek menggeleng, ghodul bashor elah.
"Dari mama saya," kata gue to the point, menyerahkan kresek berwarna hitam yang tadi gue tenteng.
Dia menerimanya, tapi kayaknya masih nge-lag. "Ini apa?"
"Mana saya tau?" Bales gue spontan.
Adrian cuma manggut-manggut. Dia tiba-tiba aja membuka kresek itu, di depan gue, seolah-olah gue mengiriminya bom. Dan itu ga sopan banget.
"Kenapa ngga buka di dalem aja?" Tanya gue gregetan. Kesel mulu gue kalo ketemu ni orang.
Adrian natap gue masih dengan muka ngantuknya. "Siapa tau kamu ngirimin saya daging babi atau semacamnya."
Mendengar itu, gue langsung naik pitam. Bisa-bisanya dia bahas soal babi lagi?
"Saya bukan masnya, dan lagian itu dari mama saya," saut gue mencoba tetap tenang.
Kali ini dia cuma ngangguk-ngangguk ga peduli. "Ya, makasih."
Abis itu, dia kembali masuk ke dalam dan menutup gerbangnya. Udah, gitu doang. Seolah-olah gue cuman kurir paket yang abis diterima paketnya, bisa langsung ditinggal pergi gitu aja.
Hampir aja gue memaki dia tepat di depan rumahnya, kalo gue ga tiba-tiba denger adzan dzuhur dari kejauhan. Hadeh, timbang ngamuk-ngamuk kayak orang gila, mending gue pulang aja dan maki dia dari rumah.
Ya, ide bagus.
Gue pun pulang, masuk ke dalem rumah dengan alis yang berkerut. Masih badmood gue. Sengaja emang cemberut depan mama biar beliau tau gue gamau lagi disuruh-suruh ke rumah Tante Ita.
"Dih cemberut, kenapa dah," respon mama yang lagi main hape di ruang tengah.
Gue menghela napas kasar. "Masa dikira ngirimin daging babi."
"Sama siapa?" Tanya mama bingung.
"Sama itu lah, siapa lagi, kalo bukan anaknya yang ngeselin," jawab gue masih dengan nada kesel.
Bukannya iba atau gimana, mama malah ketawa denger penuturan gue.
"Jangan marah-marah, awas entar suka loh."
Idih. Ogah dulu gue sama orang kayak begitu.***
Meski sangat jelas kalo gue ga ingin ketemu dia lagi, entah kenapa takdir berkata lain.
Sore ketika gue sedang melaksanakan sholat ashar, bel rumah dibunyikan berkali-kali, bikin gue yang lagi rokaat ketiga jadi buru-buru selesain sholat untuk membuka pintu. Masih dalam keadaan mukenahan, gue sedikit membuka gerbang yang sepenuhnya ketutupan—ga keliatan sama sekali siapa yang ada di depannya.
Dan tampaklah musuh bebuyutan gue disana, dengan polo shirt hitam dan celana panjang. Terlihat dia sedang membawa paper bag di tangan kanannya.
Gue sengaja diem, harusnya yang bertamu lah yang menyampaikan kehendaknya kesini. Tapi tu orang malah diem juga, bukannya ngomong. Ngeselin bet.
"Ini," begitu kata dia setelah kita lama diem-dieman.
"Ini apa?" Tanya gue berusaha tetep sopan.
"Ayam betutu, dari mama saya," jawab dia datar. Gue kira bakalan dijawab babi, tapi ternyata normal aja jawaban dia.
Gue pun menerima kresek tersebut, sekali lagi mengucapkan terimakasih yang tulus—soalnya dikasi ayam. Tapi bukannya pulang, dia masih diem di tempat.
Apa lagi? Isyarat mata gue ke dia.
"Saya kira tamu bakal disuguhin minuman dulu."
Alis gue spontan berkerut, seolah mengekspresikan hah yang begitu kagetnya. Pede banget ni orang?
"Loh masnya tamu? Saya kira cuma mau nganter barang abistu pulang lagi," respon gue dengan tidak berdosanya.
Gantian dia yang keliatan speechless. Terus gue kudu gimana bro? Nyuruh dia masuk sedangkan cuma ada gue di rumah? Nyari mati itu namanya.
Dia berdehem pelan, berbalik. "Kalo gitu saya pamit."
Orang itu pun kembali memasuki mobil Honda Civic-nya, berputar arah dan tancap gas menghilang dari pandangan. Gue masih berdiri di ambang gerbang sampe mobil berwarna silver itu resmi menghilang setelah berbelok keluar gang.
Gue menatap sejenak pada paper bag di tangan. Jangan-jangan disuruh emaknya juga?
***
"Ma, ada ayam betutu dari Tante Ita. Tak masukin kulkas."
Gue melapor pada mama setelah beliau seharian pergi dan baru kembali setelah isya'. Mama yang membawa kresek di tangannya langsung sumringah, menaruh kresek tersebut di atas meja dan ngecek ayam betutu dari Tante Ita.
"Dipanasin, Yas, buat papa makan nanti. Udah masak nasi belom?"
"Oh, iya, belom. Barusan abis nasinya, aku abis makan, ini masih direndem tempatnya," jelas gue duluan sebelom diomelin gegara gada nasi.
"Ya, nanti masak ya."
Kira-kira setengah jam kemudian gue baru memasak nasi. Mama pun manasin ayam betutu di air fryer, kemudian menyajikannya di atas meja makan. Tepat jam setengah sepuluh, papa mengetuk pintu rumah.
Gue lantas bersegera ke depan, membuka pintu menyambut kedatangan 'Yang Mulia' pulang.
"Assalamu'alaikum," kata papa setelah gue membukakan pintu.
"Wa'alaikumussalam," jawab gue, mencium punggung tangan papa, kemudian membawakan tas kerjanya masuk ke dalam.
Di ruang tengah, mama pun menghampiri papa, menyaliminya dan memberikan segelas air.
"Minum dulu," kata mama menyodorkan gelas.
Papa pun menerimanya, "Bismillah."
Tepat ketika papa baru mau minum air tersebut, gue nyeletuk sambil meletakkan tas kerja papa di meja.
"Duduk, Pa," gue menyengir, ceritanya mengingatkan.
Papa ikutan menyengir, langsung pindah ke sofa buat lanjut minum. Sementara papa minum, mama balik ke dapur, ngambil nasi dan ayam betutu di atas meja makan, kemudian kembali ke ruang tengah buat ngasi makan ke papa.
"Widih ayam betutu. Beli dimana, Ma?" Tanya papa tergiur setelah ayam betutu tersebut tersaji di depannya.
"Dikasi Mbak Ita, tadi anaknya nganterin kesini," jawab mama sumringah.
Papa menoleh ke gue. Mukanya seakan-akan bertanya, Mbak Ita itu temennya yang mana?
"Itu loh yang kondangan kemaren," gue bantu menjelaskan, papa cuma ngangguk-ngangguk ga seberapa peduli.
"Pa, anaknya Mbak Ita kerja di Lion tau," kata mama sembarangan milih topik.
Papa cuman menoleh sekilas, lanjut makan. Percayalah orang yang satu ini ga seberapa peduli sama orang lain selain keluarganya.
"Kayaknya pilot deh," lanjut mama lagi, mencoba bikin papa tertarik dengan pembicaraan. Entah apa tujuannya.
"Masih muda, Pa, belom nikah dia," mama masih gak gentar, kembali nyerocos.
Barulah kemudian, papa kayaknya ngerti kemana arah pembicaraan. Beliau menoleh ke gue, bertanya, "Emang Yasmin mau sama dia?"
"Hah? Kenal aja engga, Pa," jawab gue menolak mentah-mentah.
Mama berdecak. "Yeu, pilot loh, Yas. Kapan lagi dapet suami pilot."
Gue menatap mama aneh. "Lah yang mau nikah sama dia emang siapa? Mama? Kalo aku sih gamau ya," kata gue ketus, kekeuh ga nerima tawaran itu sekalipun dipaksa. "Pilot atau presiden sekalipun, kalo aku ga seneng ya gamau aku, Ma."
Gue pun beranjak dari sofa, mengambil gelas papa yang udah kosong dan mengisinya kembali.
"Kirain ngambek, Yas," mama nyindir setelah melihat gue yang kembali dengan segelas air di tangan.
"Kok ngambek?" Tanya gue bingung.
"Lah itu tadi pergi, kayak orang ngambek," jawab mama dengan watadosnya.
"Ngambek, ngambek, noh suaminya seret ga diambilin air," jawab gue gregetan gegara dituduh ngambek, meletakkan gelas yang gue bawa ke depan papa.
"Silahkan, King, diminum," tawar gue sopan, sebelum akhirnya bener-bener pamit undur diri masuk ke kamar.***
*
KAMU SEDANG MEMBACA
arunika
Любовные романы"Saya kira mbaknya muslim." Cuman 1 kalimat, tapi udah cukup bikin Yasmin Adiba tersinggung bukan main kalo aja dia ga punya adab terhadap lawan jenis. Kirain cuma bakal ketemu sekali, tapi yang namanya emak-emak ada aja kelakuannya buat dapetin men...