CHAPTER 24

142 29 10
                                    

Bukit Stella sore ini mengeluarkan aroma khas tanah basah sehabis diguyur hujan. Sudah lebih dari 10 menit yang lalu Chanyeol keluar dari mobilnya, menghirup dalam-dalam aroma petrichor yang konon dapat membantu menenangkan pikiran pada siapapun yang menghirupnya. Ia bukanlah orang yang mudah percaya pada hal seperti itu, namun kali ini ia akan percaya. Karena ia sedang sangat membutuhkannya, ia butuh apapun yang dapat membuatnya nyaman. Setidaknya agar bisa membantu menenangkan hati dan pikirannya.

Rintik hujan masih jatuh dari langit, namun tidak cukup untuk bisa membuat tubuh pria pertengahan 30 tahun itu basah kuyup. Sambil memejamkan mata, Chanyeol benar-benar menghirup sebanyak mungkin aroma petrichor agar bisa segera membantu menenangkannya. Disaat Ia memejamkan mata itu, pikirannya justru jadi semakin kalut. Entah kenapa ia justru mengemudikan mobilnya ke Bukit Stella setelah selesai melakukan transfusi darah bersama dengan Wendy.

Di dalam mobil, Wendy hanya diam memperhatikan Chanyeol yang saat tiba di Bukit Stella segera bergegas turun dari mobil dan tak menghiraukan kehadirannya. Ada sedikit rasa sakit melihat perlakuan Chanyeol yang untuk pertama kalinya terlihat acuh. Atau mungkin sebenarnya, itu adalah cara pria tersebut menyembunyikan rasa sakit yang tengah menghinggapinya. Tapi seharusnya itu tak bisa dijadikan alasan. Pada masalah ini mereka berdua sama-sama tersakiti. Dan seharusnya dengan ini mereka justru bergandengan tangan sambil saling menguatkan.

Tapi tak apa. Mungkin rasa sakit pria itu tak sebanding dengannya yang memang sejak awal tak pernah menaruh harap apapun pada hidup. Ia sudah lama hidup berdampingan dengan penyakit ini, jadi mungkin saja Chanyeol masih berusaha untuk berdamai dengan keadaannya.

Sebelah tangan Wendy ia gunakan untuk mengusap pelan cincin dijari manisnya sebelum memutuskan untuk ikut keluar dari mobil dan menghampiri Chanyeol. Punggung lebar dan tegap pria itu tak berubah dari belakang. Terlihat tetap tangguh dan kokoh seolah siap menerjang apapun masalah yang ditawarkan kehidupan yang kejam ini.

"Chanyeol..." Wendy berhenti beberapa langkah dibalik punggung kekasihnya. Suaranya terdengar tenang namun menyimpan makna lain.

"Hmm." Hanya itu sahutan dari Chanyeol, ia bahkan tak membalikkan badan untuk bertemu tatap dengannya.

Wendy memajukan kakinya dua langkah agar bisa meraih dan mengusap punggung Chanyeol. "Boleh aku bertanya padamu?" mendengar pertanyaan itu membuat Chanyeol akhirnya memutar badan perlahan, menatap kekasihnya yang justru terlihat tenang.

"Kenapa kau ingin menikahiku?" Chanyeol segera mengarahkan pandangannya pada cincin dijari manis Wendy sebelum beralih pada wajah teduh dihadapannya.

"Hal itu yang ingin aku jelaskan padamu." Jawabnya sepersekian detik setelahnya, Chanyeol mengepalkan kedua telapak tangannya yang berada disamping tubuh. "Ini hutang yang aku maksud." Lanjutnya kemudian balik mengarahkan pandangannya pada pemandangan kota Seoul dengan langit sore jingga keunguan.

"Apa kau tak tau atau tak ingin tau jika akhirnya kita menikah, kita tak bisa memiliki keturunan?" Rasanya Chanyeol tak sanggup untuk menatap sepasang mata Wendy, maka ia bersikeras untuk terus menatap lurus ke depan. Tiba-tiba usapan hangat tangan Wendy mengelus telapak tangannya yang mengepal, perlahan membuatnya balas menggenggam tangan itu.

"Aku...melupakan hal penting seperti itu. Aku terlalu bahagia dan bersemangat saat memikirkan untuk menikahimu." Jawabnya dengan jujur. Wendy melirik Chanyeol sekilas lalu tersenyum, kemudian ikut mengedarkan pandangannya lurus ke depan. Entah apa yang sedang ditatapnya.

"Jadi, apa kau sekarang berubah pikiran? Apa kau ingin membatalkannya?" pertanyaan Wendy membuat Chanyeol sedikit agak tersinggung.

"Wendy, jangan bicara seperti itu denganku." Dengan nada suara yang terdengar agak marah, Chanyeol menyahut kalimat Wendy tak suka.

From A Man Who Truly Loves YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang