15. I still alive

11.4K 586 3
                                    

Bagai hilang akal, dia meremat Delmora, meninggalkan jejak merah bekas tangannya. Belum puas, dia menarik tubuh perempuan itu dan didekap seeratnya. Seolah-olah gadis yang menghantar suhu panas itu bukan manusia, melainkan bantal. Entah seberapa buta pria tersebut untuk melihat wujud terluka istrinya yang terlihat kecil.

'Bisakah dia berubah menjadi makanan?'

'Agar dapat dikunyah.'

Meski kantuk, dia lekas membuka mata lagi apabila hampir terseret tidur. Asik memainkan tubuh remuk istrinya. Dylan duduk, mengangkat bahu gadis itu, sangat lemas. Tidak terusik, hanya bernapas. Kemudian, ia meletakkan tubuhnya kembali tanpa kelembutan.

"Apa pun bisa kulakukan saat kau tak mampu bergerak lagi," ujarnya. Ia menunduk, melihat wajah Delmora dengan kantuk, mengusap pipi itu yang sedikit tirus. Setelahnya, dia merebah dengan sedikit menimpa tubuh kecil tersebut, pun menghirup aromanya. Itu tampak ngilu terlihat.

Sangat lelap, Dylan tidur lebih lama dari biasanya. Matahari sampai setinggi tombak, barulah dia terbangun. Akan tetapi, Delmora belum sadar meski dia sudah meremat dan memanggilnya beberapa kali untuk pulang.

'Gadis bodoh.'

Tindakkannya, tentu akan membuat Delmora marah bila tahu. Namun ia mengabaikan dan tetap mengangkat tubuh perempuan itu. Menggendongnya sampai gerbong, dan menidurkannya pada pangkuan.

Dylan sepuasnya memainkan wajah tersebut sampai beberapa hari selama di perjalanan.

****

"Lama tidak berjumpa, Gilbert."

Sapaan itu tiba bersamaan dengan sepasang sepatu berhenti di sisi kaki meja yang berada di gazebo. Gilbert mengakhiri rutukkan dan menengadah. Menemukan lelaki berambut abu yang ditunggu. Ia kemudian berdiri dan membungkuk hormat. "Kesejahteraan untuk Anda, Yang Mulia Pangeran," sapanya.

Lelaki beriris legam itu menyunggingkan senyum, lantas menepuk pelan tangannya ke meja untuk bertumpu. "Kemari untuk menjadi asistenku, bukan?" tanya sang pangeran percaya diri.

"Bukan," jawabnya spontan, lantas duduk lagi dengan mimik wajah serius. Membiarkan si Pangeran tetap berdiri sembari menumpu tangan di meja.

"Lalu, apalagi? Ingin memancing?"

Gilbert membuang napas, sekaligus kelelahan karena mendadak memutuskam pergi ke istana. "Anda tahu sesuatu mengenai Dylan Vince dua tahun lalu?"

Terlihat heran, Pengeran Rex mengedip dua kali. "Berguna untukmu?"

"Sangat. Sangat berguna, Yang Mulia Rex."

Dia mencebikkan bibir. "Jangankan urusan rahasia seperti itu! Untuk wasiat saja yang kelak akan kulihat, belum pernah diberi tahu!" timpalnya terdengar kesal. Lantas duduk dengan gaya cepat.

"Meski hanya sedikit cerita?" desak Gilbert, meminta.

Mengerutkan alis sejenak, Pangeran Rex menerawang dangkal. Lantas mendengkus diiringi tangan yang sesekali mengepal, lalu terbuka lagi. Terulang selama tiga kali. Gilbert cukup tahu, Pangeran yang menyandang gelar Putra Mahkota itu tengah ragu-ragu jika memainkan kepalan tangannya begitu.

"Sedikit saja," bujuknya, memaksa dengan santun. "Maka akan saya beritahu berita baru yang bisa membahayakan rakyat," tambahnya.

Rex meluruskan wajah pada Delmore Gilbert, terkejut akan pengajuan sebuah kabar, tapi setelahnya terkekeh mengingat seorang Dylan. "Tidak ada pembelaan selama disidang, bedebah itu hanya mengatakan kalau dia kesal pada orang tuanya."

"Aneh." Gilbert menundukkan kepala dengan tangan di meja, terkepal kuat. "Sungguh layaknya tidak bisa bebas. Dia seorang anak, bukan pemimpin seperti sekarang yang bisa bertingkah sesuka hati," timpalnya.

Your Grace, Kill Me NowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang