Trigger Warning: mention of violence.
Disclaimer: 100% fiksi, tidak bermaksud menyudutkan kelompok tertentu.Sabila masih memikirkan informasi yang ia peroleh tadi pagi. Danil tiba-tiba mengajaknya ke sebuah tempat, sebuah gedung terpisah dari kompleks Angkatan Udara. Rupanya, kenalan kakak Danil adalah seorang intelejen, dan ia tidak diperkenankan membawa apapun ke luar ruangan. Jadi Sabila sendiri yang harus melihat data-data itu di komputernya.
Sekarang, dengan segala informasi yang ia peroleh, ia masih menimbang apa yang sebenarnya terjadi dan bagaimana ia harus menanyakan ini ke suaminya.
Ayah Renner, gugur di tahun 2005. Ketika membantu pemerintah Yemen melawan pemberontak. Luka tembak di leher yang menewaskannya.
2001, ditugaskan melawan GAM di Aceh. Beliau sempat terluka parah dan dirawat di rumah sakit selama sepuluh hari. Luka tembak di bagian dada, dan patah kaki. Medical records-nya juga menunjukkan luka lebam dan tusukan di banyak tempat.
Ayah Renner...disiksa? Sabila bergidik membayangkannya.
File dibawah misi Aceh ditandai 'sangat sensitif' dan tidak ada keterangan lebih lanjut. Beruntung, Kakak Danil punya senior yang bertugas pada masa itu dan Sabila telah mendapatkan kontaknya. Perkara beliau mau cerita atau tidak, Sabila belum tahu.
Selang enam bulan, beliau kembali bertugas active duty. Setelah itu, 1 tahun di Poso, 1 tahun di Papua, kemudian 1 tahun di perbatasan Timor Leste, sebelum akhirnya ke Yemen. Detail tugasnya memimpin pasukan kecil untuk mengamankan daerah. Tapi, kenapa jauh-jauh sekali dari Jakarta?
Sebelum di Aceh, beliau selalu ditempatkan di Jakarta, dengan penugasan 1-3 bulan di beragam tempat. Sabila membayangkan Renner kecil yang masih punya sosok ayah. Dan kemudian ditinggal selama bertahun-tahun, dengan waktu senggang 1-2 bulan di tengah masa penugasannya. Mungkin ini yang dimaksud Renner bahwa ayahnya tidak tahan membesarkan Renner di rumah tanpa sosok mama.
Tapi yang jadi perhatian Sabila adalah, setelah dinyatakan sembuh dari RSPAD karena luka dari penugasan di Aceh, ayah renner sempat dibebastugaskan selama enam bulan. Alasannya: Diagnosa PTSD* dari dokter militer.
Sabila tertegun. Ia sebenarnya sempat bertanya perkara PTSD ke Renner untuk diri Renner sendiri, mengingat banyaknya kejadian traumatis yang ia alami. Tapi Renner mengaku dirinya tidak pernah mengalami ini, ia selalu mendapatkan ijin bertugas dari dokter kepolisian yang selalu memberinya tes psikis secara berkala. Dan lagi, Dokter Irene, psikiater andalan Renner juga tidak pernah membahas hal ini.
⏳⏳⏳
Beberapa hari kemudian, Sabila pulang jam 1 pagi lebih sedikit. Ia masuk kamar, dan Renner yang sudah terlelap segera terbangun, "Hmmh. Kamu udah pulang." sapa Renner setengah sadar.
"Iya, bentar aku bebersih terus tidur." jawab Sabila sambil menyalimi tangan suaminya.
Jam 5 pagi, alarm subuh Sabila berbunyi. Ia melihat ke sebelahnya, kosong.
Sabila melangkah gontai ke kamar mandi. Sesuai dugaan, Renner terlelap meringkuk di bathtub kamar mandinya.
"Ren...Pindah ke kasur, gih." Sabila mengusap pelan kepala suaminya.
"Hm." balas Renner singkat, kemudian berdiri, merengkuh badan Sabila sebelum berjalan ke luar kamar mandi.
Setelah ambil wudhu, Sabila menemukan suaminya sedang sibuk di depan lemari pakaian.
"Loh, kamu nggak tidur lagi?" tanya Sabila.
"Enggak aku mau nge-gym aja, udah nanggung jamnya. Ada briefing tugas baru jam 7 dari Pak Jeffry." jawab Renner sambil mengambil tasnya dan segera keluar kamar, tidak mau mengganggu ibadah subuh Sabila.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tim Shadow dan Perintilannya
Ficción GeneralOne-shots. Cerita pendek seputar Tim Shadow, Renner, dan Sabila. Sekuel dan prekuel dari "Two Worlds Colliding". Nggak urut.