Laki-laki tua berbadan ringkih berdiri dengan mata terpejam, sedangkan bau anyir yang menusuk hidung seperti menghentakkan tubuhnya untuk membuka mata secara paksa. Mata Kakek Ranupati terbelalak dengan apa yang dilihatnya, takut pun seketika menjalar ke dalam pikiran.
"Jangan takut!"
Salah satu dari mereka menepuk pundak kakek tua itu, membuat keringat dingin mengucur di dahinya yang telah keriput.
"Si ... siapa kau?" tanya si kakek dengan terbata-bata.
Dia mengumpulkan keberanian untuk menatap makhluk halus dengan penampilan seperti prajurit kuno yang mengenakan baju berwarna kuning keemasan.
Wajah pucat pasi dengan mulut tanpa garis tengah sudah cukup untuk menjelaskan bahwa inilah prajurit dari Kerajaan Wentira, tempat asal Bajang Kembar.
"Kau akan menemui panglima kami," ucap prajurit dengan ekspresi wajah datar.
"Untuk apa?" tanya kakek, heran.
"Bajang Kembar yang telah terpisah," sahut prajurit.
Kakek Ranupati mengekori langkah makhluk ghaib itu. Tak lama kemudian, dia sudah duduk di hadapan sang panglima Kerajaan Wentira.
"Mustika Bajang Kembar yang kau pegang, berikanlah kepada keturunan terakhirmu," ucap si panglima, suaranya terdengar berat.
"Sekar Jati Candraningtyas?" tanya kakek, mengingat nama cucunya.
"Benar. Kelak, dia sendiri yang akan mengambil pasangan mustika Bajang Kembar yang kupegang. Itu adalah masa di mana kau akan mati," jawab panglima.
Kakek Ranupati tersentak dari tidurnya. Percakapan tadi hanyalah bunga tidur di pukul 01.00 dini hari. Dialog singkat dengan makhluk-makhluk halus tadi masih terekam jelas di benaknya.
Dia beranjak dari pembaringan menuju almari baju yang tampak klasik dengan seni ukir di setiap sudut. Walaupun remang, netranya masih awas menyelidik di mana letak mustika merah Bajang Kembar miliknya. Tak disangka, ternyata mimpi itu benar. Hanya tersisa satu mustika yang sekarang digenggam Kakek Ranupati.
"Aku harus menyerahkannya pada cucuku, Sekar," gumam Kakek Ranupati, dia meyakinkan diri.
***
Udara pagi yang menyegarkan dan sahutan kicau burung terdengar merdu menambah aura positif tersendiri bagi Kakek Ranupati.
Lelaki tua itu sudah memerintahkan sopir pribadinya untuk bersiap ke rumah sang cucu. Seusainya, ia merogoh saku celana untuk mengambil ponsel jadul. Kakek itu menelepon Ayuningtyas, anak semata wayangnya.
"Halo, Sugeng enjing. Ada perlu apa, Bapak?" sapa si anak dengan bahasa Jawa yang berarti selamat pagi.
"Nanti sore Bapak akan ke rumahmu."
"Kadingaren, Pak. Ayuningtyas tunggu, ya, Pak," sahut ibu kandung Sekar.
"Telepon siapa, Bu?" tanya Sekar. Gadis itu menghampiri orangtuanya yang tengah duduk santai ditemani teh hangat.
"Kakek. Nanti akan mengunjungi rumah kita."
"Oh, ya sudah, Sekar berangkat ke sekolah dulu," pamit Sekar seraya mencium punggung tangan kanan ibunya.
Hari Senin memang super sibuk, tak terkecuali Sekar. Dia berangkat tergopoh dengan motor matic miliknya.
Pagi ini jalanan Kota Bandung sudah ramai dengan kendaraan bermotor. Asap-asap kendaraan menelusup ke kaca helm Sekar, menerpa wajahnya yang ayu. Sekar melirik pergelangan tangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kamu Bisa Melihat Hantu? [TELAH TERBIT]
HorrorIni adalah novel horor orisinil karya saya yang sebelumnya tidak pernah dipublish di wattpad. Betul, tulisan ini saya kirim dan langsung diterbitkan oleh Edwrite Publishing. Saat itu, saya masih memakai nama pena Ryen Privania. Dengan cetakan pertam...