Chapter 13 : Burying memories

196 8 0
                                    

Ulang tahun dirayakan empat tahun sekali. Setiap tanggal 29 Februari, gadis bernama Hera Belladonna itu memiliki daftar impian di dalam buku diary.

Sesudah tiup lilin, selain diucapkan dalam hati, ia mencatat kembali setiap keinginannya sejak usia lima belas. Tidak ada satu pun yang tahu karena Hera jarang membagikan hal pribadi. Anehnya, namun hari ini satu per satu make a wish-nya diwujudkan oleh pria asing yang baru ditemui dua hari. Di diary itu, Hera pernah menulis harapan suatu saat nanti akan menonton konser sekali dalam seumur hidup, lalu lanjut makan malam bersama di restoran terlezat sambil menikmati momen indah hanya berduaan.

Dan ia pernah berharap paling tinggi memiliki kekasih yang romantis. Romantis dalam artian bisa memberi seluruh love language-nya tanpa diminta.

Cinta yang berlebihan memang tidak baik. Namun bagi yang tak pernah merasakan itu adalah rasa bahagia luar biasa. Orang yang haus rasa kasih sayang berharap suatu saat nanti akan ada pasangan yang memanjakannya, mengurusnya, mencintainya secara tulus. Yang utama, selalu menerima segala kondisi kekurangannya.

Malam hari di Toronto, cuaca sedang dingin-dinginnya ditambah angin sepoi-sepoi terasa sejuk di kulit. Cuaca bagus tidak mendung mendukung Calvin menerbangkan sendiri helikopter berwarna hitam metalik itu tanpa bantuan pilot.

"Pakai ini." Calvin memakaikan headset jenis ANR yang katanya mampu mengurangi kebisingan baling baling. Sekaligus jika mau berkomunikasi bisa mengandalkan benda itu supaya terdengar.

"Terima kasih," ucap Hera pelan, membenarkan agar posisi headset penerbangan itu nyaman di kedua telinganya.

Perlahan-lahan Calvin dengan cekatan mengemudikan roda kemudi helikopter, menerbangkan capung baja kecil itu menuju naik ke langit. Mengudara kian tinggi melebihi gedung-gedung pencakar langit kota Toronto. Hera melihat itu takjub. Sama sekali tak menyangka bila suasana dari atas sungguh indah. Dari atas sini terlihat bangunan memancarkan lampu-lampu yang membuat kesan lebih mewah. Cahaya rembulan pun turun menyinari langit bumi di malam hari.

Tidak pernah naik pesawat sama sekali, Hera seperti orang norak bin udik yang wajahnya ketara sekali sungguh terpesona tidak bisa disembunyikan. Matanya berbinar-binar, bibirnya menyunggingkan senyum manis menyiratkan kebahagiaan, berbeda sejak tadi sore mukanya bermuram durja.

Satu lagi harapan dalam diary-nya itu terkabul, bisa menikmati pemandangan indah dari atas pesawat terceklis.

Calvin menoleh singkat pada Hera. "Ternyata mudah sekali membalikkan suasana hati orang sepertimu."

Tersadar raut wajah senangnya tidak terkontrol, Hera mulai menipiskan bibirnya jadi datar tak tersenyum lebar kala merasakan angin berhembus sudah semakin dingin menusuk sampai ke tulang. Tanpa sadar gadis itu memeluk diri sendiri, mengusap lengannya memberi kehangatan, lalu berkata memandang Calvin lekat-lekat dari posisi menyamping.

"Karena sudah ketahuan maka aku akan menjawab jujur. Aku tidak pernah naik pesawat sekali dalam seumur hidup. Walau ini hanya helikopter, tapi aku senang bisa melihat pemandangan dari atas langit, ternyata luar biasa indah."

"Sebegitu miskinkah hidupmu?" tanya Calvin santai bukan bermaksud menghina.

Sayangnya pria yang terlahir kaya tidak pernah merasakan apa itu kekurangan. Sehingga Hera malas menjawab pertanyaan menyebalkan itu.

"Pemandangan indah terjadi kalau terbang di malam hari apalagi ditemani oleh wanita indah." sahut Calvin lagi sembari melepas jaket kulitnya lalu dilemparkan ke sebelah. Ia tahu Hera kedinginan.

"Pakai itu." Nada Calvin masih rendah dan memasang wajah dinginnya yang khas. "Aku tak mau repot jika kau mengalami hipotermia. Perjalanan kita kurang lebih setengah jam lagi. Jaketku tebal. Aku akan semakin menaikkan lebih tinggi dan udara akan semakin dingin. Angin malam lebih bahaya."

MADDEST OBSESSION Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang