Bab 7

5.3K 190 0
                                    

Dengan cepat Rubi berkamuflase. Senyuman lebar selalu mengembang setiap kali menjumpai orang-orang. Topeng yang ia pakai berhasil mengelabui setiap orang. Padahal siapa sangka di balik senyuman tulus itu, tersimpan sayatan demi sayatan luka yang belum diobati yang mana menghasilkan ratusan rasa sakit.

Mencoba tegar dan tetap menjalani hari dengan baik, adalah implementasi yang sering dijalankan. Walau pada kenyataan, hal itu tidak mendatangkan kelegaan bagi Rubi. Karena sebesar apa pun kesengajaan yang ia lakukan demi menambal setiap sayatan itu. Hasil yang diperoleh adalah rasa sakit.

"Morning suamiku." Seperti biasa, Rubi selalu akan mengecup cepat bibir suaminya. Tentu saja tidak dengan penolakan karena ia melakukannya dengan cepat dan diam-diam tanpa sepengetahuan Jonatan. Dan selalu saja akan begini, Jonatan kaget. Matanya membola dan terakhir selalu menyeka bibirnya dari hasil kecupan Rubi.

Tersinggung? Tidak lagi! Karena ia selalu mengelami satu siklus yang sama seperti ini hampir setiap hari. Untuk itu, Rubi menanggapinya dengan sesantai mungkin. Ia kebal hati. Kebal fisik. Ya, karena mungkin ia merasa telah terbiasa.

Jonatan yang memang telah rapi dengan setelah jas menatap tak percaya. Alih-alih marah, Jonatan malah tercengang. Rubi selalu berhasil mencium bibirnya dalam setiap kesempatan tanpa sepengetahuannya. Kadang, Jonatan merasa ia terlalu lembek terhadap Rubi.

"Dilap?" Rubi memicingkan mata. Lalu setelahnya ia tersenyum misterius. Oke, Jonatan tiba-tiba dibuat ngeri dengan perawakan Rubi. Entah apa yang sedang dirancang Rubi dengan otak kecilnya itu. Namun, hal tersebut cukup membuat Jonatan memasang sisi antisipasi.

Konten Rubi kembali mendaratkan kecupan cepat dan tiba-tiba di bibir Jonatan.

1 kali, 2 kali, dan 3 kali kecupan beruntut didapati Jonatan. Karena minimannya kesiapan, Jonatan dibuat tak berkutik sewaktu dikecup bertubi-tubi oleh Rubi.

"Semakin di lap. Aku makin semangat buat kasih lebih." Tersenyum lebar, itulah tanggapan Rubi manakala mendapat tatapan tajam suaminya.

Setalah 2 bulan hidup dengan status suami-istri, Rubi merasa terbiasa dengan ucapan pedas serta tatapan tajam suaminya. Ia merasa kalau inilah kebiasaan buruk Jonatan.

"Rubi." Desis Jonatan menyerupai geraman.

Ini lagi. Satu kebiasaan yang didapati Rubi setelah ia dengan kurang ajarnya mengecup bibir sang suami. Jonatan akan menegurnya dengan geramam. Namun, bukan Rubi namanya kalau tidak sanggup mengatasi kemarahan sang suami.

Satu kecupan kembali mendarat.

"Sialan." Jonatan mengumpat.

Dan kali ini Rubi merasakan jantungnya berdetak kencang. Jika lalu-lalu ditanggapi santai. Maka, sekarang kebalikan. Dan dengan alasan karena mata bertemu mata. Sehingga umpatan itu terdengar kasar, tajam dan menakutkan bagi Rubi.

"Aku?" Ragu-ragu Rubi menunjuk ke arah dadanya. Sekarang keduanya betul-betul tidak memusingkan soal sarapan. Karena sibuk dengan pertengkaran tak berarti mereka.

"Iya kamu. Kamu, sialan." Oh Tuhan. Jatuh sudah dada Rubi. Entah kegilaan apa yang terjadi. Ia merasa jikalau Jonatan tiba-tiba begitu seksi saat marah-marah seperti ini. Dan enehnya, rasa takutnya menguap jauh entah ke mana.

"Iya, aku sialan. Hukum aku, Jo. Hukum aku dengan kenikmatan," Rubi berucap sensual. Sesekali menggigit bibir bawahnya kemudian mengedipakan mata genit. Jonatan yang melihat, jutrus dibuat terngangah dan langsung memasang sisi antisipasi.

Emosinya tiba-tiba sirna gara-gara mendapati rekasi aneh sang istri.

Kontan Rubi berdiri dan perlahan-lahan mulai mendekat.

Mata Jonatan menatap was-was. Dan tanpa sadar Rubi langsung menjatuhkan diri di atas pangkuan Jonatan. "Jo," panggil Rubi bernada sensual. Sedang tanganya, membelai lembut rahang keras Jonatan. Sementara satunya lagi melingkar tepat pada area belakang leher.

"Hukum aku, Jo. Di sini. Di tempat ini. Rentangkan aku di sini seperti maumu. Perlakukan aku sekehandakmu. Aku siap." Mulut Rubi jatuh pada jakun Jonatan. Pertama-tama ia memberikan satu kecupan ringan. Lembut dan penuh kehati-hatian seolah-olah itu adalah barang langkah yang harus dijaga. Lalu setelahnya disusul hisapan kuat. Kasar dan basah.

"Rubi!" panggil Jonatan manakala mendapati Rubi yang mulai tak waras. Susah paya ia menelan ludah.

"Jo. Hukum aku," pinta Rubi bernada sensual, membuat siapa saja yang mendengar akan merasa sengsara.

"Sialan, Rubi!" sentak Jonatan mana kala merasa pertahanannya akan goyah.

"Jo. Oh." Rubi memejamkan mata. Menikmati kegilaan yang dibuat. Dan kesengsaraan yang diderita suaminya.

"Astaga. Anak ini." Jonatan memekik kaget. Ia tak menyangka kalau Rubi bisa segila ini. Lebih-lebih saat Rubi bermain-main pada jankunnya seolah-olah itu adalah sesuatu yang enak dijilat dan dimakan.

"Oh, Jo," ucap Rubi semakin memainkan jakunnya.

"God." Doa Jonatan. Ini siksaan nyata. Jonatan betul-betul diambang frustasi.

"Oh, tidak. Namaku sayang, Bi." tegur Rubi, menjelaskan. Ia senang mengerjai Jonatan.

"God."

"Rubi." Ia memperingatkan.

"Ya, Tuhan."

"Ya, Rubi."

"Oh, tidak."

"Oh, ya."

"Sialan!"

Sebuah umpatan keras disertai dengan mendaratnya bokong Rubi di atas meja, menyebabkan sang empunya mengerjap tak habis pikir.

Jonatan menatap memburu. Matanya memburu akibat nafsu yang tak tertahankan.

"Jangan buat saya los kontrol, Rubi. Saya tidak sebaik yang kamu kira."

"Saya bisa menyakiti kamu," katanya yang mana berbentuk ancaman membuat dada Rubi naik turun. Ia tidak menyangka Jonatan akan bereaksi seperti ini. Tatapan suaminya memburu; gelap dan tajam seolah-olah turut menghukumnya.

Napas mereka sahut-menyahut. Dada mereka mengembang-mengempis. Sedang aliran darah berpacuh bergitu cepat. Dalam kedekatan mereka, Rubi maupun Jonatan mampu merasakan hembusan napas masing-masing.

Secara perlahan dan penuh kehati-hatian satu tangan Jonatan menyusuri leher Rubi lalu berhenti pada pipinya. Di sana jari jempol Jonatan membelai lembut dan mendatangkan sensasi asing pada tubuh Rubi.

Rubi terpaku. Membiarkan dirinya secara penuh disentuh oleh lelaki yang bukan lain adalah suaminya. Jujur, Rubi merindukan perasaan hangat ini setiap kali Jonatan menyentuhnya.

Secara intuisi, Rubi memejamkan mata. Menantikan adanya sebuah lumatan pada bibirnya. Namun karena tak kunjung terjadi. Perlahan-lahan Rubi kembali membukan mata. Dan secara praktis ia merasa terbunuh saat Jonatan menatap merendahkan oleh senyuman mengejeknya.

"Saya suka istri murahan." 

Publis; Minggu 21 April 2024

Bukan Sekedar Pelampiasan Amarah.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang