8

2 0 0
                                    

"Aa ikut, pak!" Seru seorang anak laki-laki berumur tujuh tahun.

Nalendra berlari kepada sang bapak yang sudah siap di atas motornya, hendak pergi ke pasar untuk menjemput istrinya yang sedang berbelanja di sana. anak laki-laki itu pun duduk di depan, setelah itu pria yang memegangi kemudi motor pun melajukan motornya.

Nalendra tersenyum, berpergian bersama sang bapak menggunakan motor, sangat seru menurutnya. Angin sepoi-sepoi terasa sejuk saat motor berjalan. Nalendra ingin jadi seperti bapak, jadi laki-laki yang baik, murah hati, penyayang, dan penyabar.

"Bapak," ucap Nalendra menatap ke atas.

Sang bapak pun berdeham kecil sambil menoleh ke bawah sekilas, hanya untuk mengetahui keadaan anak laki-laki paling kuatnya itu. "Kenapa, a?"

"Aa mau kayak bapak, terus nanti aa mau punya otot di tangan biar sama kayak bapak."

Pria yang sedang mengendarai motornya itu terkekeh pelan mendengar ucapan sang anak. Ia lepaskan tangan kirinya dari kemudi dan mengelus kepala Nalendra. "Iya, a. Kamu pasti kayak bapak. Kamu harus jadi anak baik, harus berbagi, harus ganteng kayak bapak juga."

Nalendra tertawa mendengar ucapan bapaknya. "Kalo ototnya gimana, pak?"

"Kamu harus olahraga biar otot kamu kayak bapak gini, ya."

Nalendra mengangguk dengan semangat. Mereka berdua pun sampai di pasar, diparkirkannya motor itu di parkiran. Diam mereka di sana, menunggu kedatangan sang ibu.

Anak laki-laki dengan celana kodok itu tersenyum dan melambai-lambaikan tangannya kepada seorang wanita cantik yang menenteng dua kantung kresek. Wanita itu pun terkekeh melihat kelakuan anaknya.

"Yuk, kita pulang. Ibu mau masakin makanan kesukaan kalian," ucap sang Ibu sambil naik ke atas motor.

"Hore!" Seru Nalendra senang saat mendengar bahwa Ibu akan memasakan makanan kesukaannya.

Motor pun kembali melaju menuju rumah. Kedua orang tua itu sesekali tertawa saat mendengar ocehan Nalendra, gemas sekali rasanya.

...

Nalendra mendorong kursi kecil yang ada di dapur hingga kursi itu menempel dengan meja, berdiri Ia di atas kursi itu dan melihat Ibu nya memasak.

Nalendra menoleh kepada sang Ibu. "Aa bantuin, ya, bu."

Wanita yang merupakan cinta pertamanya itu membentuk senyum di wajahnya yang cantik bagai bidadari. "Gak usah, Aa masih kecil."

Nalendra hanya mengangguk sambil memajukan bibir bawahnya. Diam Ia memperhatikan Ibu memasak. Di teras rumah terdengar suara Bapak yang sedang memberi makan burung-burung peliharaannya.

"Aa, sini. Kasih makan burung, nih, sama bapak."

Mendengar panggilan itu, Nalendra segera turun dari kursi dan berlari menghampiri sang Bapak. Ibu menatap punggung Putranya, dalam hatinya Ia berkata. Lucu sekali Nalen, sepertinya akan semakin lucu jika ada Nagen.

...

Nagendra lemas seketika, terduduk Ia di lantai. Keenam orang di sana langsung memeluknya, termasuk Raja Jayendra yang sudah berlinang air mata. Nagendra berteriak sejadi-jadinya, mendengar kabar kalau sang Bapak sudah meninggal di dunia sana membuatnya sangat terpukul.

Kenapa mereka tidak senang? Bukankah mereka berada di alam gaib, dan bisa saja bertemu dengan Bapak? Jelas berbeda. Mereka masih hidup, walaupun di alam gaib.

"Bohong! Bapak can ngantunkeun!" Teriaknya memenuhi seluruh ruangan. Para pelayan berkumpul di depan pintu kamar Nagendra, ikut berduka atas kematian Bapak.

"Bohong! Bapak belum meninggal!"

Pelukan erat mereka perlahan-lahan terlepas, membiarkan Nagendra bergerak sesuka hatinya. Laki-laki itu berdiri, Ia berlari ke arah jejeran lukisannya. Sambil berteriak-teriak, Nagendra rusak semua lukisan indah itu. Hingga Ia terdiam saat berdiri di depan lukisannya yang memperlihatkan dirinya bersama sang adik kembar.

Air mata terus mengalir di pipinya. Ia ambil lukisan itu, dengan lembut Nagendra usap permukaan kanvasnya. Mereka yang ada di dalam ruangan hanya diam memperhatikan Nagendra, isak tangis mereka menghiasi ruangan itu.

Arjuna berjalan menghampiri Nagendra, Ia tarik tubuh itu untuk didekapnya. Tangis histeris kembali terdengar. Sedangkan Soraa, Ia berjalan dan duduk di sebelah Raja Jayendra. Dengan lembut Ia usap air mata yang mengalir di pipinya.

...

"Kamu yang kuat, ya," ujar Arni mengelus pundak Nalendra.

Laki-laki tinggi itu hanya mengangguk. Mati-matian Ia tahan air matanya dan mencoba untuk tetap terlihat tegar. Setelah memasukkan beberapa bajunya ke dalam tas, Nalendra berdiri dan buru-buru mengenakan jaket. Ia sambar ponsel dan kunci motornya.

Nalendra ambil tangan kanan Arni sebelum Ia tempelkan punggung tangannya ke dahinya. "Nalen pamit ya, bu."

Arni mengangguk. Nalendra pun berlari menuju parkiran. Setelah menyalakan motornya, Ia tarik gas dan melajukan motornya menembus dinginnya angin malam.

"Sini a, cium dulu jenazah bapak sebelum dikuburkan."

Kalimat itu kembali terputar di pikirannya. Air mata lolos keluar dari matanya, terdengar isah tangis dari dalam helm full facenya. Tak sempat Ia kabari teman-temannya, kini yang Ia pikirkan hanya pulang dan menemui sang Ibu.

...

Jam menunjukkan pukul sepuluh malam. Nalendra menghentikan motornya di pekarangan rumah yang sudah ramai oleh beberapa orang. Hatinya semakin remuk saat melihat dua bendera berwarna kuning yang di tempelkan di depan rumah.

Kakinya lemas, namun berusaha Ia berjalan normal untuk masuk ke dalam rumah. Beberapa kerabat yang ada di sana menangis dan memeluk tubuh tinggi Nalendra yang masih terdiam di ambang pintu. Mereka terus mengucapkan hal yang sama untuk menguatkan Nalendra.

Sang Ibu menoleh ke arah pintu, air matanya kembali mengalir deras saat Ia lihat anaknya berdiri tegak di sana. Nalendra buka helm miliknya, memperlihatkan wajahnya yang sudah basah oleh air mata. Ia jatuhkan helm itu di lantai, begitupun dengan tasnya.

Laki-laki tinggi itu berjalan dengan sempoyongan mendekati jenazah sang Bapak. Tak membalas pertanyaan atau pun tatapan Ibu, fokusnya kini hanya pada jenazah di depannya. Baru saat Nalendra meneluk jenazah itu, tangisnya pecah saat itu juga.

"Air matanya jangan kena ke jenazah, ya, nanti beliau gak tenang di sana."

Mendengar ucapan itu, Nalendra usap air matanya. Ia cium kening jenazah sang bapak. Berbaring Ia di sampingnya, memeluk jenazah itu sambil Ia tahan tangisnya. Ibu hanya bisa menangis melihat apa yang dilakukan Nalendra.

Mereka yang ada di sana tidak menegur Nalendra, paham dengan apa yang di rasakan laki-laki itu.

"Pak, maafin aa.. Aa minta maaf," ujar Nalendra. Tangisnya kembali pecah.

...

Gelas jatuh dari genggaman tangannya, terkejut dirinya. Saka berjongkok untuk membereskan pecahan gelas itu di lantai.

"Aduh!" Tak sengaja pecahan itu menusuk jarinya hingga darah keluar dari sana. "Bapaknya Nalen meninggal, mereka semua bakal datang ke pemakamannya."

Saka menghela nafas sambil berjalan ke atas kasurnya, Ia ambil plester yang ada di atas meja kecil dan menempelkannya ke tempat lukanya berada.

Nalendra & NagendraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang