Sesi 4

5 1 0
                                    

Dering telpon berbunyi, menyadarkan Dihyan yang tengah fokus memperhatikan laptop yang ada didepan nya.

Mama. Tulisan pada layar itu. Ia berdecak dan menaruh ponsel nya lagi diatas meja, ia kembali fokus pada laptop nya sampai ponsel itu berhenti berdering.
Tak berapa lama suara ketukan pintu menyadarkan Dihyan, lagi.

"Masuk" katanya dengan cukup keras, mempersilahkan orang yang mengetuk pintu itu masuk.

Pintu itu terbuka dan menampilkan laki-laki paruh baya, memakai jas dokter dan terlihat sangat beribawa, seperti dokter pada umumnya. Ah iya, seperti seorang profesor, laki-laki itu menghampiri Dihyab.
Dihyan yang melihatnya langsung berdiri dari kursinya.

"Kenapa ngga langsung masuk aja dok, aneh kalo dokter ngetuk pintu dulu seperti itu" katanya dengan santai tapi masih menghormati lawan bicaranya.

"Biarpun aku tua aku tetap sopan" katanya sambil mendudukan dirinya diatas sofa.

"Mau kopi?"

"Ngga usah, cuma mampir sebentar"

Dihyan menganggukan kepalanya, ia bukan tipe orang yang pemaksa, apalagi dengan orang yang dekat dengan nya.

"Mama mu menyuruh aku membujuk mu untuk ke Amerika" katanya sangat berhati-hati, laki-laki tua itu bahkan mememandangi Dihyan dulu sebelum berbicara.

Dihyan langsung menggeleng dengan cepat. "Kalau aku kesana aku hanya akan mengacaukan mereka, dokter tahu itu" katanya sambil tersenyum.

"Kamu itu sudah dewasa, kamu bahkan jadi salah satu dokter bedah terbaik disini, kamu kan .."

"Tapi mereka akan selalu nganggep Dihyan kaya gitu, dok" katanya memotong ucapan dokter itu. "Aku lebih suka disini saat mereka disana dan aku akan kesana jika mereka ada disini" katanya sambil memberikan senyuman khasnya.

Dokter itu mengangguk dengan wajah nya yang cukup sedih. "Aku hanya menyampaikan apa yang kakak ku katakan, selebihnya terserah kamu" katanya dengan santai. Dihyan tertawa kecil mendengarnya, dia tahu paman nya ini akan mendukung apapun yang Dihyan lakukan. Sejak kecil memang hanya paman nya ini yang bisa mengerti Dihyan.

"Apa dokter terlalu banyak waktu senggang sampai mampir kesini?" tanya Dihyan meledek.

"Aku tidak sepertimu yang gila bekerja"

"Hahaha aku bekerja karena tidak ada waktu luang"

"Kamu tahu yang berlebihan itu ngga baik, pergilah bertemu teman-temanmu atau sekedar mencari hiburan, jika terus bekerja sepanjang waktu kamu bisa sakit"

"Aku baik-baik saja" sambil memamerkan tubuhnya.

"Bukan tubuhmu, tapi ini dan ini yang bisa sakit" kata dokter itu sambil menunjuk ke kepalanya dan dadanya. "Sudah aku pergi dulu, kamu pasti menyuruh aku pergi dari tadi karena ingin sekali melanjutkan pekerjaan mu" katanya sambil beranjak dari sofa.

"Aku ngga pernah begitu dokter Raihan" kata Dihyan mengikuti dokter itu dari belakang.

"Aku tahu isi hatimu, dan tolong jangan buat rumah sakit ini seperti rumah mu sendiri" katanya sambil meninggalkan ruangan itu.

Dihyan hanya tertawa kecil mendengarnya. Dia tidak menyangkal tentang semua yang dikatakan paman nya hari ini, tentang dia yang gila bekerja, tentang dia yang tidak ingin bertemu dengan orang tuanya, tentang paman nya yang tahu isi hatinya, tentang rumah sakit yang sudah ia jadikan seperti rumah sendiri dan.. Tentang pikiran dan hatinya yang mulai sakit. Tapi untuk bagian akhir itu, Dihyan selalu menyangkalnya, dia merasa bahwa itu adalah hal yang wajar.. Dia memang sibuk.

Dihyan adalah anak tunggal dari keluarga Sani, keluarga terpandang dan memiliki rumah sakit di Indonesia dan luar negeri. Keluarga Sani merupakan keluarga dokter yang dimana rata-rata keluarga nya adalah seorang dokter atau pimpinan rumah sakit.

Orang tuanya terbang ke Amerika ketika Dihyan memulai sekolah kedokteran, saat ini ia berusia 35 tahun. Sudah lama ia tidak mengunjungi orang tua nya disana, begitupun sebaliknya. Orang tua nya hanya menelpon Dihyan ketika memperintahkan sesuatu, Dihyan jangan membuat masalah, Dihyan jangan begini, Dihyan harus begitu.. Yaa hanya seperti percakapanya.

Terakhir kali orang tua nya menelepon Dihyan sekitar 3 tahun lalu, Dihyan tiba-tiba menjadi sorotan publik atas tuduhan praktik ilegal. Tentu saja itu hanya tuduhan, teman seperjuangannya merasa iri hati pada Dihyan dan merasa bahwa Dihyan adalah anak kesayangan professornya kala itu, jadi teman nya itu menuduh dan membohongi publik mengenai praktik ilegal atas seorang pasien pengidap penyakit jantung. Disaat tuduhan dan sorotan publik mencemarkan nama baiknya, orang tua nya menelpon Dihyan dan mengatakan, "Gimana masalahmu? Mama tahu kamu ngga mungkin ngelakuin itu jadi cepat selesaikan, pekerjaan papa dan mama akan dapat imbasnya disini kalau ngga cepet kamu selesaikan". Bukan nya kata-kata penyemangat atau hal lain nya yang membuat Dihyan tenang, justru kalimat itu yang Dihyan dapatkan. Orang tuanya tidak pernah berubah, mereka tetap menyebalkan seperti dulu. Semenjak itu Dihyan tidak mau lagi mengangkat telfon orang tuanya, dia hanya akan membaca pesan yang dikirimkan orang tuanya, itupun tidak pernah ia belas.

Dihyan menyadari bahwa ia gila bekerja, tapi dia tidak menyadari kalau gila bekerja nya ini semakin lama semakin parah. Dia merasa gelisah ketika tidak bekerja, ia hanya bisa tidur selama 1 atau 2 jam dalam sehari, rumah sakit adalah rumah baginya. Dihyan jarang sekali pulang kerumahnya, mungkin bisa satu bulan sekali. Karna rumah sakit ini adalah milik keluarganya, ia punya akses untuk mendapatkan ruang pribadi sekaligus 'rumah' untuknya. Dihyan menghabiskan waktunya disana, ia tidak pernah bercengkrama dengan teman-temannya, padahal sebenarnya Dihyan ini orang yang sangat ramah dan supel.. Hanya saja entah mengapa ia berubah menjadi orang yang gila bekerja dan hanya sering menghabiskan waktu untuk pekerjaannya.

Hari itu ia tak sengaja melihat seorang gadis sedang mondar mandir di seberang rumah sakit. Ia sedang menaiki tangga untuk kembali keruang kerjanya. Kebetulan tangga darurat dirumah sakit itu dibatasi kaca yang ketika kita menaiki atau menuruni tangga kita dapat melihat kehidupan yang ada diseberang luar rumah sakit. Dari atas Dihyan memperhatikan gadis itu, wajahnya cukup terlihat.. dia tertawa ketika melihat gadis itu mondar mandir dengan wajah frustasi. Dia tidak tahu kenapa gadis itu hanya mondar mandir begitu, tapi menurutnya itu sangat lucu. Tak lama gadis itu mengambil telfon yang ada didalam tas nya, ia menaruh telfon itu ditelinganya. Gadis itu memandangi rumah sakit sebentar, kalau dilihat dari dalam rumah sakit, Dihyan seperti di tatap oleh gadis itu, dia sempat kaget seperti orang yang baru saja ketahuan mengintip, hanya saja kaca itu tidak tembus pandang dari luar, jadi hanya Dihyan yang bisa melihatnya. Dihyan ingin menemui gadis itu, untuk sekedar iseng menanyakan 'sedang apa mondar mandir didepan rumah sakit?' tapi tidak jadi, gadis itu pergi dari tempatnya.

Keesokan harinya Dihyan bertemu dengan gadis itu lagi, kali ini ia melihat gadis itu tidak sedang mondar mandir tapi mengamati tulisan yang ada dihadapan nya. Dihyan tahu betul apa yang sedang gadis itu lihat, dia bahkan tahu letak letak properti yang ada dirumah sakit ini, sudah dibilang rumah sakit ini adalah rumah baginya. Sebenarnya Dihyan tidak ingin terlalu sok akrab dengan gadis itu, ia menghentikan langkahnya ketika hendak mengampiri gadis itu. Tapi, kaki nya lebih dulu bertindak dari pada otak nya.

"Mau kesana?" Tanya Dihyan pada gadis itu.









Terimakasih sudah membaca sesi ini🤍
maaf yaa typo bertebaran dimana-mana xixixi

Ruang CeritaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang