Bab 8 (Memilih untuk Bertahan)

142 4 0
                                    

Bismillah ...

Happy Reading ...

***

Pukul 19.55

Indra sedang menunggu Iqbal yang sedang pergi entah kemana. Disinilah Indra, di kafe yang belakangan ini tak terlalu ia perhatikan.

Lima menit kemudian, Iqbal memasuki kafe.

"Darimana lo?" sambar Indra.

"Masjid."

Indra mengernyit.

"Ngapain di masjid?"

Iqbal duduk di kursi yang berseberangan dengan Indra. Terhalang meja.

"Menurut lo ngapain coba orang ke masjid?" kata Iqbal sedikit ketus.

"Salat."

"Ya udah!"

Indra terdiam seperti tengah berpikir.

"Lama banget di masjid. Sampai jam delapan. Terus, tumben banget lo ke masjid."

Iqbal menghela nafas. "Apanya yang tumben. Salat itu kewajiban, Bro. Eh, btw lo udah salat isya belum."

Indra menggeleng.

"Salat dulu sana. Habis salat lo ceritain apa yang mau lo ceritain ke gue. Cepetan!"

"Hah?"

"Nggak usah pake bingung. Salat itu kewajiban. Harus dikerjakan. Buruan salat, gue tunggu!"

Ada apa dengan Iqbal?

Karena didesak terus, akhirnya Indra pun menaiki tangga menuju lantai atas. Disana memang ada tempat untuk salat. Iqbal yang mendesainnya. Indra bingung, tapi ia biarkan saja. Kafe ini memang Iqbal yang lebih banyak mengatur seperti apa desainnya. Karena Indra juga sudah sibuk.

Indra bukannya tidak pernah salat. Ia salat tapi masih suka bolong-bolong. Ditambah dengan suka menunda salat hingga terkadang ia salat diakhir waktu. Atau bahkan malah tidak mengerjakannya.

Dulu, Iqbal juga begitu. Makanya Indra dibuat bingung dengan perubahan sang sahabat.

***

Selesai salat, Indra turun. Setelah terkena air wudhu dan salat, ia terlihat lebih segar.

Indra duduk. Rambutnya masih terlihat basah karena air wudhu.

"Udah?"

Indra mengangguk.

"Cerita!"

Indra menarik nafas kemudian menghembuskannya. Ia mulai menceritakan kronologi kejadian di jalan sepi itu. Iqbal mendengarkan dengan seksama dan serius sekali.

"Kok gue nggak tahu lo punya musuh?" tanya Iqbal.

"Gue nggak tahu pasti, Bal. Orang itu pake masker. Trus cuma samar-samar kelihatan karena cahaya lampu jalan nggak terang. Gue nggak tahu, tapi waktu itu, dia mengincar Aira, bukan gue." 

"Jadi, menurut lo orang itu mengincar Aira?"

Indra mengangguk.

Percayalah, sebelum Indra salat tadi, wajah Indra seperti membawa beban berat. Kusut dan murung sekali. 

"Gue bakal bantuin lo untuk menyelidiki ini. Ayah lo pasti nggak tinggal diam, kan?"

Indra hanya mengangguk. "Thanks."

Iqbal menatap Indra lekat. "Jadi, tadi di kampus lo di omongin, kan?"

Indra tertawa getir. "Ya kali nggak diomongin. Rektor aja sampai manggil gue tadi."

Indra AiraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang