ANTIK

8 4 0
                                    

Hilir angin memasuki halaman SMA Negeri 3 Bandung, membuat pohon bergoyang syahdu mengikuti intronya. Tumbuhan berjenis palm di samping tempat duduk seakan melambaikan daunnya pada Sekar yang sedang sendirian. Seperti  membujuk Sekar untuk menikmati oksigen di dekatnya.

Jum'at ini Felicya tidak masuk sekolah, keperluan keluarga memaksa Felicya untuk meninggalkan Sekar seorang diri hari ini. Dengan malas, Sekar menyeret kaki ke tempat duduk taman sekolah ini. Kemudian menghempaskan pantatnya dengan santai.

Semerbak aroma wangi bunga mawar pink di sampingnya telah menembus masuk ke hidung Sekar, menciptakan kedamaian tersendiri bagi gadis beralis tebal itu. Sebuah cara sederhana untuk menikmati jam istirahat sekolah.

Dari kejauhan, David membidik pandangan ke arah Sekar. Dia berniat untuk menghampiri. Tak butuh waktu lama, David sudah berada di hadapan Sekar seraya menyapa. Senyuman manisnya mampu membuat kaum hawa terpesona karena paras tampannya.

“Hai Sekar,” sapa David, ramah.

"Hai juga, ada perlu apa?" jawab Sekar, dia melempar tanya.

"Tumben sendiri, temen lo kemana?"
David menengok ke sisi kanan dan kiri Sekar.

"Enggak masuk."

"Nanti sore mau nggak ke rumah gue?" ajak David, lelaki itu duduk di samping kanan Sekar.

"Ada acara?" tanya Sekar.

"Enggak, gue mau tunjukkin sesuatu," jawab David seraya tersenyum lebar, menampilkan deretan giginya yang rapi.

"Gue kan nggak tau di mana rumah lo, gimana dong?" tanya Sekar, bingung.

"Gampang, nanti kita pulang bareng. Gue mampir ke rumah lo dulu, sekalian izin ke ibu lo," jelas David kemudian meneguk habis minuman di tangannya.

"Oke. By the way, lu habis dari kantin?" tanya Sekar lagi.

"Iya. Ke kantin yuk!" ajak David bersemangat.

"Pengen sih, tapi kan lo udah ke sana," ujar Sekar sambil menunjuk arah kantin.

"Buat lo, apa yang nggak lah."

"Iya deh," sahut Sekar menahan senyum, kemudian melangkah beriringan dengan David untuk menuju ke kantin.

Sifat David yang pengertian, membuat Sekar merasa nyaman untuk menjadikan kapten basket itu sebagai temannya. Mungkin, anggapan Felicya tentang David itu salah. Pada kenyataannya, David memiliki pribadi yang sopan, ramah dan pastinya enak diajak bicara. Tidak seperti apa yang dikatakan Felicya tempo kemarin, Felicya menganggap David bukan laki- laki yang baik.

***

Waktu bergulir cepat, suasana sekolah ini semakin terlihat sepi. Dari ekor mata, Sekar melirik sekumpulan anak Pecinta Alam yang masih bergelut dengan wall climbing-nya.

Sekar lebih fokus memandang ke depan, menonton David bermain dengan bola berwarna coklat. Penampilan kapten basket itu berhasil mencuri perhatian Sekar dari pandangan di sekelilingnya.

Lama menunggu, Sekar melirik pergelangan tangan, mencoba menyelidik waktu pada jam tangan hitam favoritnya. Jarum jam menunjukkan waktu tepat pada pukul 15.00. Sudah satu jam dia melihat permainan basket kakak kelasnya.

"Lama ya?" tanya David menghampiri Sekar, kemudian meneguk air mineral yang dibawa olehnya.

"Lumayan, udah selesai?" jawab Sekar berbalik tanya.

"Udah. Yuk pulang!" ajak David bersemangat.

Mereka pulang dengan langkah kaki yang sejajar, menjadikan Sekar satu pusat perhatian bagi remaja-remaja perempuan yang menggilai David. Tatapan heran dan bahkan ... tatapan benci.

Pagi tadi, Sekar tidak mengajak motornya untuk menemani perjalanan menuju ke sekolahnya. Dia memilih untuk diantar sopir pribadi sang kakek yang masih betah tinggal di rumahnya.

"Gue ambil motor dulu ya," ucap David ketika langkahnya sampai di area parkiran motor.

"Okay, gue tunggu," jawab Sekar pada David yang berlalu mengambil kuda besi yang tampak gagah.

Sekar merogoh kantong rok pendeknya, mencoba meraih ponsel untuk menghubungi sang sopir agar tidak menjemput kepulangannya.

"Hallo Pak Juman, sore ini Sekar tidak perlu dijemput. Saya mau pulang bareng teman," jelas Sekar pada sopir.

"Oh, baik, Non," jawab supir singkat, kemudian menutup teleponnya.

***

"Ibu, Sekar pulang!" ucap Sekar ketika sampai di teras rumahnya, kemudian mencium tangan Ibu Ayuningtyas yang sedang duduk santai di bangku.

"Eh, ini siapa, Sekar?" tanya Ibu Ayuningtyas seraya tersenyum pada David.

"Ini teman Sekar, Bu."

"Oh, silahkan duduk Nak," sahut ibunya mempersilahkan duduk pada David.

"Iya Bu, terima kasih. Nama saya David, saya mau minta izin mengajak Sekar untuk main ke rumah. Kebetulan saya sedang bikin karya seni, jadi ingin memperlihatkan ke Sekar." David menjelaskan dengan sopan.

"Oh, boleh kok. Tap jangan lama-lama ya," ujar Ibu Ayuningtyas.

"Sekar siap-siap dulu ya," sahut Sekar ditengah pembicaraan ibunya dengan David.

Lima belas menit kemudian, Sekar keluar dari rumahnya dengan baju berwarna coklat, bercelana jeans, dan beralas kaki flatshoes. Tak lupa, dia menenteng totebag. Casual namun tetap cantik!

David hampir tak berkedip melihat penampilan Sekar. Ritme jantungnya berdegub kencang seolah ingin merosot ke perut.

"Yuk berangkat!" ajak Sekar bersemangat.

"Cantiknya anak Ibu," sahut Ibu Ayuningtyas memuji anak semata wayangnya, membuat Sekar tersipu malu. Dia juga berharap David tengah memujinya dalam hati.

"Yuk! Saya dan Sekar pamit dulu ya, Bu."

Setelah motor David melaju selama dua puluh menit, akhirnya David dan Sekar sampai di rumah. Sekar turun dari motor, matanya tengah merekam suasana rumah David. Rumah dengan pohon besar di halaman, ditambah dengan patung perempuan cantik, membuat teras rumah David terlihat menyeramkan meskipun cukup aesthetic.

Saat masuk ke rumah David, Sekar mencium aroma yang tidak asing. Rupanya keluarga David sama seperti keluarganya, menyalakan dupa. Namun di rumah David bertebaran bunga kantil, menambah suasana horor rumah itu. Apa lagi minim pencahayaan.

"Wah, rumah lo unik juga," Sekar membuka topik pembicaraan sambil melihat seisi rumah David.

"Rumah lo juga cantik, kayak penghuninya," jawab David sembari tersenyum gagah pada Sekar.

"Ini sebagian besar gue sama bokap gue yang buat lho," ucap David lagi, sembari memegang kalung berbandul batu mengkilap.

"Wah, bagus kalungnya!" sahut Sekar, terkagum dengan kalung buatan David.

Mengetahui lelaki di hadapannya bisa membuat kalung, dia teringat dengan mustika yang dimiliki. Pikirannya mengembara, berharap leher jenjangnya semakin cantik jika dihiasi kalung serupa.
Lantas, Sekar pun mengambil mustika Bajang Kembar yang akhir-akhir ini selalu dibawa.

"Kalau ini, bisa enggak dibikin kayak gitu?" tanya Sekar sembari menyodorkan mustika Bajang Kembar.

David mengernyitkan dahi. memasang raut wajah heran seolah pernah melihat mustika milik Sekar.

"Oh, Bi ... bisa. Bisa kok!" jawab David tanpa berpikir lama.

"Tolong buatin, ya!" pinta Sekar seraya tersenyum manis ke arah David.

Berceloteh dengan orang yang memiliki kesamaan dengannya membuat Sekar merasa nyaman. Menyukai barang dan segala pernak-pernik berbau antik memang menarik. Membuat mustika menjadi kalung antik, mungkin akan menambah aura positif tersendiri bagi penampilan Sekar. Tanpa tahu, itu akan menjadi hal paling merepotkan bagi dirinya.

Kamu Bisa Melihat Hantu? [TELAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang