15. Real Villains

1.4K 209 55
                                    

Inget cuman fiksi, Happy Reading!

*

Tidur Rheas terusik, kepalanya terasa pusing mungkin efek perut kosong karena enggan memasukkan apapun ke perutnya. Lagipula, nafsu makannya ikut hilang bersama motivasi hidupnya. Tapi bertemu dengan bagian dirinya lainnya, membuat dia merasa harus tetap hidup. Setidaknya hingga balas dendamnya selesai. Hingga balas dendam selesai? atau mungkin setelah dirinya tidak memiliki penyesalan apapun lagi. Ya, mungkin hingga saat itu.

Rheas mengucek matanya dan menguap pelan. Mata sayunya menatap pintu yang sepertinya akan dibuka oleh kunci cadangan. Begitu terbuka, matanya membelalak, sungguh tidak percaya dengan apa yang dia lihat.

"Ah.." Mulutnya ingin mengucapkan sesuatu tapi tidak ada apapun yang keluar.

Rheas dengan tubuh lemasnya buru buru turun dari kasurnya tapi belum satu langkah tubuhnya sudah ambruk. Sialan.

"Jangan buru buru, Mama baru saja akan menghampirimu.." suara itu terdengar serak karena menahan tangis.

Rasa rindu Rheas menyeruak, memenuhi setiap inci hatinya.

"Ah.." Sialan, tidak ada yang keluar lagi dari mulutnya. Tangannya menggapai, memeluk Mamanya erat. Tangisnya turun tanpa bisa ditahan. Rindu, Rheas rindu sekali.. Mama..

Tangan yang Rheas rasa ikut semakin kurus itu menangkap wajahnya. "Anak nakal ini.. Tidak tahukah, Mama sangat khawatir? Lihat wajah ini, kurus sekali.. Sayangku tidak makan dengan benar, kan? Jika memang makanan kekaisaran tidak sesuai seleramu, pulang saja.. kenapa bertahan?" Mamanya terus mengomel dengan wajah yang basa dengan air mata.

"M- Mama.. Rindu.." akhirnya dia bisa mengucapkannya.

Whyne terdiam sejenak, sebelum akhirnya kembali memeluk sang putra erat. "Mama juga, Rheas.. Mama juga.."

Tangis Rheas pecah, tidak peduli dengan martabat dia menangis terisak seperti anak kecil lagi. Pelukan hangat ini, seharusnya tidak pernah Rheas tinggalkan.

"Maaf mama, Maaf.."

Banyak penyesalan yang Rheas rasakan, harusnya.. dia tidak pernah meninggalkan Mamanya, harusnya dia terus berada disisinya.

Benar, karena tidak adanya air suci dan proses pengangkatan permaisuri dia tidak menemani mamanya di detik detik kepergian sang mama. Itu adalah penyesalan yang besar. Setiap harinya setelah itu, membuatnya terus berandai andai bagaimana jika dia tidak memutuskan untuk pergi.

Rheas menyesal, dirinya sungguh menyesal.

"Buka mulutmu, kau harus banyak makan agar bisa menangis lebih banyak.." Sang Ayah sudah ikut duduk dan menyuapkan makanan ke mulutnya.

Rheas hanya bisa patuh. Pelukan mereka perlahan terlepas dan Whyne sang Ibu menatap Rheas dengan wajah yang basah. Tangannya yang kurus menyeka air mata di pipi Rheas.

"Suapi dia lagi, dia sangat kurus.." titah Whyne.

"Tidak bisakah kau melihat aku sedang melakukannya?" protes Keyrix, sang ayah.

"Makannya memang lambat, sepertinya aku tahu dia menurun dari siapa soal makannya.." lanjut Keyrix. Whyne mendelik, "kau mau bilang itu salahku?" seru Whyne ketus.

"Aku tidak pernah bilang begitu.." mendengar suara frustasi ayahnya membuatnya hampir tertawa. Tapi tubuhnya sungguh lemah.

"Kakak memang tidak menyayangiku. Kakak lebih sayang dengan selirmu itu! Kau bilang tidak ada yang kedua tapi apa yang terjadi!" gerutu Whyne.

"Aku tahu hidupku tidak akan lama lagi, tapi bagaimana mungkin seorang selir saat aku sedang sekarat?!" kali ini nada marah terdengar jelas.

Rheas yang mendengarnya hanya bisa membelalakan matanya. Apa?

I'm not the Original Anti Villain | NorenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang