Narasi untuk AU Part 11l

8 1 0
                                    

Natasha menggigit bibir sambil mengernyitkan dahi, ia malu sekaligus kesal sendiri. Bagaimana bisa dirinya keceplosan memberitahu sahabatnya jika Bian melapor bahwa ia baru saja bertemu dengan Mirana? Ah, benar-benar. Tangan dan pikirannya memang susah sekali diajak bekerja sama untuk menyimpan rahasia!

Sesungguhnya Bian tidak melapor dalam artian mengadu kepada teman-teman OSIS-nya. Dia hanya menjawab pertanyaan dari teman satu sekbidnya, tanpa maksud apa pun. Namun, bukan Natasha namanya jika ia tidak menghalu kemana-mana.

“Bodoh banget sih.” Natasha memukul-mukul kepalanya, menghardik dalam hati kenapa ingatan memalukan yang baru saja terjadi itu tidak kunjung hilang, melainkan semakin bertubi-tubi menghujam pikirannya.

“Sha.” Bian memanggil. “Stand mic-nya udah di ambil dari gudang kan?”

Natasha hanya menoleh, bertemu pandang dengan Bian. Sebenarnya ia mendengar pertanyaan yang diutarakan oleh teman satu organisasinya itu. Namun, ketika hal memalukan yang sempat dilakukannya menghujam lagi, Natasha menjadi tambah kesal saat melihat wajah Bian.

Nafas Natasha semakin memburu saat Bian melangkah lebih dekat. “Ini semua gara-gara khe!” ucapnya dengan sengit.

Bian berhenti melangkah, seketika merubah ekspresinya menjadi bingung. Dia baru saja memasuki aula dan Natasha bilang ini semua gara-gara dia?

“Kamu kenapa-“

“Pokoknya salah khe! Bodo amat!” Natasha melangkah cepat, menuju sisi lain aula.

“Aneh,” cibir Bian, masih sambil memandangi punggung ketua sekbid kehumasan yang semakin menjauh.

“Lagi tanggal merah kali si Natasha,” ucap seniornya menghampiri. “Nih, SD Card-nya. Dokum khusus OSIS pakai kameramu aja kan?”

Bian mengedikkan bahu. “Tergantung. Kalau sim card-nya masih bisa, ya pakai kamera saya aja kak.”

Bian memperhatikan jam tangannya sekilas dan berkata, “Saya ke bawah sebentar ya kak. Mau briefing anak jurnalis, harusnya sih udah pada ngumpul.”

Seniornya mengangguk, memberikan kalimat semangat sebelum Bian benar-benar membuka pintu aula.

“Semoga SD Card yang ini tidak rusak.” Bian bergumam sembari menutup pintu.

Bisa habis dirinya jika semua foto yang diambilnya tidak bisa terbaca di laptop.

Bian fokus membolak-balikkan penyimpanan foto milik seniornya itu, memastikan jika tidak ada cacat atau lecet sedikit pun. Hingga sebuah siluet wajah terlihat di pikirannya. Perempuan berkulit kuning langsat bersih, dengan rambut sebahu. Dilengkapi manik mata cokelat tuanya dan alis yang tebal.

Perempuan itu. Perempuan yang tak sengaja bersitatap dengannya tadi.

Bian tersenyum tipis, melanjutkan langkah menuju tangga, menuruni lantai 3.

"Dia ... cantik."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 22 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

mentahan narasiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang