"Keren banget, kalian!" seru Anin dengan gembira.
Melihat kedua kakaknya bermain futsal itu membuat dirinya semangat bukan main. Sesekali dirinya bersorak untuk menyemangati keduanya dengan para suporter lain.
Anin tidak merasa takut akan rumor-rumor aneh yang akan terjadi pada dirinya lagi. Toh, semua sudah beres hanya saja ada oknum tertentu yang masih membahas permasalahan itu.
"Iya, dong. Gimana? Keren, kan kita?" Shindu merangkul bahu adiknya yang kini tampak kelelahan usai bermain futsal.
Izaz datang tepat waktu, 10 menit sebelum mulai pertandingan. Saat sampai di lokasi Izaz meminta izin agar dapat berganti pakaian yang sama dengan anggota tim lainnya setelah berganti pakaian tentunya mereka harus briefing lebih dulu.
Hal itu membuatnya merasa lebih lelah dua kali lipat karena tidak istirahat lebih dulu. Tapi, rasa lelah itu membuahkan hasil. Tim mereka bisa mengalahkan tim lawan dengan skor 10 - 6.
"Iya deh, kakak gue emang paling jago kalau soal futsal." Anin mengakui demikian karena memang itu faktanya. "By the way, tadi gue sempet foto kalian berdua."
Anin menyerahkan ponsel yang menampilkan hasil jepretannya tadi kepada kedua kakak kembarnya itu. Ada rasa bangga yang menyelinap di hatinya karena mendapatkan foto yang hasilnya memuaskan.
"Nanti kirim ke gue, ya," kata Izaz kemudian diangguki oleh Anin.
"Ya udah yuk, kita pulang. Takutnya ayah cariin, ini udah lumayan malam soalnya. Oh iya, ayah udah dikabarin kan?"
Anin mengangguk. "Aman, Mas. Ayah juga bilang, kalau jalan pulang sekalian beliin sate sama martabak manis."
"Oke."
***
Ditengah malam dihiasi oleh benda-benda angkasa, terdapat dua orang laki-laki yang baru saja memasukkan motor ke dalam garasi. Anin mengembangkan senyum sembari menenteng dua kantung plastik berisi sate dan martabak manis pesanan sang ayah.
Karena tidak ingin menunggu kedua kakaknya lebih lama untuk memarkirkan motor, alhasil Anin lebih dulu masuk ke dalam rumah. Masih dengan senyum mengembang, setelah membuka pintu utama ia sudah disambut oleh ayahnya.
"Lihat, pesanan udah sampai!" seru Anin, memperlihatkan dua kantung plastik di tangannya.
"Mantap." Baskara mengambil alih kedua kantung plastik yang ada ditangan anak perempuannya. Sang ayah merangkul pundak anaknya untuk beristirahat sejenak di ruang tamu.
Matanya mencari-cari putra kembarnya yang belum juga menampakan diri. "Abang-abangmu ke mana, Dek?" tanyanya.
"Tadi lagi masukin motor di garasi," jawabnya.
Beberapa menit setelah menanyakan keberadaan putra kembar Baskara, mereka memasuki rumah dengan candaan. Terlihat jelas ratu wajah kelelahan mereka karena usai pertandingan antar sekolah.
"Assalamu'alaikum." Salam itu diucapkan secara bersamaan oleh si kembar, kemudian ikut bergabung di sana bersama Anin dan Baskara.
"Waalaikumsalam."
"Gimana, menang atau enggak?" tanya Baskara, membuka bungkus martabak manis.
Aroma khas dari makanan itu menyeruak pada hidung mereka sehingga ikut mengambil sepotong martabak manis.
"Menang, Yah," balas Izaz, sembari mengunyah makanan di dalam mulutnya. "Skor 10 - 6, Ayah tahu? Izaz yang paling banyak masukin bola ke gawang."
Selesai mengucapkan itu, mereka semua bertepuk tangan secara gembira mendengar kabar itu. Putra kembar Baskara memang memiliki hobi yang sama yaitu bermain futsal. Di antara mereka berdua, memang sangat jago itu adalah Izaz kemudian disusul oleh Shindu.
"Oke, oke, anak Ayah memang hebat semua," ujar Baskara mengangkat ibu jarinya. "Untuk merayakan ini, kita makan-makan gimana? Tapi di rumah aja, soalnya udah hampir larut."
Ide yang disampaikan oleh sang ayah membuat mereka setuju. Anin mengusul untuk makanan yaitu membuat mie instan sehingga membuat mereka semua setuju.
Kesempatan ini mereka merancang makanan apa yang akan dibuat secara rinci. Karena kesempatan ini mungkin tidak datang dua kali, pasalnya Yunita akan melarang mereka semua untuk memakan mie instan saat malam hari.
Namun, saat ketiga anak-anaknya akan bergegas pergi menuju dapur. Kepala keluarga itu menghentikan langkah mereka.
"Kalian mau masak pakai seragam sekolah? Mandi dulu sana, habis itu turun. Jangan lama-lama kalau gak mau makanannya ayah habisin." Ucapan Baskara mampu membuat ketiga anaknya berbondong-bondong untuk segera menuju kamar masing-masing.
"Hati-hati, jangan buru-buru!" seru Baskara memberitahu.
Setelah menunggu sekitar hampir setengah jam di ruang tamu, akhirnya orang yang ditunggu-tunggu sudah selesai. Mereka bertiga mengenakan baju couple yang pastinya sudah ditebak ide siapa. Siapa lagi jika bukan kakak tertua.
Dilihat dari penampilan Shindu, memang terlihat sangat kalem. Namun, sifat dia sebelas dua belas dengan adik-adiknya hanya saja tertutup dengan wajah kalemnya.
Baskara memegang dadanya sembari menggelengkan pelan. "Kalian ada-ada." Ia masih menggeleng pelan. "Baju baru? Ayah gak pernah lihat sebelumnya."
Anin mengangguk. "Iya, kemarin Mas Shindu beli custom. Walaupun agak aneh gambarnya, tapi okelah."
"Coba kalian hadap belakang." Mereka menuruti permintaan sang ayah untuk hadap belakang.
Gambar pada bagian belakang baju itu ada sebuah editan foto ketiga anak Baskara dengan Opick. Untuk bagian depan juga terdapat tulisan 'Bismillah Konser Opick Depan rumah'.
Baskara tertawa lepas karena ide yang di luar prediksi. Ketiga anaknya memang tingkahnya selalu di luar prediksi, terlebih anak tertua yang tidak ingin kalah. Bukan Baskara yang baru sadar, dirinya memang selalu kaget dengan kelakuan-kelakuan anaknya yang di luar prediksi walaupun itu sudah sering terjadi.
"Gimana, Yah? Bagus banget, kan. Apalagi ada foto kita bertiga disamping Opick Sumbaenim." Izaz dengan menaik turunkan alisnya.
"Bagus, bagus, walaupun kalewatan randomnya."
"Tapi kurang 2, harusnya Shindu bikin couple baju kaya gini. Tapi karena budget pas-pasan jadi beli 3 dulu," curhat Shindu. "Nanti deh, Shindu pesenin lagi, tapi versi foto sama Ningning Aespa."
"Ning nang ning dung, maksud kamu?" tanya Baskara memastikan.
"Bukan, Ayah. Ningning."
"Siapa itu? Pacar kamu?" tanya Baskara lagi, sebagai calon istri dari Ningning, Shindu lantas mengangguk dan membalas iya.
"Bohong!" Izaz dan Anin menyela ucapan kakak tertua agar tidak membahas pacar—Ningning lebih lanjut.
"Jangan percaya, Yah. Mas Shindu ngaku-ngaku itu, orang Ningning sahabatnya Anin."
"Mimpi!"
"Sudahlah, jangan bahas siapa itu? Ningning? Jadi makan mie, sate, dan martabak enggak?" tawar Baskara, menentang dua kantung plastik untuk ditaruh di atas meja makan.
Untuk hari ini, mereka berempat akan menghabiskan makanan itu semua, hanya hari ini saja tentunya. Jika akan terus menerus setiap malam, bisa-bisa Yunita akan mengetahuinya dan berujung marah.
"Let's go!" Anin bersorak gembira mengikuti langkah ayahnya yang hendak menuju dapur. Anin juga memegang pundak ayahnya dari belakang, memainkan permainan saat kecil dulu dengan menyanyi lagu anak-anak yaitu naik kereta api.
Tidak ingin ketinggalan dengan permainan itu, si kembar pun mengikuti apa yang dilakukan Anin. Memegang pundak satu sama lain dari belakang dengan menyanyikan lirik kartun itu.
Baskara terkekeh dengan para keempat anaknya yang berada di belakang yang sedang menirukan kereta api.
"Naik kereta api!" Baskara ikut dalam menyanyikan lirik lagu anak-anak tersebut. Seperti tahu pikiran satu sama lain, sehingga ketiga anaknya itu mengumpulkan suara untuk menyanyikan lagi lirik berikutnya.
"TUT TUT TUT!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Unspoken Traces (COMPLETED)
Teen FictionMenceritakan tentang sebuah keluarga Baskara dan Yunita yang memiliki tiga orang anak. Dua anak kembar laki-laki dan satu anak perempuan. Si kembar Shindu, Izaz, dan Anin sebagai anak bungsu. Keluarga yang harmonis bahkan tidak menjamin adanya konf...