Tak Kasat Mata

7 4 0
                                    

Rayuan udara dingin di kota Bandung yang asri semakin menjadi-jadi, membuat mayoritas orang lebih memilih bermalas-malasan di tempat tidurnya. Dengan selimut tebalnya, Sekar menutupi hampir seluruh tubuh.

Yang tidak tertutup hanya sebatas kepala sampai hidungnya yang mancung, agar bisa bernapas menghirup udara dari jendela yang sudah terbuka. Dia lupa menutup karena lelah berjibaku dengan tugas sekolahnya semalam.

"Pak Juman!" teriak Ibu Ayuningtyas.

Suara wanita paruh baya itu menggema ke setiap sudut ruangan rumahnya, membuat Sekar terperanjat, lantas membuka paksa selimut tebal yang menutup tubuh.

Kepanikan menyeruak ke dalam ruang resah Sekar, karena mendapati suara ibu kandungan penuh dengan rasa khawatir.  Sekar mendapati Ibu Ayuningtyas yang menangis sambil memapah sang kakek.

"Kakek kenapa?" tanya Sekar, panik.

"Kakek sakit, Ibu harus bawa ke Rumah Sakit sekarang," jawab Ibu Ayuningtyas dengan panik.

"Saya antar, Nyonya," sahut Pak Juman, lelaki itu menawarkan bantuan.

"Cepat Pak!" ucap Ibu Ayuningtyas kemudian mengikuti langkah Pak Juman, sementara Sekar membuntuti langkah ibunya.

"Sekar, Ibu ke Rumah Sakit dulu," ucap ibunya kemudian menutup pintu mobil yang berwarna hitam.

"Baik, Bu," jawab Sekar menahan tangis melihat keadaan kakeknya yang tidak sadarkan diri.

Sekar melangkah ke dalam rumah seraya mengusap air mata di pipinya, dia masih memikirkan keadaan kakeknya yang sakit. Saat memasuki ruang tamu, Sekar melirik ke samping kanan dan kiri melalui ekor mata.

Rumah megah bernuansa klasik itu terlihat seram tanpa orang yang menghuni, hanya terdengar hentakan langkah kakinya. Tidak ada satu pun orang yang menemani Sekar di dalam rumah. Sekar menaiki tangga menuju kamar, hendak membersihkan tubuhnya dengan mandi kemudian menyalakan dupa di sudut kamar.

Agak lama menit berlalu, Sekar sudah mengenakan seragam sekolah. Gadis kejawen itu mengambil tujuh lidi berwarna merah. Dia memejamkan matanya, lalu mengucapkan doa.

Niat ingsun ngobong dupo, kukuse dumugi angkoso, kang anggondo pinongko .…

Belum selesai melantunkan doa, bulu kuduknya meremang dengan tengkuk yang terasa dingin.

Suasana kamarnya kali ini terasa aneh. Dia menarik napas dalam, mencoba menyibak rasa takut yang tengah menyergap dirinya.

"... Kang anggondo pinongko tali rasaningsun manembah dumateng Gusti Kang Akaryo Jagad."

Sekar membuka mata, lalu mulutnya meniup tujuh batang dupa yang sudah dibakar, kemudian mengibaskan asap ke arah depan dengan cepat agar bisa meninggalkan suasana kamar yang sukses membuat jantungnya berdetak kencang.

Tujuh kali tangannya mengibaskan ke arah depan, kini saatnya mengibaskan ke arah belakang. Arah yang sedari tadi membuat tengkuknya terasa dingin.

Dengan perasaan was-was, Sekar membalikkan tubuhnya 180° ke arah belakang. Matanya terbelalak dengan sesuatu yang sudah berada di depannya.

"Bi Imah. Bukannya Bibi pulang ke kampung ya?" tanya Sekar seraya mengibaskan kepulan asap yang muncul dari dupa.

Detak jantungnya sudah dirasa pelan, tidak secepat tadi.

"Kenapa Bibi terlihat pucat?" tanya Sekar lagi, sembari menaruh dupa di cawan yang berbentuk vas bunga.

Sekar melirik Bi Imah, dahinya berkernyit ke arah pembantu yang sedari tadi hanya diam menatap kosong.

Kamu Bisa Melihat Hantu? [TELAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang