8 – Hodie Hitam
Wanginya tertinggal dalam ingatan. Hingga aku sulit melupakan.
—
Tidak ada acara khusus yang diadakan malam ini, semua kelompok hanya diarahkan berkumpul di area yang dijadikan tempat perkumpulan peserta kemping. Demi untuk mereka saling bersatu dan menyatukan diri dengan alam.
Udara terasa begitu menusuk kulit, Renjani memeluk tubuh, melupakan pakaian hangatnya dibawa. Kedua kakinya bersila duduk di samping Inggit.
"Perasaan gue udah masukin jaket lo ke trevel bag deh. Kok bisa gak kebawa, ya?" Inggit meminta maaf. Menoleh padanya yang sedang menggosok telapak tangan, meniupnya demi mencari sedikit kehangatan dari nafas.
"Pake selimut deh, gue ambilin di tenda," tawar Inggit merasa tidak enak melihat Renjani yang kedinginan di tengah-tengah lingkaran orang-orang yang hampir semuanya memakai pakaian hangat.
"Kayak orang sakit, Inggit."
"Renja... ya udah sini gue peluk lo aja biar anget." Direntangkan Inggit kedua tangannya hendak memeluk Renjani dari samping.
Namun, tentu saja Renjani mendorong, menolak. "Nggak ya, Inggit. Gue gak mau orang-orang pada ngira gue lesbian sama lo."
Inggit tertawa sampai belakang kepalanya terlempar ke belakang. "Lo sih jomblo mulu. Dari kelas sepuluh sampai sekarang mau lulus cuma deketan sama gue doang." Inggit mendorong bahunya pelan. "Padahal yang demen sama lo banyak tahu, Ja. Lonya so cuek gitu. Sekarang cari pacar gih, biar lo ngerasain gimana hangatnya dipeluk sama cowok. Tapi gak usah dicari, sih, Ja. Itu si Raga udah ngefollow lo, anjir. Tinggal follow balik, terus tancap gas aja." Sambil tertawa Inggit mendekati telinga Renjani, berbisik disana. "Biar lo ngarasa juga gimana ciuman, Renja."
Jantung Renjani terpompa lebih cepat. Wajahnya memerah, lalu bibirnya terlipat ke dalam. Otaknya kembali berputar pada kejadian malam mengenaskannya di tempat tidur bersama Raga.
Inggit tidak tahu itu, dan Renjani tidak ingin memberitahu siapa pun soal aibnya. Renjani menelan ludah, nafasnya berhenti beberapa detik. Biarkan saja dosa yang telah diperbuatnya—entah sengaja atau tidak, biarkan Tuhan dan dirinya saja yang tahu.
Inggit masih tertawa ketika Renjani mengedarkan mata, sampai kemudian pandangannya berhenti pada sepasang mata hitam pekat yang sedang menatapnya lekat.
Raga menyendiri di seberang sana. Duduk terpisah dari lingkaran orang-orang. Cowok itu nampak memangku gitar. Satu tangannya bersandar di atas alat musik tersebut. Membuat jantung Renjani terkoyak, kesalahan yang ia lakukan bersama Raga malam itu, tidak dapat Renjani lupakan dengan mudah. Meski sudah berusaha, tetap saja potongan-potongan malam itu menyakiti kepala serta jiwanya.
Tanpa Renjani sadari, setetes air matanya tumpah ke satu pipi. Jarinya segera menghapus itu sembari memalingkan wajah. Pergi dari tatapan sepasang mata Raga yang terus menyoroti Renjani dalam.
**
Malam pertama di perkempingan, Renjani tidak bisa memejamkan kelopak. Ia gusar. Matanya mengantuk tapi tidak bisa lupa untuk tidur. Dari lima menit yang lalu Renjani menahan diri ingin buang air kecil.
Di sampingnya Inggit terlelap seolah lupa bahwa ia sedang tidur di sebuah tenda kemping. Renjani bangun dan duduk. Mengguncang bahu Inggit mencoba membangunkannya.
"Inggit, gue kebelet pipis," ucap Renjani sembari mencepol rambutnya menggunakan jedai.
"Heum."
Renjani berdecak sewaktu Inggit hanya menanggapinya dengan gumam pelan. Cewek itu juga nampak menarik selimut hingga sebatas leher. Mengubah posisi tidurnya membelakangi Renjani. "Bangun dong, Git. Gue kebelet pipis ini. Anterin!" Pintanya menarik selimut Inggit. Namun, cewek itu juga malah menariknya lagi. Sekarang menutupi sampai seluruh kepala.
KAMU SEDANG MEMBACA
Raga Renjani (Terbit Cetak)
Fiksi RemajaDi tengah kehidupan remaja yang penuh dengan harapan dan impian, Renjani Senja seorang gadis berusia 17 tahun, dirinya harus di hadapkan pada satu kehidupan yang sulit. Ia hamil di saat dirinya masih status siswi Tunas Bangsa. Siswi yang enam bulan...