SILVER

0 0 0
                                    

Semisal manusia bisa jujur dengan bebas tentang isi hati dengan suara lantang, apa yang akan terjadi? Apakah tercapai kedamaian? Atau justru sebaliknya?

Perceraian ...

Kedekatan ...

Persatuan ...

Semua romansa kehidupan manusia dimulai dari "suara".

Sebuah rangkaian bunyi ...

Nada dan irama yang diuntai dengan kata-kata.

Yah, apa pun jawabannya, toh buatku itu hal yang tidak mungkin juga. Jangankan untuk berteriak lantang, suara untuk bicara saja ...

Aku yang bisu ini tidak punya.

𝘈𝘯𝘬𝘢𝘳𝘢 ... 𝘚𝘶𝘮𝘱𝘢𝘩 𝘺𝘢 ... 𝘔𝘶𝘬𝘢𝘬𝘶 𝘬𝘦𝘯𝘢 𝘫𝘶𝘨𝘢 𝘵𝘢𝘶 ... 𝘒𝘢𝘭𝘢𝘶 𝘰𝘮 𝘯𝘢𝘯𝘺𝘢, 𝘢𝘬𝘶 𝘩𝘢𝘳𝘶𝘴 𝘫𝘢𝘸𝘢𝘣 𝘢𝘱𝘢? 𝘑𝘢𝘵𝘶𝘩 𝘭𝘢𝘨𝘪? 𝘖𝘮 𝘤𝘶𝘳𝘪𝘨𝘢 𝘬𝘦 𝘬𝘢𝘮𝘶 𝘱𝘶𝘯, 𝘯𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘬𝘦𝘯𝘢 𝘢𝘬𝘶 𝘭𝘢𝘨𝘪 𝘢𝘬𝘶 𝘭𝘢𝘨𝘪.

Aku yang bertahun-tahun selalu menjadi samsak hidup Ankara dan teman-temannya ini hanya bisa diam menerima. Mau marah atau mengadu pun percuma, Ankara juga punya alasan kenapa ia membenciku. Dulu Ankara sangat menyayangiku seperti saudaranya sendiri. Namun, seiring berjalannya waktu ia mulai muak dengan keberadaanku yang mungkin hanya menjadi benalu dan mengambil perhatian om dan tante.

Namun, perundungan dua tahun yang aku terima ini perlahan berkurang ketika penerimaan siswa baru. Gadis bertubuh mungil berambut perak dengan matanya yang menyorot tajam itu berhasil mengalahkan pentolan SMA Chandrawangsa dalam sebulan seorang diri. Sejujurnya, aku juga tidak akan tahu dengannya jika ia tak menghentikan aksiku melakukan percobaan bunuh diri dengan mencoba terjun dari 𝘳𝘰𝘰𝘧𝘵𝘰𝘱.

Saat itu, aku dengan pakaian yang basah setelah disiram air kotor beraroma tidak sedap dan tubuh penuh luka setelah dipukuli, mencoba mengakhiri siksaan ini. Namun gadis perak bernama Ashtrid itu dengan mudahnya menarik tubuhku.

Ucapannya memang terkesan kasar, tapi perlakuannya malah berkebalikan. Ia meminjamkanku baju olahraga miliknya dan mengobati lukaku dengan lembut meski mulutnya tak berhenti mengomel. Saat itu, aku juga lepas kendali. Aku berteriak tanpa suara, wajahku yang memerah dan air mata berlinang di pipiku pasti membuatku terlihat sangat menyedihkan. Dari situ, ia menyadari bahwa aku bisu.

Sejak kejadian itu, gadis berambut perak berhati dingin yang tak terkalahkan ini selalu membuatku penasaran. Pertama kalinya aku bolos kelas hanya ingin mencari tahu tentangnya. Ia tidak pernah masuk kelas namun selalu bisa mendapat nilai 100 karena kepintarannya. Sering membolos dan nongkrong di 𝘳𝘰𝘰𝘧𝘵𝘰𝘱 sendirian, entah hanya untuk sekedar tidur, merokok, atau bermain gitar. Suaranya saat bernyanyi sangat merdu. Ia juga suka memberi makan kucing liar dan berkelahi dengan kakak kelas laki-laki.

"Kau tidak bosan membuntutiku?"

Tidak terasa sudah seminggu aku selalu mengikutinya pada jam istirahat, ternyata ia menyadari keberadaanku. Aku senang berada di atap karena bisa menghindari Angkara. Dengan berawal dari alasan mengembalikan baju olahraga miliknya, aku jadi sering datang ke atap meski ia selalu mengusirku. Sampai ia lelah, akhirnya ia mau berbagi tempat tenang ini dan mulai akrab denganku.

Beberapa bulan berlalu, kini sekolah mengadakan festival besar untuk perayaan selesainya ujian. Banyak siswa dan siswi dikirim dari sekolah lain ke SMA Chandrawangsa untuk mengikuti berbagai lomba antar sekolah.

Sekolah dihiasi dengan megah. Lagu demi lagu silih berganti. Sekarang giliran lagu 𝘐𝘥𝘨𝘪𝘵𝘢𝘧 berjudul 𝘚𝘢𝘵𝘶-𝘚𝘢𝘵𝘶 terdengar nyaring menggema di setiap sudut sekolah. Aku dan Ashtrid menonton pertunjukan lomba menyanyi di depan panggung lapangan. Ashtrid melompat-lompat sambil ikut menyanyi layaknya menonton konser, sedangkan aku hanya berdiri di sampingnya menikmati lagu. Aku yakin, setelah ini energi kami pasti akan habis terkuras.

Di tengah serunya pertunjukan, fokus semua orang terpecah ketika sebuah kayu besar dengan beberapa tancapan paku tepat mengenai kepalaku dengan keras. Nampaknya seseorang sengaja melemparnya ke arahku. Aku mendengar teriakan dari beberapa siswi yang mungkin terkejut melihat darah mengalir di kepalaku. Pandanganku buram, aku tidak mengingat apapun selain rasa nyeri di pelipisku.

...

Kelopak mataku terbuka perlahan. Ah... Rupanya aku berada di UKS sendirian. Ku raih gawai di dekat kepalaku, mencari kontak Ashtrid dan mulai mengirimkan pesan menanyakan keberadaannya. Jujur saja, aku sedikit ragu karena ini kali pertamanya aku menghubunginya setelah hampir satu semester berteman. Baru ku kirimkan pesan beberapa detik, balasan pesan darinya langsung muncul di notifikasi.

𝘋𝘪 𝘣𝘦𝘭𝘢𝘬𝘢𝘯𝘨 𝘴𝘦𝘬𝘰𝘭𝘢𝘩, 𝘣𝘢𝘳𝘦𝘯𝘨 𝘔𝘪𝘮𝘪.

Kalau tidak salah, Mimi adalah nama kucing yang sering ia beri makan. Aku yang penasaran memintanya untuk mengirimkan sebuh foto, namun saat itu juga dering telepon pintar ini malah berbunyi.

𝘞𝘢𝘬𝘩! 𝘛-𝘵𝘦𝘭𝘦𝘱𝘰𝘯?! 𝘚𝘦-𝘴𝘦𝘣𝘦𝘯𝘵𝘢𝘳!!!

"Halo...? Kucingnya ngejar kucing lain, gue kejar dulu takut berantem..." Suaranya di telepon sedikit berbeda dengan aslinya, namun tetap terdengar merdu di telingaku.

𝘖𝘩- 𝘰𝘬𝘦...!

"Halo?"

Hening. Ia tak berkata apapun begitu juga diriku. Ah, karena sangat antusias, kami lupa bahwa salah satu dari kami tuna wicara.

Panggilan telepon itu ia alihkan menjadi panggilan video. Dengan sedikit panik dan gugup aku mengangkat panggilannya.

"Hey, ah... Soryy, gue lupa kalo lu..."

𝘉𝘪𝘴𝘶?

"Y-ya..."

𝘏𝘢𝘩𝘢𝘩𝘢𝘩𝘢𝘩𝘢!

Dari mimik wajahnya, ia sedikit terkejut. Akh, aku lupa bahwa aku hanya menggunakan kaos tanpa jas. Seluruh memar di tanganku jadi terlihat olehnya.

"Erm... Al? Posisi kameranya yang bener dong, gak kelihatan muka lu! Ugh... Gimana sih..."

𝘒𝘦-𝘬𝘦𝘯𝘢𝘱𝘢 𝘬𝘢𝘮𝘶 𝘩𝘢𝘳𝘶𝘴 𝘮𝘦𝘭𝘪𝘩𝘢𝘵 𝘮𝘶𝘬𝘢𝘬𝘶?

"Ak- gue kan nggak tau lu ngomong apa kalau nggak lihat gerak bibir lu... Ah- hey?! Mimi, rambut gue mau lu apain?! Be-bentar, Al!"

Entah karena apa, wajahku memerah. Aku mengenakan jas kembali dan memutuskan berjalan keluar dari UKS untuk menyusulnya.

"𝘓𝘰 𝘢𝘯𝘥 𝘣𝘦𝘩𝘰𝘭𝘥! Kucing gembul nan manis! Miko...!! Lucu kan? Pak satpam sekolah yang kasih nama. Ini kucing yang pernah gue ceritain, inget nggak? Eh- Al, lu mau kemana?"

𝘔𝘢𝘶 𝘯𝘺𝘶𝘴𝘶𝘭 𝘬𝘢𝘮𝘶!

"Al, gue aja yang nyusulin lu! Lu kan masih luka, liat tuh kepala diperban gitu sok banget mau nyusul gue!"

𝘕𝘨𝘨𝘢𝘬... 𝘈𝘬𝘶 𝘮𝘢𝘶 𝘴𝘦𝘬𝘢𝘭𝘪𝘢𝘯 𝘣𝘦𝘭𝘪 𝘮𝘪𝘯𝘶𝘮 𝘥𝘢𝘯 𝘯𝘪𝘬𝘮𝘢𝘵𝘪𝘯 𝘶𝘥𝘢𝘳𝘢 𝘥𝘪 𝘣𝘦𝘭𝘢𝘬𝘢𝘯𝘨 𝘴𝘦𝘬𝘰𝘭𝘢𝘩 𝘬𝘰𝘬! 𝘒𝘢𝘮𝘶 𝘮𝘢𝘶 𝘯𝘪𝘵𝘪𝘱?

"Nggak, gue aja yang beliin! Bentar gue nyusul sekalian ngambil uang di jok motor gue."

Setiap orang memiliki cerita SMA yang berbeda-beda tiap individunya. Begitu pula denganku, Ashtrid, dan Ankara. Setiap sesuatu yang kami lakukan pasti memiliki alasan tersendiri.

Kenapa Ankara marah... Kenapa aku diam... Dan kenapa Ashtrid suka menyendiri.

Setelah aku lulus, Ashtrid yang naik ke kelas 11 pindah ke Mexico bersama orangtuanya. Ankara tidak lagi menggangguku karena kami berbeda universitas.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 27 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The Hidden Blood AffairTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang