selamat membaca!
Aku melihatnya memilih untuk diam, ruangan ini hening sekarang. Aku terlalu cepat? Atau dia tidak merasakan hal yang sama? Aku jatuh cinta sendiri rupanya.
Aku berdiri, memilih untuk berjalan mengarah ke pintu keluar. Aku pikir untuk membiarkan dirinya sendiri sekarang, aku tidak ingin dia merasa terganggu.
"Sayang?" panggilnya dengan ragu, aku menoleh cepat ke arahnya. Dia tersenyum ke arah ku dengan anggukan kecil yang ku dapat.
Aku masih memegang gagang pintu ini, dengan cepat aku mulai menampar pelan wajahku. Dapat ku lihat dirinya yang menunduk tak lama setelah aku terus menatapnya.
Aku berlari cepat untuk kembali duduk di sampingnya, "ulangi dong? Tadi ngomong apa? Aku kok ga denger ya?" pinta ku padanya yang sedaritadi hanya menunduk.
Ku lihat dia semakin menunduk, "sayang." Astaga, tolong panggilkan ambulans untukku, lucu sekali kamu Fransisca, aku kembali menangkup pipi miliknya lalu ku cubit perlahan.
Aku menariknya ke dalam pelukanku, ku usap bahagia punggungnya. Dia tidak menolak, tidak juga marah, berarti benar jika dia sudah menerima ku.
"Maaf. Tapi ayo berjuang bersama? Aku tidak mungkin membiarkan kamu menjadi obat untuk orang yang tidak akan pernah sembuh," ucapnya.
Ku pegang kedua pipi miliknya, "biarkan aku berjuang untuk kamu? Kita coba untuk sembuh. Aku siap jika harus menjadi obat untuk wanita seperti kamu."
Dia tersenyum pada ku, "pulang dari sini, boleh untuk mampir ke makam Ayah dan Ibu? Mungkin ke makam dia juga, tidak masalah?" tanyanya.
Aku mengangguk semangat, menariknya untuk berdiri mengikuti ku. "Sebelum ke makam, ayo kita makan dulu? Kamu belum makan siang karena terlalu lama berpikir."
"Go, go! Makan bakso di perempatan dekat museum bagaimana? Kangen denger jokes abangnya, janji sambelnya tidak banyak," ucapnya sembari mengulurkan jari kelingkingnya.
Aku menautkan jari kami berdua, "janji! Ayo kita pergi," balasku lalu membawanya keluar dari ruangan milikku, berjalan dengan bergandengan mengarah pada parkiran.
Aku membukakan pintu penumpang untuknya, dia membalasnya dengan senyum. Aku ikut menyusul masuk ke dalam mobil dengan sedikit berlari karena cuaca sedikit panas hari ini.
"Tolong dipakai dulu seatbelt-nya tuan putri, agar kita bisa melaju dengan selamat. Semoga kita tidak kehabisan bakso dan mie ayam kesukaan kamu itu," perintaku padanya.
Dia memberikan gestur hormat padaku, setelahnya dengan cepat memakai seatbelt. Kami menikmati perjalanan dengan sedikit candaan juga dengan dia yang sesekali bernyanyi.
"Boleh jika nanti aku berbicara berdua dengan masa lalu kamu? Kamu antar aku dulu ke makam dia, aku biarkan kamu ke makam Ayah dan Ibu setelahnya."
Dia menoleh ke arah ku, "mau ngapain?" tanyanya padaku, aku menggenggam tangannya untuk ku cium, memastikan tidak akan ada pertengkaran.
"Cuma mau ngobrol dikit sama dia? Mau minta tips supaya bisa dicintai sehebat mungkin sama kamu."
Aku tertawa, berbeda dengan dia yang malah terdiam. "Maaf ya? Tapi benar, aku mau ngobrol sebentar. Setelahnya aku susul kamu ke makam Ayah dan Ibu?"
Lampu merah saat ini, sebentar lagi sampai di tempat bakso yang akan kami kunjungi. Dia menatap ku setelah aku memilih untuk melihat ke arahnya.
Kami tertawa, tidak mengerti apa yang lucu sekarang. Ku dengar klakson berbunyi, lampu sudah berubah menjadi hijau sekarang, aku kembali menjalankan mobil ku.
Tepat setelah lampu merah ini, tempat bakso di mana pertama kali aku mengungkap ingin mencoba dekat dengan dirinya. Pertama kali pula diriku di tolak olehnya, karena kami hanya sekedar teman baginya.
Ku parkirkan mobil ku, setelahnya aku turun terlebih dahulu untuk membukakan dirinya pintu. Aturan baru untukku, selalu membukakan pintu untuknya.
"Silakan cintaku," ucapku menggodanya, dengan dia yang memukul pelan bahu ku.
"Apaan sih, Shan? Kek bocah tau," ejeknya dengan wajahnya yang sudah memerah sekarang.
"Bilang aja dong kalau salting, ga perlu ngelak gitu. Itu muka merah kenapa coba?" ucapku sembari mengipasi wajahnya untuk sekedar mengejeknya kembali.
"Tau deh, Shan. Bye!" balasnya lalu berjalan cepat meninggalkan ku, dapat ku lihat bibirnya yang sudah seperti bebek itu, manisnya cintaku.
Aku mengejarnya, "kamu pilih tempat duduk aja sana, biar aku yang pesan. Seperti biasa atau mau ada yang ditambah?" tanyaku padanya.
"Baksonya agak banyakin," ketusnya, dia ngambek namun tetap harus dilanjutkan tapi urusan perut tetap yang diutamakan.
Aku mengangguk, lalu dia berjalan menjauh dari ku mencari tempat untuk duduk. Ku lihat dia memilih untuk duduk tepat di tempat yang terdapat kipas di atasnya.
"Baksonya 2 ya bang, kek biasa. Tapi satu pentolnya agak banyakin," ucap ku, dengan dibalas anggukan oleh si abang.
Tempat ini pertama kali ditemukan oleh Sisca, seminggu setelah kami saling mengenal kemarin. Dia menyusul ke kantor untuk mengantarkan berkas milikku yang tertinggal.
Saat jam makan siang kami mencari ingin makan di tempat apa dengan makanan yang bagaimana. Tepat saat itu hujan, dirinya yang sudah terlewat lapar memilih untuk mengajak ku makan di sini.
Dan untuk pertama kalinya kami makan di sini, di saat hujan, dengan dia yang semakin terbuka pada ku.
Tempat ini, banyak sekali kenangan. Saat pertama kali aku bicara jika aku menyukai dia, atau saat pertama kali juga aku berani menyatakan cinta walau ditolak olehnya.
Tapi kali ini, aku datang dengan dia. Status kami berbeda sekarang, aku pacarnya. Oh, tunggu dulu? Atau tadi dia hanya bercanda? Ah, tidak mungkin.
Aku berjalan cepat ke arah di mana dia memilih tempat untuk duduk, aku duduk tepat di depannya. "Mau tanya boleh?" tanyaku dengan dia yang langsung menatapku lalu mengangguk.
"Kita benar sudah pacaran, atau kamu tadi hanya bercanda?" tanyaku, dia terdiam, setelahnya tertawa, aku melihat apa yang di lakukan olehnya setelah itu.
Dia menarik pelan tanganku, lalu digenggamnya. "Buat apa aku panggil kamu sayang, aku mau untuk kamu cium kalau kita bukan pacaran?"
"Benar juga," gumam ku, lalu dia menatap ku.
"Atau kamu ya yang ngajak pacarannya bercanda?" tanyanya lalu menatap ku mengintimidasi, aku menggeleng cepat sebagai jawaban.
"Mana mungkin! Untuk apa aku menghias ruangan itu, kalau cuman bercanda?" bela ku, namun obrolan kami terhenti karena pesanan kami yang datang.
"Kalau urusan rumah tangga jangan di sini, di rumah saja kalian!" protes si abang, kami saling tatap lalu tertawa setelahnya.
"Makan dulu ya, selamat makan cintaku. Perlahan ya makannya, dan tidak boleh?" tanyaku padanya yang masih sibuk mengambil sendok dan garpu.
"Tidak boleh sambil berbicara!" jawabnya dengan antusias.
Kami memakan bakso yang kami pesan dalam diam, dengan ajaran Mama pada ku, kami tidak boleh berbicara jika sedang makan.
────
KAMU SEDANG MEMBACA
kita | shansis - end
Randomini tentang perjalanan dengan rusak, patah, dan luka 'kita' setelahnya.