makam

590 54 5
                                    

Sekarang mendung, tanda akan hujan tidak lama lagi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sekarang mendung, tanda akan hujan tidak lama lagi. Shani dan Sisca sudah berada di makam, di mana Ayah dan Ibu Sisca juga masa lalunya di semayamkan.

Sisca membawa Shani menaiki tangga, lalu berbelok ke arah kanan setelah sampai di atas. Membawanya ke satu makam dengan nisan yang sangat terawat dengan bunga yang ada di sana.

"Ini makam dia?" tanya Shani pada Sisca yang dibalas anggukan pelan lalu menunduk.

"Kamu ke makam Ayah sama Ibu aja duluan ya? Aku mau di sini sebentar, maaf ga bisa antar ke makam Ayah sama Ibu, tapi nanti aku nyusul," ucap Shani dengan memegang bahu Sisca.

Sisca tidak menjawab, dia langsung berjalan menjauh meninggalkan Shani. Di mana Shani mulai duduk dengan tangan yang terulur untuk membersihkan makam di depannya.

"Hai? Apa kabar di sana? Pasti baik. Masih sering mampir ke mimpi Sisca? Silakan mampir, tapi jangan dengan mengajak dia untuk ikut dengan kalian ya?"

"Tolong, kita bagi tugas. Kamu jaga Ayah dan Ibu nya untuk dia, tugas ku adalah menjaga dia. Apapun, apapun resikonya. Sekarang dia adalah tugas ku."

Shani diam, sesak di dadanya dapat terasa. "Walau aku tau, dia mana mungkin bisa lupa akan kamu. Tapi tolong, biarkan dia jadi milikku," lirih Shani.

"Dunia ku sekarang adalah dia, jangan kamu ajak untuk ikut berpulang, tolong? Aku tau dia cinta terakhir untuk mu, tapi jangan perbolehkan dia menjadikan kamu cinta terakhirnya juga."

Shani tertawa sekarang, merasa gila berbicara dan meminta tolong pada makam, pada orang mati. "Kasih aku tips agar dicintai mati-matian oleh Sisca? Tips dicintai sehebat kamu, bagaimana caranya?"

"Apa aku perlu untuk dulu agar dia jatuh cinta sehebat cintanya ke kamu? Tapi, kalau aku mati, siapa yang jaga dia?"

"Tidak apa jika kamu rindu dengan Sisca, karena kamu yang akan selalu dirindukan oleh jiwanya. Tapi tolong, jangan ajak dia untuk ikut pergi juga."

"Ingat, kita sudah bagi tugas. Tolong jaga Ayah dan Ibu nya untuk dia, dan aku akan jaga dia. Mungkin rela mati demi dia, sama seperti yang kamu lakukan. Tos dulu?"

Shani mengepalkan tangannya lalu mengarahkan tangannya pada nisan itu. Dia melakukan tos dengan nisan, aneh memang, tapi cara menghibur diri agaknya.

"Salam dari Sisca, dia sudah janji sama orang tua kamu buat tidak kembali. Jadi yang muncul hanya aku, sampai jumpa lain waktu," pamit Shani lalu berdiri.

Shani berjalan menjauhi makam itu, mencari di mana Sisca berada. Tidak jauh dari tempat masa lalunya, Sisca berada tepat di tangga paling bawah.

Dapat dirasakan oleh Shani gerimis mulai turun, pasti akan hujan deras setelahnya. Shani berlari turun untuk mengambil payung pada bagasi mobilnya.

Setelahnya Shani kembali berlari untuk menemui Sisca, namun belum sempat mendekat ke arah sisca, Shani berhenti tepat di belakang kekasihnya.

"Ayah, kali ini Sisca temukan bahagia lain yang siap membagi hidupnya untuk hidup Sisca yang sudah berantakan tak tau harus dibenahi dari yang mana," ucap Sisca sembari terus mengusap nisan di depannya.

"Ibu. Benar kata Ibu kemarin, tapi tetap saja Sisca ragu. Setiap luka pasti akan ada obat, tapi tidak boleh digunakan secara berlebihan. Shani obat untuk segala luka Sisca, tapi Sisca takut dia akan ikut terluka."

"Tapi maaf, dia bukan lelaki yang kalian butuhkan untuk terus bisa menjaga Sisca. Dia wanita yang akhir-akhir ini selalu ada dan menjadi obat dari luka yang kalian perbuat."

"Maaf jika setelah ini Sisca malah akan terus berontak dari segala aturan, demi tuhan. Dia baik sekali, tanpa dia mungkin sudah lama Sisca memilih untuk ikut mati."

Sisca menaruh bunga tepat di atas nisan di depannya itu, bahunya bergetar dilanjut dengan isakan. Shani tetap diam di belakang Sisca, tidak juga memilih untuk pergi meninggalkannya.

Hingga bukan lagi gerimis, tapi hujan deras sudah mulai turun dengan cepatnya. Shani dengan cepat membuka payung dan mengarahkannya tepat di atas kepala Sisca.

Aku berdiri setelah melihatnya memegangi payung untukku, aku menarik tangannya untuk lekas turun ke bawah masuk pada mobilnya yang terparkir

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku berdiri setelah melihatnya memegangi payung untukku, aku menarik tangannya untuk lekas turun ke bawah masuk pada mobilnya yang terparkir.

Dia mempersilakan ku untuk masuk lebih dulu dengan dia yang menyusul masuk. Dia basah, seperti dia sudah menunggu ku sejak lama di sana.

Aku menarik tangannya yang sedaritadi meremas kuat. "Ada apa? Kenapa diam?" tanya ku, dia hanya menoleh ke arah ku, melempar senyumnya. Di genggamnya tangan ku, perlahan diusapnya.

"Kenapa tidak bilang kalau ternyata ragu dan takut mu adalah karena tidak mau mengecewakan orang tua kamu?" tanyanya, kali ini aku yang terdiam, ternyata dia mendengar semuanya.

"Aku tidak masalah jika harus bersaing dengan masa lalu mu, tapi bersaing dengan restu orang tua mu? Aku tidak mampu. Aku tau mereka tidak ada di sini secara langsung, tapi mereka bisa saja kecewa melihat kita."

"Selama ini, aku pikir tantangan ku hanya tentang masa lalu yang raga-nya selalu kamu rindu, yang jiwa-nya selalu kamu nantikan itu. Kenapa tidak pernah bilang kalau orang tua mu menjadi tantangan lain untukku?"

Aku menunduk, "kalau begitu, kita jalani saja seperti biasa ya? Aku temani kamu sampai ada lelaki yang jauh lebih berharga dari masa lalu kamu," ucapnya menatap ku dengan senyumnya.

Aku menggeleng, menarik kerah bajunya. Aku menggoyangkan tubuh itu secara kuat, dengan dia yang hanya terpejam menerima hal itu.

"Kenapa? Kenapa kamu meralat perlakuan dan perkataan mu tadi? Kamu menyerah? Mana perjuangan kamu? Mana!" bentak ku sembari memukul bahunya kuat.

Dia memegang bahunya setelah itu, dan tersenyum ke arah ku. "Aku sanggup jika berjuang melawan masa lalu mu, tapi aku tidak akan pernah sanggup jika disuruh mendapatkan restu orang tua kamu."

Dia memegang kedua pipi ku, diusapnya air mata yang jatuh. "Mau bagaimana pun, dunia ini bukan milik kita yang harus berjalan sesuai rencana. Tapi semua atas dasar rencana Tuhan, atas dasar peraturan yang ada."

"Aku bisa melawan aturan yang ada, tapi bagaimana kamu yang harus melanggar aturan orang tua kamu? Aku tidak akan mungkin membawa anak orang tanpa persetujuan dari orang tuanya."

Aku menunduk, dia melepas tangannya dari kedua pipi ku. "Dengarkan aku ya? Aku tidak akan menjauh karena sayang dan cintaku ada pada kamu, dan habis di kamu. Tapi biarkan aku menemani perjalanan kamu."

"Aku siap jika diminta untuk membantu kamu mencari lelaki lain yang siap hidup dan menjaga kamu jauh lebih baik dari aku. Karena itu adalah permintaan orang tua kamu, karena itu adalah aturan orang tua kamu."

"Kita pulang dulu ya? Kita lanjutkan bicaranya nanti, takut hujannya semakin deras," ucapnya lalu menjalankan mobilnya perlahan, dengan aku yang memilih untuk menatap ke arah luar jendela.

────

kita | shansis - endTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang