Ketahuan

6 2 0
                                    

"Tidak semua orang itu sama"

.Albian Razaq.
.
.
.

Happy Reading...
.
.
.

Malam yang sunyi kini tengah menemani kesendirianku di teras rumah dengan duduk di atas kursi. Bunyi jangkrik bersahutan membuat malam menjadi bertambah larut. Hari ini tepat lima minggu Erick tidak kulihat. Juga tidak memberikan kabar.

Menghela nafas. Sejak tadi aku hanya menghela nafas. Jujur, aku amat rindu saat ini. Rindu pada orang yang tidak bisa lagi kulihat dan kudengar suaranya. Ia tidak meninggalkan dunia, hanya meninggalkanku saja tapi seakan tidak ada lagi tanda ia akan kembali nanti ataupun esoknya.

"Reya, udah malam ngapain masih di luar?" suara nenek terdengar dekat memanggilku. Kuedarkan pandangan ke arah pintu. Terlihat wanita tua yang masih begitu kuat di sana.

Langsung saja aku beranjak dari kursi di teras dan masuk ke dalam. Meninggalkan nenek yang masih berdiri di sana setelah pamit masuk dahulu. Hatiku sedang tidak baik-baik saja saat ini. Kapan rasa ini akan hilang, dan kembali terasa dengan orang yang berbeda.

000

"Aku mau bawa kamu ke rumah nanti. Kamu mau?" aku yang baru saja turun dari motor Bian seketika tersentak mendengar ucapannya.

Aku merasa takut dengan hal ini. Erick juga pernah mengatakan hal ini dan berakhir dengan aku yang dihina. Seketika aku menggeleng menjawab pertanyaan Bian.

"Kenapa? Ibu tahu, lho, sama hubungan kita. Ibu minta ketemu sama kamu," ucapnya juga ikut turun dari motor.

"Hmm, tapi gue belum siap, Bian." singkat saja, aku takut memberi alasan yang sebenarnya. Takut ia akan tersinggung.

Bian tersenyum. Kembali ia membuatku lupa jika tidak ada yang indah selain dari senyumannya. "Aku tahu kamu nolak karena apa. Tapi, Reya, tidak semua orang itu sama. Ibuku dan mama Erick berbeda." aku kembali tersentak ketika ia tahu apa yang mengganggu pikiranku hingga menolak ajakannya.

"Tapi...." seakan tidak ada lagi alasan yang bisa kuberikan. Aku kehilangan kata-kata.

"Tidak apa-apa jika tidak bisa, aku akan menunggu kamu siap." aku terdiam, merasa bersalah dengan senyuman yang langsung muncul di bibirnya.

Bian dan Erick itu sangat berbeda. Sangat. Diriku yang sudah terbiasa dengan hidup yang sering dipaksa oleh Erick menjadi merasa bersalah dengan Bian yang sabar dengan sikapku.

"Yuk!" ajaknya kemudian menggandeng tanganku menuju halaman sekolah. "Senyum, dong! Kamu cantik kalau senyum," ucapnya di sela langkah kaki kami yang terus berjalan.

Aku mencoba tersenyum tipis sesuai intruksinya. Tipis. Langkah kaki dan gandengan kami menjadi pandangn beberapa orang. Aku tidak peduli apa yang mereka ucapkan. Ini semua adalah keinginan Erick, dan aku akan mencoba menyesuaikannya.

Langkahku dan Bian akhirnya berhenti ketika kami telah sampai di kelasku yang masih dengan pintu tertutup.

"Aku lanjut, ya?" Bian pamit setelah aku menganggukan kepala.

Tangkanku mendorong pintu yang tertutup dengan tenaga sedang. Melihat isi kelas yang sunyi namun rasa kaget langsung meyambutku ketika melihat seseorang telah duduk manis di kursi dan meja milikku.

"Lama banget, lo, gue udah dari tadi nungguin." dengan tidak malunya ia membuka suara dengan ucapan yang sok akrab.

"Apa yang lo lakuin di kelas gue, Vita?" bukannya menjawab ia malah tersenyum menyebalkan ke arahku.

Oktober ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang