Bonus Chapter 1

1K 97 25
                                    

Dalam keheningan yang menyiksa, Devan duduk sendirian di kamar putra semata wayangnya yang terasa sunyi. Matanya yang lelah mencerminkan kepedihan yang tak terucapkan. Tiap sudut rumah, tiap benda kecil, mengingatkannya pada Jeno, putranya yang telah pergi meninggalkannya untuk selamanya. Setiap detik terasa seperti seribu tahun, dan rasa sakit itu seperti angin topan yang tak pernah berhenti menerpa hatinya. Dalam kesunyian, ia merindukan suara tawa Jeno, pelukan hangatnya, dan setiap momen berharga yang telah mereka bagikan. Meskipun fisiknya tiada, kehadiran Jeno tetap mengisi ruang hatinya dengan kenangan yang tak terlupakan.

Dalam gemuruh kesedihan yang tak terbendung, Devan memeluk erat foto kenangan Jeno, berharap bisa merasakan kehangatan putranya kembali. Matanya yang berkabut oleh air mata mencerminkan patah hati yang begitu dalam. Bibirnya gemetar saat ia mencoba menahan rasa sakit yang menusuk dadanya. Tiap sentuhan pada foto itu mengingatkan pada saat-saat bahagia yang kini hanya tinggal dalam kenangan. Dalam pelukan itu, ia merasakan kehangatan putranya, namun juga rasa hampa yang begitu menyiksanya. Dengan kepedihan yang mendalam, Devan merindukan segala hal tentang Jeno, dan tiada kata-kata yang mampu menggambarkan betapa besar rasa kehilangannya.

Devan tersenyum getir saat mengingat masa-masa manis bersama Jeno. Ia teringat bagaimana Jeno selalu memohon untuk mendapatkan jelly favoritnya setiap kali mereka berbelanja, dan bagaimana senyum cerahnya menyinari ruangan begitu ia mendapatkannya.

"Ayah, Jeno mau jelly yang warna kuning..,"

Setiap kali Jeno meminta sesuatu dengan tatapan manja, Devan tak pernah bisa menolaknya, karena kebahagiaan putranya adalah segalanya baginya. Meskipun rasa kehilangan merayapi hatinya, kenangan akan kepolosan dan kegembiraan Jeno memberinya sedikit kelegaan dalam kesedihan yang mendalam.

Devan semakin terhempas oleh pukulan kenangan-kenangan itu yang begitu menyiksa batinnya. Air matanya kembali mengalir saat menyadari bahwa semua itu hanya tinggal kenangan dan saat ia tidak akan pernah lagi bisa memanjakan putranya dengan kebahagiaan sederhana seperti itu. Setiap kali ia mengingat momen-momen indah bersama Jeno, rasa sakit yang menusuk dadanya semakin terasa. Rasanya seperti sehelai benang yang putus, meninggalkan luka dan kehampaan di dalam hatinya. Dan dalam keputusasaan yang mendalam, Devan merindukan segala hal tentang Jeno, bahkan yang paling sederhana sekalipun.

Hatinya lalu semakin teriris saat merindukan suara lembut Jeno memanggilnya dengan panggilan "ayah". Kenangan akan kata-kata Jeno yang menyebutnya sebagai ayah terbaik sedunia membawa kepedihan yang mendalam. Setiap kali ia teringat akan kata-kata itu, rasa sakit dan kerinduan yang tak terucapkan merayapi hatinya dengan lebih dalam lagi. Suara itu menjadi sumber kekuatan dan kebanggaan baginya, namun juga menjadi titik kelemahan yang membuatnya merindukan segala sesuatu tentang putranya dengan begitu kuatnya.

Devan kemudian termenung, menatap ranjang tidur Jeno yang kini telah kosong, tidak lagi ditempati oleh Jeno. Ia mengingat ritual harian yang ia sering lakukan bersama dengan Jeno di atas ranjang kamar Jeno. Dengan penuh kelembutan, ia selalu menemani Jeno sebelum tidur. Mereka berdua duduk di pinggiran tempat tidur, sambil Devan memeluk dan mem-pukpuk lembut punggung Jeno seolah ia sedang menimang bayi kecil. Setiap tepukan ringan itu adalah ungkapan cinta dan kasih sayang yang tak terucapkan, memastikan Jeno merasa aman dan dicintai sebelum terlelap dalam mimpi-mimpi indahnya. Namun sekarang, saat tempat tidur Jeno kosong, ia terpaksa memeluk bayangan yang terbentuk dari kenangan manis itu, sambil merindukan hangatnya tubuh Jeno di dekatnya. Ia merindukan momen-momen berharga itu dengan penuh kepedihan yang tak terobati.

Di keheningan yang menyelimuti ruangan, Devan menatap kosong ke arah sudut ruangan kamar, bertanya-tanya tentang keberadaan Jeno sekarang. Hatinya dipenuhi kerinduan yang tak terbendung, dan dalam kegelapan malam, ia berharap Jeno bisa merasakan rasa rindunya. Meskipun ia tahu bahwa Jeno telah pergi, namun dalam keheningan malam yang sunyi, Devan tak bisa menahan diri untuk tidak bertanya-tanya tentang apakah Jeno bisa merasakan rasa rindunya dari tempat yang jauh. Ia berharap, Jeno akan tetap bisa merasakan cinta dan kerinduannya, di mana pun putranya berada sekarang.

Dengan suara gemetar penuh harap, Devan berbicara dalam keheningan, "Jeno, ayah kangen.. ayah pengen bisa peluk Jeno lagi. Ayah pengen jeno di sini lagi sama ayah. Apa boleh kalo ayah minta Jeno kembali meski hanya untuk malam ini saja?" Dalam kesedihan yang mendalam, ayah berharap bahwa kata-katanya akan terdengar di tempat yang jauh, dan bahwa Jeno bisa merasakan kerinduannya yang tak terlukiskan.

Dalam kesedihan yang memilukan, Devan menangis hingga membuat bantal tidur Jeno basah. Air mata yang tak terbendung menjadi saksi dari patah hati yang dalam dan kehilangan yang tak terukur. Setiap tetes air mata adalah ungkapan dari kepedihan yang teramat dalam, sebuah kehilangan yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Bantal tidur Jeno yang basah menjadi simbol dari betapa sakitnya Devan setelah kehilangan putra satu-satunya, dan bagaimana kekosongan yang ditinggalkan Jeno tidak dapat tergantikan oleh apapun. Dalam kesendirian yang menyayat hati, air mata Devan menjadi ungkapan dari cintanya yang tak terbatas dan kerinduannya yang tak terobati.

"Jeno, ayah sayang sekali sama Jeno. Ayah sedih karena Jeno harus pergi secepat ini. Ayah sekarang sendirian, Jeno.. Setiap hari, ayah selalu kangenin Jeno, suara tawa Jeno, dan kehangatan yang selalu ayah rasain setiap kali ayah peluk Jeno. Meskipun sekarang Jeno ngga lagi di sini sama ayah, tapi cinta ayah buat Jeno akan selalu kekal dan abadi. Ayah mencintaimu Jeno, lebih dari apapun di dunia ini." Dalam kata-kata itu, terdengar kehancuran hati seorang ayah yang merindukan putranya dengan segenap jiwa dan raga.

Dalam kesendiriannya itu, Devan terus menangis sambil memanggil-manggil nama Jeno, dengan harapan bahwa putranya akan datang dan memeluknya. Suara panggilan yang penuh dengan kerinduan itu terdengar gemetar dalam hening malam yang sunyi. Setiap panggilan adalah ungkapan dari kepedihan yang dalam, dan dalam keheningan yang menyelimuti ruangan, Devan terus memanggil Jeno, berharap bahwa suaranya akan terdengar dan Jeno akan datang untuk menenangkannya.

"Jeno.. sinih, sayang.. ayah ada di kamar Jeno sekarang.. peluk ayah sekali saja, nak.. ayah kangen..,"

Namun, meskipun Jeno tidak bisa kembali dan memeluknya lagi, Devan menemukan sedikit kedamaian dalam ungkapan perasaannya yang tulus sebagai seorang ayah pada putra tersayangnya yang telah tiada.


























Senin, 29 April 2024.

Maaf aku tiba" nulis ini..

Lagi kangen Jeno di book ini soalnya 🥺💚

Ini ada bonus chapter 2nya juga, ya.. versi Bunda Tiffany.. aku udah up juga bonus Chapter 2nya tapi ngga masuk notif 😔

Peluk Aku, Bunda√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang