57. Akhir dari Perjuangan

146 6 0
                                    

Halo, apa kabar?

Makasih ya udah baca ceritaku sampai ke bab 57. Makasih atas support selama ini.

Maaf kalau masih banyak typonya.

Jangan bosen-bosen baca karya aku yang masih terus belajar ini.

Selamat membaca ❤

••••

Ini sudah hari kedua Saguna berada di rumah sakit tepatnya di ruang ICU, tetapi cowok itu belum memperlihatkan tanda-tanda untuk membuka matanya.

Monitor yang memantau heart rate Saguna tampak stabil. Kini Wulandari bersama Andreas sedang ada di ruangan tertutup itu. Mereka berharap secepatnya kondisi Saguna membaik.

“Saguna denger Ibun ‘kan, Nak?” Wulan berbisik di depan telinga Saguna, “Guna lama banget tidurnya sayang. Apa Guna tidak kangen sama Ibun, Ayah, Teteh dan Yesha? Oh iya, apa kamu juga tidak rindu sama Dania? Dania dari kemarin temenin kamu, tapi kamunya tidur terus.”

Andreas yang melihat bahu istrinya bergetar, mengukurkan tangan dan mengusap penuh kasih punggung sang istri.

Wulan juga menyeka air mata yang terjun bebas di pipi tanpa ia sadari, “Ibun kangen sama Guna. Semua juga kangen sama kamu.”

Wanita itu tidak tahan untuk tidak menangis. Ia berbalik dan mendekap suaminya. Tangis Wulan pecah di pelukan Andreas. Ia menangis tanpa suara, tetapi isakan kecil sesekali terdengar.

“Kita harus kuat, Bun.” Andreas menepuk-nepuk punggung sang istri, “kita terus berdoa untuk kesembuhan Guna ya! Ayah yakin Guna pasti akan sembuh.”

Walaupun sebenarnya Andreas tidak seyakin itu, tetapi ia harus menguatkan keluarganya. Diam-diam pria paruh baya ini mengusap sudut matanya.

“Bapak dan Ibu di minta Dokter Heru untuk ke ruangannya sekarang juga!”

Baru saja Andreas dan Wulan keluar dari ruang ICU, mereka sudah berhadapan dengan seorang Suster yang memberitahu pesan dari Dokter.

“Baik, Sus. Kami segera ke sana,” jawab Andreas, dalam benak mereka mungkin saja Dokter ingin memberitahu perkembangan Saguna.

“Maaf mengganggu waktu Bapak dan Ibu,” ujar Dokter Heru ketika kedua orang yang dimintanya telah datang.

Wulan tersenyum kecil, “Tidak apa, Dok. Bagaimana keadaan Saguna sekarang?”

“Setelah di rawat dan tambah darah, kondisi Saguna perlahan membaik. Hanya rumah sakit masih kekurangan darah golongan A. Kami masih mengusahakannya kepada PMI. Ibu dan Bapak tidak perlu khawatir,” jelas Dokter Heru perlahan.

Wulandari dan Andreas berpandangan sebentar, kemudian wanita itu menatap Dokter. “Anak sulung saya kebetulan golongan darahnya sama dengan Saguna, Dok. Kalau memang susah didapat apa Mentari bisa mendonorkan darahnya?”

“Iya, Dok. Dari pada Saguna terlalu lama menunggu tambahan darah,” tambah Andreas.

Dokter Heru mengangguk, “Bisa, Pak. Hanya anak Bapak harus dicek dulu. Apakah cocok atau tidak untuk mendonorkan darahnya.”

“Mentari sehat kok, Dok. Pasti bisa,” serobot Wulandari, meyakinkan Dokter.

Dokter Heru tersenyum serta menganggukkan kepala lagi. Seseorang mengetuk ruangan dengan tergesa-gesa dari luar.

“Permisi, Dok.” Muncul seorang Suster yang tadi berbicara dengan Wulan dan Andreas, “maaf mengganggu, keadaan Saguna menurun dan detak jantungnya melemah, Dok.”

Senyum dari SagunaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang