Bonus Chapter 2

516 50 15
                                    

Di ruang kamarnya yang gelap dan sunyi, Tiffany duduk seorang diri, hatinya terluka dan terpaut pada kenangan putranya yang kini telah pergi untuk selamanya. Air matanya mengalir deras, menggambarkan rasa sakit yang dalam dan kehilangan yang tak terucapkan. Ia meratapi kepergian putranya, merenungkan kenangan-kenangan manis dan harapan yang terhempas. Meski sudah lama berpisah dan harapan bersatu kembali pun hampir nyata, namun takdir ternyata berkata lain, merampas kesempatan itu dengan kepergian yang tak terduga. Di dalam kehampaan itu, Tiffany mencoba mencari ketenangan, menerima kenyataan pahit bahwa putranya telah meninggalkannya untuk selamanya.

Dengan gemetar, Tiffany mengelus lembut syal berwarna putih yang ada di pangkuannya. Setiap seratnya menyimpan kenangan indah tentang putranya. Ia merenung pada saat-saat terakhir ketika putranya memakai syal itu, di tengah dinginnya cuaca yang menyelimuti perpisahan mereka yang tak terduga karena saat itu hujan sedang turun deras-derasnya.

Tiap jahitan syal itu juga menjadi pengingat akan kasih sayangnya untuk putranya, dan setiap sentuhan lembutnya seakan ingin menyatukan kembali kehangatan yang telah pergi bersama sang putra. Meski hanya sekali dipakai, syal itu menjadi simbol cinta yang abadi antara seorang ibu dan anaknya, bahkan di saat-saat terakhir mereka bersama.

Dalam sorak tangis yang tak terbendung, Tiffany berucap dengan suara gemetar, "Jeno, syal ini bunda buatkan untuk kamu dengan sepenuh hati, dengan harapan supaya setiap kali Jeno pakai syalnya, Jeno bisa merasakan kehangatan dan cinta bunda yang tak terbatas." Suaranya tercekat oleh kesedihan yang mendalam, namun di dalamnya terdapat harapan agar cinta yang ia tanamkan dalam setiap jahitan syal itu tetap hadir dalam setiap langkah putranya. Meski raganya telah pergi, ia berharap bahwa kasih sayangnya akan terus menghangatkan hati Jeno, bahkan di kepergiannya yang tak terelakkan.

Tiffany terisak, suaranya terputus di tengah kata-kata. Setelah beberapa saat menahan diri, dengan suara gemetar ia melanjutkan, "Tapi sekarang syalnya ngga bisa Jeno pakai lagi.."

Air mata yang mengalir tak henti-hentinya menjadi ungkapan kesedihan yang mendalam atas kepergian putranya, namun juga menjadi tanda kasih sayang yang abadi dari seorang ibu yang tak akan pernah pudar. Namun, meski raga putranya itu tak bisa lagi ia peluk dan syal itu tidak akan pernah bisa Jeno pakai lagi, ia berharap bahwa kasih sayangnya akan tetap menghangatkan hati Jeno di mana pun ia berada.

Beberapa menit kemudian, dalam kegelapan yang menyelimuti kamarnya, Tiffany tiba-tiba tersenyum lembut, membayangkan kehadiran putranya di sudut yang sunyi itu. Meski hanya bayangan, namun dalam hatinya, Jeno tetap hadir dengan segala kenangan indah yang mereka bagi bersama. Senyumnya menjadi tanda penghargaan atas semua momen yang mereka lewati, meski kini Jeno telah pergi. Dalam keheningan itu, Tiffany merasa hangat, seolah-olah kehadiran Jeno masih terasa begitu nyata di dalam relung hatinya yang penuh cinta.

"Bunda di sini, Jeno," bisik Tiffany dengan lembut, suaranya penuh dengan kehangatan dan cinta. Meski tahu bahwa Jeno hanya hadir dalam bayangan, namun dalam momen itu, ia merasa seolah-olah putranya benar-benar hadir di hadapannya, tersenyum padanya dengan penuh kasih sayang.

"Temenin bunda malam ini ya, sayang..," ucap Tiffany dengan suara lembut, memanggil bayangan Jeno dengan penuh kasih. "Jeno tidur sini ya malam ini? Di sini, di kamar bunda. Nanti bunda akan peluk Jeno dengan erat." Meski tahu bahwa Jeno hanya hadir dalam imajinasinya, namun dalam kata-kata itu terdapat kehangatan dan kebersamaan yang membuat Tiffany merasa lega. Di keheningan malamnya, ia merasakan kehadiran putranya yang membawa ketenangan dan kehangatan dalam pelukan imajiner yang tak tergantikan.

Di tengah kesedihannya yang begitu dalam, Tiffany merasa jatuh, jatuh ke dalam lautan duka yang tak berujung karena kehilangan yang begitu besar. Hatinya terluka oleh realitas pahit bahwa ia tak akan bisa lagi memeluk Jeno dengan nyata. Air mata yang tak terbendung menjadi saksi dari derita yang ia rasakan, namun di dalam kepedihan itu, ia juga merasakan kekuatan untuk bertahan, untuk terus menghadapi kenyataan yang tak bisa diubah. Meski fisiknya tak lagi hadir, namun cinta dan kenangan mereka akan tetap abadi di dalam hatinya, menjadi sumber kekuatan dan kehangatan di dalam kehampaan yang menyelimuti.

"Sinih, sayang.. sinih deket bunda, nak," bisik Tiffany dengan suara getar emosional, merindukan kehadiran putranya. "Bunda kangen banget sama anak baiknya bunda. Jeno bilang pengen dipeluk bunda, kan? Sinih, sayang... sinih, bunda akan peluk Jeno sepuas yang Jeno mau." Dalam bayangan yang mengisi ruang kosong, Tiffany mencoba menggapai kehangatan yang telah pergi, menciptakan momen pelukan imajiner yang tak terhingga, sebagai penghibur dalam kesedihan yang menyelimuti. Meski tak bisa nyata, namun pelukan itu menjadi ungkapan cinta dan rindu yang tak terucapkan.

Isak tangis Tiffany semakin mengeras saat ia kembali mengingat detik-detik putranya saat akan meninggalkannya untuk selamanya. Terbayang jelas di benaknya saat-saat di mana Jeno perlahan direnggut paksa oleh takdir yang tak terelakkan. Setiap detik menyiksa hatinya, membawa kembali kenangan akan kepergian yang tragis itu. Dalam kesedihan yang menyiksa, ia merasa seperti disiksa oleh kehilangan yang begitu mendalam, melihat putranya yang dicintainya pergi untuk selamanya. Namun di tengah penderitaan itu, ia juga mencoba menemukan kedamaian dengan meyakini bahwa Jeno kini berada dalam pelukan Tuhan, bebas dari segala penderitaan dunia dan mendapat ketenangan yang abadi di surga. Meski hatinya hancur, ia mencoba menerima bahwa kepergian Jeno adalah bagian dari rencana yang lebih besar yang mungkin sulit dipahami oleh manusia.

Dalam keputusasaan yang mendalam, Tiffany merasa tak sanggup mengikhlaskan segalanya. Ia bertanya-tanya, mengapa Tuhan menitipkan putranya hanya untuk waktu yang begitu singkat? Mengapa ia harus kehilangan Jeno sebelum bisa memberikan semua kasih sayangnya? Pertanyaan-pertanyaan itu mengoyak hatinya, meninggalkan rasa kekosongan yang tak terisi. Namun di tengah kesedihan itu, Tiffany mencoba mencari jawaban yang mungkin tak akan pernah ditemukan dengan mudah. Mungkin, Tuhan memiliki rencana yang lebih besar, meski sulit dipahami oleh manusia. Mungkin, kepergian Jeno adalah bagian dari ujian yang harus dihadapi, sebagai bentuk ketabahan dan kepercayaan kepada-Nya. Meski berat, ia mencoba meyakini bahwa cinta dan kasih sayangnya terhadap Jeno tetap abadi, bahkan di luar batas kehidupan ini.

Sesaat kemudian, Tiffany lalu kembali tersenyum, kali ini dengan harapan dan kepercayaan yang menguat. "Jeno sayang, apa Jeno sudah merasa bahagia di sana? Apa Jeno sudah mendapatkan banyak jelly di sana? Apa malaikat-malaikat menjagamu dengan baik di rumah surga?" tanyanya dengan lembut, seolah-olah Jeno bisa mendengar dan menjawab setiap pertanyaannya. Dalam bayang-bayang harapan itu, Tiffany mencoba menemukan kedamaian, meyakini bahwa Jeno kini berada di tempat yang indah dan damai, dikelilingi oleh cinta dan kebahagiaan yang tak terbatas. Meski fisiknya tak lagi hadir, namun do'a dan seluruh cinta yang ia peruntukkan untuk Jeno akan selalu mengiringi perjalanan Jeno di surga.

"Bunda selalu do'ain Jeno dari sini.. Jeno harus bahagia ya, nak.. suatu hari nanti, kita pasti bisa ketemu lagi.. ayah, bunda, Jeno.. kita bertiga pasti akan bisa sama-sama lagi," ucap Tiffany sambil tersenyum penuh kelegaan setelah ia berhasil menumpahkan perasaannya malam itu.



































Senin, 29 April 2024.

Peluk Aku, Bunda√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang