05

23 3 3
                                    

Tak terasa hari sudah beralih malam. Mentari sudah hilang di ufuk barat. Langkah Syafier terasa begitu berat memasuki rumah tingkat dua yang tinggi laksana istana. Tas hitam yang telah sepanjang hari membebani pundaknya itu ditelakkan sembarang pada sofa besar berwarna kulit. Cekatan Mbok Sri menghampiri, meraih tas tersebut.

"Eh, Aden udah pulang," sambut Mbok Sri dengan kehangan.

Tak merespon sambutan tersebut, Syafier langsung tenggelam dalam tumpukan bantal sofa di ruang tengah. Dalam hitungan menit, kesadarannya hilang begitu saja. Ia tertidur pulas sementara sepasang sepatu hitam yang kini cukup berdebu masih terpasang pada kedua kakinya.

"Aduh... aduh... kebiasaan memang dari kecil sampai sekarang," tutur Mbok Sri. Perlahan ia membukakan sepatu tersebut, mencoba untuk tidak membangunkan anak majikannya itu.

Brak!!!

Baru sebelah sepatu yang berhasil terbuka, seketika Mbok Sri dan Syafier dikagetkan oleh suara membanting barang dari lantai 2 ke tengah rumah lantai 1. Syafier mendesah dan menggerutu. Dengan berat hati, ia segera bangkit duduk. Belum juga mimpi, udah diganggu aja, batinnya bertutur.

Sementara Mbok Sri juga ikutan bangkit, meletakkan sepatu yang dipegangnya tadi sembarang tempat. "Aden, Mbok pamit dulu," katanya sembari berjalan setengah berlari ke arah dapur. Raut wajahnya sudah jelas menjawab semua tanya yang ada pada kedua alis Syafier. 

Syafier menoleh ke sumber suara. Bangkit memeriksa tengah ruang terbesar di rumah ini. Batinnya bertanya tentang apa yang tengah terjadi. Namun, tak perlu lama, ia langsung paham situasi.

"MAMA KAN SUDAH BILANG, KAMU JANGAN PERNAH BAWA-BAWA CEWEK ITU KE RUMAH! MAMA TIDAK SUKA!!!" Wajah Saras begitu merah. Tingkah dan tekanan suaranya menguasai segala penjuru rumah. Ia membelakangi anak pertamanya. Rasa tak senang menjadi alasan atas tingkahnya.

Satya, nama putra sulung itu. Tepat di sebelahnya, seorang gadis berbaju ungu pastel yang ceria sesuai kepribadiannya. 

"KAMU SAMA AJA DENGAN PAPA KAMU!!!"

Syafier sudah khatam dengan kejadian seperti ini. Setidaknya sudah beberapa kali terjadi dalam kurun satu tahun. Kakaknya yang nota bene adalah seorang playboy selalu berusaha mengenalkan pacar barunya kepada orang-orang rumah. Tak ada yang mempermasalahnya, lebih tepatnya tak ada yang peduli dengan hal tersebut. Kecuali Saras. Hanya ia yang risih jika anak sulungnya memiliki wanita baru. Apa lagi jika sampai dibawa ke rumah. Ada trauma yang selalu membuat emosinya berkecamuk demikian.

Syafier memutar mata sinis. Segera bangkit, berlari ke kamar. Dalam hitungan detik, ia segera berganti pakaian. Mengambil kunci mobil. Mengambil ponsel, membuka sebuah grup chat.

Tiga Monyet Harapan Bangsa

Syafier: "Gue butuh kalian sekarang!"

Riko: "Tiba-tiba banget. Rindu lo?"

Brayn: "Alah, galau sama cewek taruhan itu yah?"

Syafier: "Bacot kalian semua! Di tempat biasa sekarang."

-👩🏻‍🤝‍🧑🏻-

Pukul 8 malam. Sebagaimana hari kerja lainnya, jalanan kini dipenuhi kendaraan, sesak. Satu dua motor menyalib di antara mobil yang pengemudinya sudah frustasi. Suara klakson berpip-pip tiada henti. Wajah-wajah dari para perkendara sudah mewakili bagaimana hiruk pikuk hidup di kota besar. Melelahkan.

Syafier menghela napas panjang. Sudah 15 menit ia menatapi kemacetan di pertigaan. Secangkir cappucino yang dipesan sudah sedari tadi tiba. "Mana sih dua monyet itu?" ucapnya pada pantulan diri di kaca. 

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 04 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Dear My PartnerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang