BAB VII, Lembar Baru Untukmu dan Aku

6 3 1
                                    

Kepala yang berdenyut nyeri, badan yang linu dan perut yang mual. Itu adalah perasaan pertama yang menyambut Gracia begitu ia membuka matanya. Pandangannya tertuju dengan atap kamar yang ia kenal namun tidak begitu baik.

Jam besar yang terpampang di depannya ketika ia bangkit dari tidur memberitahunya bahwa ini sudah lewat dari jam dimana seharusnya ia pergi ke studio. Menoleh kesana-kemari untuk mencari ponselnya hingga ia sadar ia tidak membawanya.

Ia ingat ia berlari tanpa tujuan pada malam itu, tapi sama sekali tidak menyangka ia akan berakhir menginap di apartemen Demian. Gracia mengutuk tindakan bodohnya.

Dari luar kamar, samar-samar Gracia mendengar suara Demian. Ia terdengar seperti sedang bicara dengan seseorang tanpa ia bisa mendengar suara orang lain tersebut. Tak berselang lama, Demian masuk ke dalam kamar dengan ponsel pribadinya di tangan kanannya. Ia tersenyum lega begitu menemukan Gracia yang sudah terbangun dari tidurnya. Tanpa basa-basi berlari kecil menghampirinya, menekan telapak tangan lebarnya pada kening dan leher Gracia.

"Kayaknya kamu masih harus istirahat sebentar lagi, Grace." ucap Demian ringan seolah tidak ada yang salah dengan situasi mereka saat ini, "aku sudah kabari Freya tentang keadaan kamu."

"Thanks." balas Gracia selagi memperhatikan Demian yang sibuk menyiapkan semangkuk bubur ayam tanpa dan obat di meja kecil dekat kasur.

"Aku sudah beliin bubur tadi pagi, tapi kayaknya sudah dingin. Lalu kamu makan obat ini sekitar lima belas menit setelah kamu makan, ok?" tanya Demian memastikan Gracia mendengarkannya sementara Gracia hanya terdiam meski matanya terus mengikuti Demian. Senyuman pilu tergambar tipis di wajah Demian.

"Maaf aku gak bisa temani kamu lebih lama hari ini." Demian menepuk kepala Gracia lembut ketika ponselnya kembali berdering. Sedikit menggerutu ketika melihat nama di layar ponselnya, "Aku harus pergi sekarang. Ku harap kamu masih disini ketika aku pulang." Demian tersenyum sebelum pergi dari ruangan kamar itu.

"Ya, pah? Aku on the way kesana." suara Demian yang menggema dari ruang tamu.

Pandangan Gracia masih belum bisa beralih dari pintu dimana Demian menghilang di baliknya. Rasa sepi mulai menyerangnya. Ia kembali berbaring di kasur itu, meringkuk dan memeluk dirinya sendiri di balik selimut yang selalu Demian gunakan setiap malam dimana aroma tubuhnya masih tertinggal disana.

"Bagaimana aku bisa melupakan kamu ketika hanya kamu satu-satunya tempat yang ku sebut rumah?".

***

Malam itu Demian pulang lebih larut dari yang ia rencanakan. Hati kecilnya berdegup begitu ia memasukan password dari kunci apartemennya, mengantisipasi hal yang ia nantikan meski ia tidak terlalu berharap banyak.

Dengan setelan jas menggantung di tangan kirinya, perlahan ia membuka pintunya dengan hati-hati. Bahunya terperosok ke bawah begitu ia tidak lagi menemukan sepatu Gracia di rak sepatunya. Desahan putus asa lolos dari bibirnya.

Ia membawa jasnya masuk lebih dalam dan melemparkannya sembarang ke atas sofa di ruang tamu, tahu besok rumahnya akan kembali bersih dan tertata setelah pembantu rumah tangganya datang. Hal janggal yang ia dapati membuatnya berhenti dari aktifitas yang ia lakukan. Pendingin ruangannya sudah menyala sejak ia masuk sedangkan pendingin ruangan miliknya memiliki fitur otomatis dimana ia akan mati dan menyala ketika benda itu merasakan suhu tubuh manusia.

Ia menoleh ke sekelilingnya untuk menemukan sosok yang ia cari. Ia bergegas ke dalam kamarnya, namun tak ada seorangpun disana sampai ia mendengar suara gemericik air dari dalam kamar mandi yang ada di kamarnya. Tak lama, Kepulan asap merebak keluar dari dalam kamar manding bersama Gracia dengan aroma sabun dan sampo yang biasa ia gunakan.

"Demian? Kapan kamu pulang?" tanya Gracia masih dengan pakaian yang sama dengan yang ia kenakan pagi ini, "maaf aku pakai alat mandi kamu."

Demian mengusap wajahnya dengan kedua tangannya kebelakang dan mendesah lega.

"Demian?" tanya Gracia memastikan ia baik-baik saja karena Demian sama sekali tidak menjawabnya.

"Maaf. Aku kira kamu bakal ninggalin aku lagi." Demian menjawab, sedikit terkekeh.

Gracia menghampiri Demian yang masih di ambang pintu, "Aku cuma mau bilang terimakasih dan maaf sudah bikin kamu repot."

Demian terdiam memandangi Gracia, menyadari bahwa ini adalah akhir. Gracia sudah terlihat lebih baik dan ia sendiri tidak yakin Gracia ingin tetap berada di sini lebih lama dengan orang yang menyakitinya.

"It's ok." Matanya lagi-lagi menghindari Gracia meski bibirnya menunjukan senyuman.

Gracia masih mencoba membuat kontak mata dengannya, mengikuti setiap arah pergerakan bola mata Demian, namun ia tetap keras kepala. Kehabisan kesabaran, Gracia menangkup kedua pipinya dan menariknya untuk menghadap wajahnya,

"Lihat aku." perintah Gracia, tapi itu hanya awalnya cara itu berhasil menarik perhatiannya, selanjutnya ia lagi-lagi mengalihkan pandangannya. Gracia tahu itu caranya menghindari topik yang ingin Gracia bicarakan, tapi kali ini Gracia merasa lebih keras kepala.

Tanpa aba-aba, Gracia menarik wajah Demian mendekat dengan wajahnya dan menanamkan kecupan lembut di bibir Demian hingga berhasil menarik perhatiannya. Namun ketika Gracia membuka mulutnya untuk mulai bicara, Demian kembali menarik tengkuk leher Gracia kedalam ciuman yang lain.

Bagai meluapkan rasa rindu yang tak terbayar selama ini, ciuman itu berlangsung lama hingga Gracia harus menghentikannya sendiri, "Demian," namun ucapannya selalu terpotong oleh kecupan demi kecupan yang di hujani padanya bertubi-tubi.

"Seriously, Demian! Dengerin aku!" Gracia menahan wajahnya dan mendorongnya menjauh darinya atau ia tidak akan pernah mendapat kesempatan sama sekali untuk bicara.

Akhirnya Demian berhenti dan Gracia pun berhasil mendapat seluruh perhatiannya. Dengan kecupan terakhir di telapak tangannya, akhirnya Demian setuju untuk mendengarkan Gracia.

Pada Awalnya, Gracia masih ragu dengan keputusannya, namun ciuman tadi seolah menjawab pertanyaan Gracia. Kelihatannya, Gracia sudah benar-benar memaafkan Demian melihat ia tak merasa sedikitpun benci dengan apa yang Demian lakukan. Terlebih, ia sendiri yang memulainya. Mungkinkah lembaran baru bukan sekedar angan?

"Aku sudah banyak berpikir tentang hubungan kita siang ini...," Gracia memulai, "tidak, sebenarnya aku sudah memikirkan ini selama beberapa bulan."

Demian menatap Gracia penuh penantian, seolah nyawanya berada di ujung tanduk. Tapi ia menunggunya dengan sabar.

"Apa kamu bisa janji padaku untuk gak lagi mencari perempuan lain kalau aku memberi semua yang kamu mau?" tanya Gracia ragu.

"Maksud kamu?" Mata Demian melebar, wajahnya kembali mendekat pada Gracia seolah pendengarannya sudah menipunya.

"Kalau kamu berjanji padaku, kita bisa memulai semuanya dari awal."

Butuh waktu beberapa saat bagi mereka untuk mencerna semuanya, terutama Demian. Gracia sendiri butuh waktu untuk meyakinkan dirinya bahwa ini adalah keputusan yang tepat atau sekedar hasrat sesaat. Tapi satu hal yang ia tahu, malam itu ia menghabiskan sisa harinya bersama Demian. Berdoa sebaik mungkin, berharap ia membuat keputusan yang tepat tanpa ia tahu apa yang menunggunya kelak.


To be continue...

Author Note's:

Untuk bab selanjutnya, di teruskan di platform KBM, dengan judul yang sama: 'Fall from Grace' by VioletOwl.

Jangan lupa like dan komen.

Terimakasih atas supportnya.

Fall from GRACETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang