Tidak dapat mengulang
Waktu yang telah berlalu
Naik kemudian surut
Ombak yang membuat sedih

"Kamu sibuk sore ini?" ketikku dengan ragu. Menimbang-nimbang apakah pesan ini harus kukirim atau tidak. Now or never. Kuberanikan jemariku untuk dapat menekan tombol kirim.
Tak lama kemudian, balasan yang kuharap pun muncul. "Bentar lagi pulang, why?"
"Ayo ke pantai?"
*
*
*Coba siapa pun beritahu padaku, manusia aneh mana yang pergi ke pantai di tengah cuaca yang dingin? Ketika hembusan angin cukup terasa dan mengundang gigil. Sementara pantai selalu identik dengan musim panas; menikmati cerahnya sinar mentari dan hangatnya pasir di tapak kaki.
Terlebih, manusia gila mana yang mau-mau saja sepulang bekerja menuruti ajakan aneh temannya itu? Sama sekali tidak menolak. Meski lelah sudah pasti dirasakannya setelah seharian membanting tulang. Nyatanya, dia tetap ada di sini sekarang. Konyol, bukan?
"Mau kopi nggak, Fre?" Manusia gila itu, Fauzan Damar, mengulurkan sekaleng kopi instan padaku. Caffe latte, aku membaca jenis minuman yang tercetak pada kemasan dan tersenyum tipis. Membayangkan bahwa Damar selalu tahu, caffe latte adalah favoritku. Meski secepatnya otakku mengingatkan, hal itu bukanlah sesuatu yang spesial.
Aku menyangkal segala romansa yang pastinya hanya berputar di kepalaku. Menolak untuk merasa senang hanya karena hal-hal sederhana yang biasa.
"Thanks," balasku. Segera kusimpan kopi kaleng tersebut di saku jaket. Mencari kehangatan, setelah berlama-lama melalui perjalanan dalam bis berpendingin udara.
Kulangkahkan kaki mendekat pada tepian lautan. Memanjat pemecah ombak tanpa ragu. Dari belakang, Damar memastikan pijakan kakiku tidak keliru. Mengambil tempat duduk di sebelahku. Menikmati warna senja yang samar mulai tergurat.
Sebentar saja. Sekali lagi.
"Tiba-tiba banget pengen ke pantai?" Damar membuka percakapan sekaligus kopi kaleng yang dibawanya.
"Iya nih. Nggak tahu kenapa, pengen banget," jawabku, sembari mengeluarkan kopi kaleng milikku juga. Damar mengambil alih, membukakannya untuk.
Bisa tidak, jangan begitu baik? pikirku sembari menggumam terima kasih.
Aku memandang hamparan laut di hadapanku. Begitu luas layaknya kemungkinan-kemungkinan yang tersaji dalam kehidupan. Sebersit pemikiran-pemikiran jahil yang percuma berlalu lalang di kepalaku. Pertanyaan-pertanyaan yang ingin kusangkal, sebab jawaban yang pasti; belum tentu bisa kulewati.
Suara dalam kepalaku berbisik, "Andai ini memang yang terakhir, bisakah kamu relakan Damar bahagia dengan gadis pilihannya?"
Dengan berat hati, aku menghela napas.
"Aku ..."
Damar menoleh, memusatkan atensinya padaku. Sejenak aku ragu, perlukah aku lanjutkan kalimatku?
Aku sebenarnya enggak rela.
"Apa?" tanya Damar menunggu. Namun, sejak saat pertama sampai hari ini pun, aku tidak pernah bisa berani perihal perasaanku pada Damar. Selalu ada yang tertahan di balik status pertemanan dan zona nyaman. Klasik.
Satu waktu aku bisa sangat mengharap, Damar bisa membersamaiku untuk waktu yang lama. Sepenuhnya sadar, jika momen semacam itu hanya bisa terkabul jika aku menjadi pasangannya. Namun, orang bilang aku terlalu serakah, berharap menyanding Damar tanpa berani menyatakan perasaan. Sebab risikonya terlalu nyata. Aku tidak sanggup jika harus melepas persahabatanku dengannya.
Kalau boleh, Tuhan, Damar benar-benar adalah tipeku. Dia pandai memperlakukan perempuan dengan baik, dia tidak merokok, dia sayang keluarga, dia humoris dan penyabar. Damar sungguh tipe pasangan yang aku dambakan. Namun, setahuku tipe pasangan yang dicarinya bukan seperti aku. Wajar aku tidak punya kepercayaan diri yang cukup, bukan?
"Makasih udah mau ikut ke pantai," ujarku, menemukan pengalihan topik yang baru. Damar tersenyum lalu menyesap kopinya. "Padahal rempong banget, dingin-dingin naik bis, pulang kerja. Kenapa sih tetep mau nemenin, Dam?"
"Bukan masalah. Namanya juga sayang," timpalnya santai. I know.
"As a friend, kan?" Aku memperingatkan, hatiku.
"Iya lah!"
"Jangan asal ngomong gitu sekarang. Kan udah punya pacar." Mau bagaimana pun, aku juga perempuan. Mengetahui pasanganku punya teman lawan jenis yang terlalu akrab pasti bukan sesuatu yang menyenangkan. Apalagi jika kami tidak kenal baik, pasti banyak mengundang prasangka dan salah paham.
Damar terdiam, kembali memandang lautan. Sebelum akhirnya berujar, "Katanya dulu pasanganku bakalan jadi temanmu?"
"Enggak bisa deh kayaknya. Bakalan jadi canggung banget." Ditambah, mana bisa aku melihat Damar perhatian pada perempuan lain? Memang tidak tahu diri aku ini, berlagak cemburu padahal tidak punya hak apa pun. Sudah selayaknya kita berpisah di sini.
"Terakhir, Dam. Besok-besok aku nggak hubungin kamu lagi."
Meski seperti tidak setuju, Damar tidak punya alasan untuk menyangkal. Dia tahu kalau prioritasnya sudah jelas. Dan meminta aku menjauh secara langsung tentu tidak mungkin dia lakukan.
Cukup seperti ini, duduk di atas pemecah ombak. Menikmati mentari yang perlahan turun ke peraduan. Bentang cakrawala yang meriah penuh warna. Biru, ungu, kelabu dan jingga. Berdua bersama, sebagai teman seperti biasa.
Hari ini bagiku adalah momen abadi.
***
Kamu cukup menemani saja di sampingku menjadi orang terdekatSama seperti dahulu tanpa berubah
Untuk terakhir kalinya ikutilah cintaku yang konyol ini
Sampai mentari terbenam nandi
--
070624
KAMU SEDANG MEMBACA
Spotifict✓
Storie brevi"Why do you always listen to music so loud?" "To silence the loud thoughts inside me."