Bagian 8.3

38 3 0
                                    

Selesai mandi, aku disuguhkan dengan hujan yang turun lagi begitu deras. Untungnya, aku sudah selesai memakai baju. Aku pulang menuju rumah dengan payung yang berada di genggamanku. Aku menggenggamnya dengan erat. Takut sekali payung rapuh ini terbang dan aku basah kuyup lagi.

Untungnya tidak. Aku sampai dengan selamat. Hanya kakiku yang terkena cipratan air bercampur tanah. Sehingga aku harus mencuci kakiku dibawah guyuran hujan.

"Dingin, ayo masuk"

Entah kapan Kai datang. Aku begitu larut dengan tetesan air hujan yang membasahi kakiku hingga aku tidak menyadarinya. Sehelai kain jarik menutupi kedua bahuku. Kai menuntunku untuk masuk.

Aku berbaring bersiap untuk tidur. Namun kai masih memandangiku dari sisi tempat tidur. Aku tidak bisa seperti ini. "Keluar. Aku ingin tidur" usirku.

Kai menuruti perintahku. Dengan rintik hujan yang begitu deras, aku mulai memejamkan mata. Lullaby yang biasanya aku dengarkan, kini berganti dengan suara air berjatuhan di atap genteng yang rapuh ini. Semoga saja. Semoga saja rumah ini tidak bocor agar aku bisa tidur nyenyak. Itulah doaku sebelum tidur.

-Kopi Susu-

Ini adalah kali pertama aku berjalan lagi di desa ini. Pagi hari tadi sebelum matahari memancarkan sinarnya, Kai sudah berangkat ke sawah. Hujan yang kemarin datang membuatnya harus bekerja ekstra katanya. Aku tidak mengerti apa maksudnya, aku hanya mengiyakan saja saat ia berpamitan. Toh aku juga tidak menyusul ke sawah.

Karena tidak ada sayur dan lauk untuk di masak, aku berniat untuk ke tukang sayur keliling yang dulu biasanya aku lihat. Aku terus berjalan mengikuti jalan setapak yang dulu kulalui saat perjumpaan pertama dengan Kai. Seharusnya dulu aku tidak lewat jalan ini, ah sudahlah.

Aku mengelus perutku yang sudah sedikit membuncit. Bayi ini sepertinya menginginkan makan dengan sayur daun singkong. Melihat ladang orang di tumbuhi banyak singkong membuatku ngiler. Baiklah, ayo bayi kita cari keinginanmu itu.

Selain itu, aku juga melihat gardu yang dulu kupakai untuk berjualan kini sudah ada pedagang lain yang menempati. Itu adalah salah satu dari ibu ibu yang menjadi langgananku. Aku berpura pura tidak melihatnya, berjalan lurus kedepan.

"Mbak! Mbak Anne"

Rupanya ibu ibu itu memanggilku. "Iya, Bu?" Aku mendekat. Sedikit takut sebenarnya, mengingat aku dianggap aib beberapa minggu yang lalu.

"Mbak Anne mau kemana?"

"Saya mau ke tukang sayur bu" jawabku sekenanya. Aku melirik barang dagangannya, ternyata ia berjualan aneka bubur dan camilan tradisional.

"Tukang sayurnya lagi libur mbak, semalam gak bisa ke pasar. Kan hujan terus"

Mendengar itu, aku lemas. Bagaimana aku bisa makan hari ini. Satu satunya penjual sayur yang ada di dusun ini libur. Kalau ingin membeli bahan makanan harus jauh jauh ke pasar. Dan aku tidak mungkin kesana. Kakiku sudah tidak sekuat dulu.

"Sudah berapa bulan Mbak?"

Ibu itu menatap perutku "jalan empat bulan Bu" aku tersenyum.

"Ooh... Panggil aja Bu Ning, saya ketua RT  sini"

Oh... Jadi ibu itu adalah Bu Ning. Dan dia ketua RT. "Iya Bu"

"Ini Mbak" Bu Ning mengulurkan seplastik bening berisi kertas minyak yang entah apa di dalamnya.

"Saya minta maaf ya Mbak, sempat ada beberapa warga yang mengolok Mbak Anne. Sebagai ketua RT sebenarnya saja juga gak tega si Mbak. Melihat Mbak Anne juga masih muda harus bernasib seperti ini. Kalau ada apa apa hubungi saya aja. Rumah saya gak jauh dari rumah Nenek May kok" lanjutnya.

Kopi SusuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang