03

6 0 0
                                    

"Kalau ada orang di angkatan kita yang harus jadi pacar si Zaki, menurut gue lu cocok sih, Al," ucapku dengan percaya diri.

Alya menatapku dengan bingung. Perempuan itu bergidik. "Ogah gue sama dia lagi."

Alya pernah menyukai Zaki ketika kami baru memasuki jurusan. Akan tetapi, perasaan yang dimiliki Alya bertepuk sebelah tangan karena Zaki tidak pernah memandang Alya lebih dari teman dekat. Seiring berjalannya waktu, perasaan yang dimiliki Alya pun kini telah hilang.

Atau mungkin tidak sepenuhnya. Entahlah.

"Gue sekarang paham kenapa kalian bertanya-tanya kok gue bisa suka sama Zaki," ujar Alya.

"Tapi menurut gue, lu cocok sih," balasku. "At least lu bisa nge-handle dia kalo dia ngeselin."

Alya menghentikan tugas yang sedang ia ketik, kemudian menoleh ke arahku. Tangan kanannya menunjukku. "Gue tau lu cocok sama siapa."

"Siapa? Irsyad?" tanyaku asal.

Kak Irsyad adalah kakak tingkatku yang sempat beberapa kali mengambil kelas yang sama denganku untuk mata kuliah wajib. Bukan karena tinggal kelas, tetapi karena suatu urusan pribadi mengharuskan ia cuti satu semester dan belum bisa mengambil kelas wajib bersama teman seangkatannya. Alhasil, Kak Irsyad mengambil mata kuliah wajib bersama angkatanku. Bahkan, kami sering menganggap Kak Irsyad adalah bagian dari angkatan kami, saking seringnya ia ada di kelas yang sama.

Alasanku menyebut nama Kak Irsyad secara asal karena waktu itu, Alya dan Dira pernah beradu pendapat bahwa tipe laki-laki yang kusukai adalah sosok seperti Kak Irsyad.

"Yeu, kalo itu mah gue masih gak setuju!" ujar Alya. "Lu gak dapet restu dari gue kalo lu sama Irsyad."

Aku tertawa kecil.

"Kata gue, lu cocok tau sama si Galih."

Kini aku balik membalas Alya dengan tatapan bingung. "No. Why?"

Sebelum aku menyukai Kak Mahesa—atau itulah yang kusimpulkan, aku pernah "menyukai" Kak Galih hanya untuk menjadikannya objek dalam puisiku. Masalah hati, aku tak tahu apa yang kurasakan kala itu. Yang pasti, instingku mengatakan untuk mengakhiri perasaan tidak jelas itu terhadap Kak Galih, mengingat interaksi yang tercipta antara aku dan Kak Galih hanya sebatas praktikan dan asisten selama 2 semester.

Akan tetapi, tidak lagi di saat ini.

Aku dan Kak Galih menjadi asisten di mata kuliah yang sama—tentu kami bercengkrama dan bercanda ketika bertemu. Sialnya, aku jadi bisa melihat pesona yang entah-apalah-itu dari diri Kak Galih.

Dan sialnya lagi, entah sejak kapan, interaksiku dengan Kak Mahesa tidak seperti dulu. Beberapa bulan yang lalu, kami masih sering berkumpul di Himpi mengerjakan tugas bersama. Kini, sekadar bertemu dengannya di siang bolong sehabis kelas saja hampir tidak mungkin.

"Eh, serius! Gak tau kenapa, menurut gue, lu cocok sama Galih," ujar Alya.

Entah untuk berapa banyak kata sial yang akan terucap olehku setelah ini, aku yakin perkataan Alya akan terngiang di kepalaku.

Membuatku kembali mengharapkan bintang yang pernah kukejar, namun tak kunjung kugapai.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 01 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Cerita di Kala SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang