PART 1

14.5K 23 0
                                    

BUGH!! BUGH!!! BUUGHH!!

"Arrghhttt!!!"

Ruangan jeruji besi berukuran tak lebih dari 4x5 meter mendadak riuh, di pojok ruangan yang berhimpitan dengan wc serta kamar mandi kumuh nampak seorang pria paruh baya berusia 50 tahun meringkuk tak berdaya setelah dikeroyok oleh 8 penghuni sel lain. Meskipun postur tubuhnya cukup besar tapi menghadapi 8 pria lain dengan postur yang nyaris sama tentu bukan hal mudah untuk diatasi. 

Wajahnya sudah babak belur, darah pun mengalir dari dari bibir, pelipis, juga hidungnya setelah menerima bogem mentah dari para penghuni sel bertampang  sangar dan bengis. Di luar ruangan terdengar teriakan-teriakan dari penghuni sel lain yang mengetahui keributan di sel nomor 69 itu, sebuah hiburan kecil bagi napi lain di tengah malam buta, beberapa diantaranya bahkan sambil memukul-mukul teralis besi hingga menambah kebisingan. Chaos.

Tak lama suara sirine berbunyi nyaring memekakkan telinga, beberapa sipir berpakaian semi militer lengkap dengan pentungan besi berlari menuju sel nomor 69 tersebut, dipimpin langsung oleh kepala sipir, Djarot Suyanto, yang terkenal brutal dalam menangani keributan antar napi. Keriuhan yang sebelumnya terlihat seketika berubah menjadi keheningan saat para napi menyadari kehadiran sang kepala sipir, tak ada satupun dari mereka berani untuk menguji kesabaran Djarot dengan sekedar mengeluarkan teriakan.

Wajah Djarot merah padam ketika sudah sampai di depan sel nomor 69 tersebut, tanpa diperintah salah satu sipir langsung membuka kunci sel, sementara sipir lain mengarahkan senter ke dalam ruangan. Delapan napi yang baru saja melakukan pengeroyokan sudah duduk jongkok, berjejer rapi dengan kedua tangan memegangi kepala mereka masing-masing. Sebuah posisi badan yang melambangkan penyerahan diri, seolah mereka menyadari dengan kesalahan yang telah diperbuat dan siap menerima hukuman dari para sipir.

Djarot melangkah masuk diamatinya satu persatu wajah 8 napi yang baru saja melakukan pengeroyokan, pria dengan kumis lebat itu nampak mengrenyitkan dahi ketika pria tua yang baru saja dikeroyok perlahan bangkit berdiri. Kejutan kecil karena baru kali ini ada seorang ketua kamar justru menjadi sasak hidup bagi penghuni sel lain. 

Ya, pria tua itu adalah Wongso, napi senior yang dikenal sebagai kepala sel nomor 69, tak hanya itu, Wongso juga disegani oleh napi lain karena menjadi "ketua suku" napi dari wilayah barat Indonesia meliputi pulau Jawa dan sekitarnya. Melihat seorang kepala sel dan ketua suku dihajar oleh anak buahnya sendiri tentu menjadi kejutan tersendiri bagi Djarot.

"Bawa dia ke sel isolasi!" Perintah Djarot pada salah satu sipir sambil menunjuk tubuh Wongso. Sigap, dua orang sipir langsung menyeret tubuh pria tua itu keluar dari kamar sel. Senyum tersungging Djaror terlihat saat tubuh Wongso diseret tak berdaya melewatinya.

"Gua kira kalian nggak berani ngasih pelajaran ke tua bangka itu, ternyata Gua salah. Bagus, hari ini kalian makan enak." Ujar Djarot pada kedelapan napi lain.

"Terima kasih bos!" Jawab mereka berdelapan nyaris bersamaan.

Wongso sebenarnya kurang 3 bulan lagi akan bebas setelah menjalani hukuman 10 tahun atas kasus perampokan bersenjata. Citranya sebagai penjahat kelas kakap sudah banyak diketahui oleh orang, khususnya bagi sebagian besar penjahat lain. Hal itulah yang membuat Wongso cukup disegani oleh penghuni sel lain hingga menjadikannya sebagai salah satu ketua suku di lapas. 

Koneksi kuat dengan para sipir dibangun oleh Wongso selama menjalani hukuman, membuatnya tetap bisa mengontrol kegiatan anak buahnya yang masih berada di luar penjara. Djarot tentu tak menutup mata akan hal itu, sebagai kepala sipir dia paham betul penjahat besar seperti Wongso tentu butuh pemasukan agar tetap bisa bertahan hidup di dalam penjara. Situasi yang memberi kesempatan bagi kepala sipir itu untuk ikut merasakan nikmatnya uang haram dari kejahatan Wongso yang masih berjalan di luar sana. 

PAKDHE WONGSOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang