૮₍ ˶ᵔ ᵕ ᵔ˶ ₎ა
Di sebuah hamparan rumput hijau yang indah, dua gadis kecil sedang bermain lari-larian sambil sesekali diselingi tawa kegirangan.
"Gak ketangkap, wle," ledek gadis yang tengah dikejar oleh temannya.
"Awas aja kamu kalau ketangkap. Gak akan Achi lepasin," sahut temannya.
"Coba aja," seru gadis itu lagi sambil kembali berlari setelah tadi berhenti sejenak akibat lelah. Sementara temannya pun ikut berlari mengejarnya sampai kemudian Achi berhasil menangkap dirinya. "KETANGKAP! Yeay, Achi berhasil tangkap Asha," teriaknya gembira.
Asha memasang wajah melas, "Yah, Asha ketangkap, berarti sekarang giliran Asha yang kejar Achi!" Dalam sekejap, wajah melasnya tergantikan dengan wajah riang. Senyumnya merekah saat melihat Achi begitu senang lantaran berhasil menggapai dirinya. "Ayo main lagi!" Ajaknya sambil menarik tangan Achi.
"Gak mau ah, Achi capek, pulang aja yuk." Asha menempelkan jari telunjuknya pada dagu seakan lagi berpikir mengenai ajakan Achi. "Emm, yaudah kita pulang aja," pungkasnya.
Mereka berdua jalan beriringan di trotoar pinggir jalan. Achi mengayun-ayun genggaman tangan mereka sambil bersenandung ria. "Oh iya, Achi lupa bilang sama Asha," celetuknya. Asha menatap Achi lalu bertanya, "Bilang apa tuh?"
Asha dapat melihat bahwa wajah Achi berubah sendu dalam seketika. Ia menangkup wajah Achi dan menampilkan senyuman manis padanya. "Senyum dong, masa murung gitu mukanya, Asha gak suka tahu lihat Achi sedih," ucapnya.
Di bawah langit biru yang mulai menggelap, rintik hujan perlahan turun, menyapa bunga-bunga dipinggir jalan yang merintih menunggu kehadirannya, awan berdansa dalam harmoni, mengukir lukisan di langit yang luas.
Achi berkata lirih tanpa berani memandang wajah Asha, "Sha, Achi akan tinggal di rumah nenek, karena Ayah sama Ibu mau pergi ke Amerika."
Asha terdiam, mencerna baik-baik perkataan Achi, sedetik kemudian ia tersenyum simpul. "Chi, dengerin ya, Asha gak papa kok kalau Achi memang bakalan tinggal sama nenek Achi. Kan cuma sebentar? Nanti kalau Ayah sama Ibu udah pulang, Achi bisa ke sini lagi buat temui Asha."
Mendengar jawaban Asha membuat hati Achi yang kalut menjadi tenang. Ia memeluk hangat sang sahabat dengan begitu erat. "Achi pasti akan rindu sekali sama Asha, gimana kalau misalnya Achi gak balik-balik untuk temui Asha? Asha yang akan temui Achi kan?" Sembari mendekap Asha, Achi terus meracau.
Asha mengelus lembut punggung sahabatnya yang terlihat bergetar akibat menangis. "Cup cup cup, tuan putri Achi tidak boleh menangis, nanti jadi jelek. Mau jadi jelek?" ucapannya mendapat jawaban berupa gelengan kepala dari Achi. "Baik, kalau begitu berhenti menangis dan ayo segera pulang," ajak Asha.
Bau tanah basah melingkupi sekitar, menyentuh indera penciumannya dengan lembut. Gemuruh pelan pun ikut ambil serta mengiringi hujan yang turun. Seakan mengerti dengan perasaan pilu kedua gadis kecil berusia enam tahun tersebut.
✎﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏
"Sudah ingat?" tanya Leon.
Menantikan jawaban Resha membuat Leon gregetan sendiri. "Kamu ingatkan?" tanyanya lagi. "Achi menceritakan semuanya pada saya melalui sambungan telepon waktu itu."
Resha menggeleng samar, "Gue gak ingat apapun, gue gak ngerti sama cerita yang barusan lo kasih tahu ke gue."
"Bohong! Kamu gak mungkin amnesia kan, Sha? Saya butuh kejujuran kamu, Sha!" Seru Leon tanpa sadar meremas kuat bahu Resha hingga menyebabkan sang empu meringis, "Sakit Leon."
Begitu sadar, ia langsung melepaskan tangannya dan meminta maaf. "Maaf, saya kelepasan."
Sekarang apa yang harus saya lakukan, saksi mata saat itu hanyalah Resha, karena seperti yang dibilang oleh Dirga, kala itu Resha lah yang berada di tempat kejadian. Batin Leon.
Tok tok tok! Suara pintu yang diketuk mengalihkan atensi pasutri tersebut, mereka saling tatap, lalu Leon bangkit dari duduknya guna membukakan pintu diikuti oleh Resha yang penasaran siapa si pengetuk pintu. Saat pintu telah terbuka, mereka melihat Hera berdiri di sana.
"Hai, gue cuma mau ngasih tahu ke kalian, kalau bokap gue baru aja sampai dan sekarang ada di bawah sama om Edwin." Mendengar perkataan yang disampaikan Hera bikin Leon menggeram tertahan. Tua bangka itu mau apa kemari? batinnya.
"Apa urusannya dengan saya dan istri saya? Silahkan pergi, karena pasutri baru ingin menghabiskan waktu berdua," tegas Leon seraya menekankan kata istri saya.
Hera tersenyum sinis menanggapi ucapan Leon. Sebelum melengos pergi, ia menyempatkan diri untuk melirik sekilas pada Resha dan berkata, "Milik saya, tetap akan menjadi milik saya. Jangankan orang asing, yang sedarah dengannya saja bisa dilenyapkan."
Resha menahan Leon yang seperti ingin membalas perkataan Hera. "Jangan lakukan apapun," bisiknya.
Setelah Hera berlalu, Leon langsung menutup pintu dengan kasar. "Bangsat! Apa maksud ucapannya barusan?"
Resha tersenyum tipis, Leon tidak melihatnya karena ia sibuk dengan pikirannya sendiri. "Ingat baik-baik ucapan gue! Main tenang tanpa aksi dan reaksi," ujar Resha.
Leon menatap bingung pada Resha, "Leon, atasi sifat tempramental lo, atau lo gak akan selamat. Suruh aja Dirga tinggal di rumah ini. Oh iya, gue gak mau manggil lo ataupun Dirga dengan sebutan abang maupun embel-embel lainnya, karena usia kita tak terlalu jauh."
Bukannya mengerti, Leon justru dibuat semakin bingung dengan perkataannya yang berbelit-belit. "Katakan dengan jelas, Resha."
"It's not as easy as you think, Leon. Kita bermain, akan menyenangkan jika kita berhasil menangkap bajingan dengan jebakan. Jangan gegabah, santai saja. Kita ikuti permainan sampahnya."
"Katakan dengan lebih jelas, Resha! Tidak perlu bertele-tele seperti ini!" Geram Leon.
Resha tersenyum simpul, ia menepuk-nepuk lembut pipi Leon sambil berucap, "Calm down darling, no need to get emotional."
૮₍ ˶ᵔ ᵕ ᵔ˶ ₎ა
KAMU SEDANG MEMBACA
Calon (Pasutri) [PRE ORDER]
Fiksi RemajaJudul sebelumnya: My Husband is My Ex-Crush DILARANG KERAS PLAGIAT‼️ JANGAN JADI SIDERS, YA READERS YA‼️ HASIL PEMIKIRAN SENDIRI‼️ ••• Seorang perempuan berusia 19 tahun terpaksa menjalin kasih dengan seorang pria berumur 20 tahun atau lebih tepatny...