"Kalau perjalanan kisah cinta kita semudah itu untuk dilalui, apa kamu tidak merasa bosan dengan jalannya yang selalu begitu?"
HAPPY READING
Cinta adalah perasaan yang begitu indah. Cinta mampu mewarnai hidup kita dengan kehangatan dan kebahagiaan. Semua orang pasti pernah merasakannya—termasuk Gibran Narendra, seorang siswa SMA kelas 11 yang di kala itu, ia pernah jatuh cinta begitu dalam pada seseorang. Namun, siapa sangka, perasaan yang penuh harapan itu justru berakhir dengan penolakan yang menyakitkan.
Gibran menghabiskan waktu berbulan-bulan mengejar seorang perempuan bernama Kirana Athasia, yang merupakan teman sekelasnya. Kirana adalah sosok yang mandiri dan dewasa, sifat yang membuat Gibran jatuh hati sejak pertama kali mengenalnya. Tapi, berkali-kali Gibran mencoba mendekati Kirana, berkali-kali pula ia dihadapkan pada penolakan.
"Sampai kapanpun gue gak akan pernah menerima cinta lo, Gib," ujar Kirana dengan nada suara yang tegas.
Gibran yang mendengar pernyataan itu hanya bisa terdiam. Kata-kata itu terasa seperti seribu belati yang menusuk hatinya tanpa ampun. Tapi kali ini, ia bertekad untuk melepaskan.
"Oke, kalau itu yang lo mau," gumam Gibran pelan, menahan kekecewaannya. "Mulai besok gue gak akan ngejar-ngejar lo lagi."
Meski begitu, di balik ketegasannya, Kirana merasakan sesuatu yang aneh. Rasa bersalah muncul, namun ia menepisnya dengan keyakinan bahwa ini adalah keputusan yang benar. Waktu berlalu, dan Kirana berpikir bahwa Gibran akan terus menunggunya. Namun, sebulan kemudian, keadaan berbalik.
Satu bulan berlalu. Gibran tidak lagi muncul di hadapannya. Tak ada lagi pesan-pesan singkat yang menanyakan kabar atau tawaran untuk bertemu. Awalnya, Kirana merasa lega karena Gibran menepati janjinya. Tapi, lambat laun, rasa lega itu berubah menjadi rasa kehilangan yang tak terduga. Hatinya mencelos ketika ia mendengar dari teman-teman bahwa Gibran sudah mulai dekat dengan seorang gadis lain—Bianca.
Kirana terkejut, bahkan mungkin sedikit panik. Gibran yang dulu begitu gigih mengejarnya, kini terlihat tertawa dan bahagia bersama orang lain. Perasaan menyesal menghantamnya. Tanpa berpikir panjang, Kirana mendatangi Gibran untuk mengajaknya bicara.
"Gibran, aku ingin kita bicara," ujarnya, suaranya bergetar.
Gibran menatapnya dengan tatapan datar, berbeda dengan tatapan penuh harapan yang dulu sering ia tunjukkan. Setelah beberapa saat hening, ia akhirnya mengangguk.
"Butuh waktu lama untuk melupakan kamu, Kirana," katanya dengan suara pelan. "Kenapa baru sekarang?"
"Aku… Aku sadar kalau aku masih sayang sama kamu," Kirana mengakui dengan suara gemetar. "Maaf kalau aku nyakitin kamu dulu."
Gibran terdiam. Bagian dari dirinya masih menginginkan Kirana, masih mencintainya. Dan setelah perbincangan panjang, mereka akhirnya memutuskan untuk mencoba lagi, memberinya kesempatan kedua.
Hubungan mereka dimulai dengan hati-hati. Gibran yang dulu hanya berperan sebagai pengejar, kini menjadi seseorang yang lebih pendiam dan tertutup. Sementara Kirana berusaha keras untuk menunjukkan bahwa ia benar-benar tulus kali ini. Hari-hari pertama terasa manis, dipenuhi dengan percakapan-percakapan dalam dan momen kebersamaan yang mendekatkan mereka.
Namun, bayangan masa lalu terus menghantui hubungan mereka. Kirana tak bisa sepenuhnya menyingkirkan rasa cemburunya terhadap Bianca. Meskipun Gibran meyakinkannya bahwa dirinya dan Bianca hanyalah teman biasa, Kirana tetap khawatir bahwa Gibran mungkin masih memikirkan Bianca-seorang gadis yang tak sengaja pernah ia temui.
"Kamu masih mikirin Bianca?" tanya Kirana suatu malam, ketika Gibran terlambat membalas pesannya.
Gibran menghela napas panjang. "Enggak, aku cuma sibuk dengan tugas-tugas sekolah."
"Tapi kenapa selalu dia yang kamu ceritakan padaku?" tuntut Kirana, suaranya bergetar.
Perkataan itu membuat Gibran merasa marah sekaligus lelah. Ia sudah berusaha sebaik mungkin untuk mencintai Kirana dan meyakinkan bahwa dirinya tidak menyimpan perasaan pada orang lain, tapi rasa tidak percaya itu tak pernah hilang. Setiap kali mereka bertengkar, selalu berputar pada hal yang sama—bayangan Bianca.
"Aku udah bilang, aku nggak mikirin dia lagi!" seru Gibran frustasi. "Apa kamu nggak percaya sama aku?"
Kirana menunduk, terisak. Di dalam dirinya, ia tahu Gibran berkata jujur. Tapi rasa takut kehilangan itu terlalu kuat. Keputusan Gibran untuk kembali padanya sering kali terasa seperti keajaiban yang rapuh, yang bisa pecah kapan saja.
Minggu-minggu berlalu. Pertengkaran mereka semakin sering, rasa curiga Kirana semakin menjadi-jadi. Di saat yang sama, Gibran merasa cintanya semakin terkikis oleh konflik yang tak pernah usai.
Sampai pada suatu titik, mereka berdua akhirnya sadar bahwa kepercayaan di antara mereka tidak pernah benar-benar ada. Mereka duduk berdua di sebuah kafe, wajah mereka penuh kelelahan.
"Kita nggak bisa begini terus," bisik Gibran pelan, matanya menatap lurus pada Kirana. "Aku sayang sama kamu, tapi aku capek."
Kirana terdiam, air matanya mengalir. Ia ingin memohon, ingin meminta Gibran bertahan, tapi hatinya tahu bahwa apa yang dikatakan Gibran benar. Tanpa kepercayaan, cinta mereka tak akan bisa bertahan.
"Aku… aku ngerti," jawab Kirana, suaranya nyaris tak terdengar. "Aku juga capek terus curiga sama kamu."
Gibran mengangguk pelan. "Mungkin… mungkin lebih baik kita sudahi saja."
Hening menyelimuti mereka berdua. Tidak ada teriakan, tidak ada amarah. Hanya keheningan yang mengiringi akhir dari hubungan yang seharusnya penuh cinta.
Dan dengan begitu, Gibran dan Kirana mengakhiri cerita mereka—bukan karena tak ada cinta, tetapi karena kepercayaan yang tak pernah mereka temukan sejak awal.
Bersambung...
-JANGAN LUPA Di VOTE YA-
KAMU SEDANG MEMBACA
Perantara Gidara
Teen FictionAdara Bianca & Gibran Narendra adalah kisah tentang pertemuan dua jiwa yang terjalin dalam konflik. Adara, sosok gadis yang sulit percaya dengan orang yang sudah mengecewainya dan Gibran, sosok pemuda yang berjuang untuk mendapatkan hati Adara meski...