Spanduk yang di pampang besar-besar di tengah lapangan dengan empat laki-laki ber-jas merah, membuat kantukku seketika hilang. Gambar pemandangan alam yang begitu terlihat nyata membuatku tertarik untuk bergabung dengan eskul yang satu itu. Setelah belasan eskul mempertontonkan demo mereka masing-masing, hanya ini yang dapat memikat perhatianku di hari pertama sekolah.
Estrakrikuler pecinta alam.
BAPALA.
Barisan Pecinta Alam.
Seorang laki-laki berjas merah yang paling tinggi memutar lapangan sambil membagikan formulir. Aku yang kebetulan duduk di barisan paling belakang, mencoba berlari agar dapat salah satu formulir itu. Sayangnya, rok span sialan yang baru ku kenakan hari ini membuat aku kesusahan berlari, hingga akhirnya terjatuh dengan posisi telungkup di barisan tengah. Membuat hampir seisi lapangan menoleh ke arahku, mulai terdengar beberapa cekikikan tawa yang menggema. Tapi, tidak sedikit juga yang merasa iba.
Aku tidak berani mengangkat pandanganku. Aku hanya menunduk sambil mencoba untuk duduk. Tiba-tiba ada lengan yang membantuku untuk berdiri.
"Kita ke UKS ya,"
Aku menoleh, menatap perempuan cantik di sebelahku. Ia tersenyum masih sambil membantuku berdiri. Sepanjang perjalanan menuju UKS, aku menunduk saja, malu. Dan, untungnya UKS berada tidak jauh dari kami.
Sesampainya di UKS, ia membantuku membersihkan luka. Karena anggota PMR yang berada di dalamnya sedang sibuk mengobati para murid baru yang jatuh sakit, bahkan tidak sedikit yang pingsan.
"Sebenarnya aku agak takut sih sama darah, tapi ngga papa deh," katanya masih sambil tersenyum.
"Maaf ya merepotkan, dan terima kasih," kataku tidak enak.
"Iya tidak apa-apa, kembali kasih"
"Namaku, Raisa. Kamu?"
ᴥᴥᴥ
Karena insiden jatuh tadi, rok bagian depanku tepat di lutut sebelah kanan, sobek. Setiap berjalan, aku harus melipatnya menggunakan tangan, agar lututku yang kini lecet, tidak terlihat. Dan, aku selalu menunduk, takut-takut ada yang mengenaliku dan menertawakanku karena hal memalukan tadi.
Saat ini, aku sedang berjalan menuju aula untuk mendapat formulir baru eskul Bapala. Sudah terlihat, beberapa senior ber-jas merah yang berjaga di meja stan Bapala, dan beberapa siswa-siswi kelas sepuluh baru yang ingin mendaftar juga.
Sesampainya di aula, aku harus mengantre. Tidak terlalu panjang, namun cukup melelahkan untuk menunggu.
10 antrean lagi.
8 antrean lagi.
3 antrean lagi
Dan akhirnya, giliranku.
"Terima kasih, kak" kata ku sambil mengambil formulir.
Ku lihat badge nama di jas merah nya itu. Rama Muzakir. Nama yang bagus.
"Jangan panggil kak, panggil saja Mas Rama" katanya sambil tersenyum.
Aku mengangguk, lalu ikut tersenyum. Senyum Mas Rama lucu tapi berwibawa.
Setelah mengisi formulir, aku kembalikan lagi kepada Mas Rama. Lalu, seorang perempuan dengan rambut dikucir kuda berjalan ke depan, ia dapat dengan mudah mengambil atensi orang-orang di sekitarnya, membuat semua pasang mata melihat ke arahnya.
"Untuk calon anggota baru, diperkenankan hadir dalam kumpul pertama Bapala. Siang ini, di Markas Bapala. Sepulang sekolah," ucapnya tegas dan menginterupsi.
ᴥᴥᴥ
Sepulang sekolah, tanpa teman. Aku bergegas menuju Markas Bapala. Aku mengetuk pintu beberapa kali sebelum masuk, setelah pintu dibuka rupanya sudah ada beberapa yang datang. Aku memilih duduk di bangku bagian paling depan, di tengah ruangan, karena bangku tersebut masih kosong.
Sambil menunggu kegiatan ini dimulai, aku memilih mendengarkan musik hingga seseorang disebelahku menepuk pundakku.
"Kamu bawa pulpen?" tanyanya.
"Astaga, Zea?" Ucapku senang.
Zeany Ashilla, perempuan cantik yang tadi telah menyelamatkanku dari rasa malu akibat insiden memalukan itu. Tidak ku sangka, Zea juga tertarik dengan Bapala.
"Selamat siang,"
Suara berat dari depan membuat semua obrolan berhenti dan hanya fokus mendengar.
"Perkenalkan nama saya, Rama Muzakir. Saya adalah ketua Bapala tahun ajaran ini. Panggil saja, Mas Rama, sebelum masuk ke pengenalan Bapala. Saya ingin mengenal kalian terlebih dahulu. Kita akan mengadakan sesi perkenalan, dimulai dari ujung sebelah kiri. Silahkan,"
"Perkenalkan nama saya, Alan Yudhistira. Panggil saja, Alan," kata laki-laki pertama.
Mas Gama menyela, "Oh iya, sebutkan juga apa alasan kalian masuk ke Bapala,"
"Alasan saya, emm.. ucap laki-laki bernama Alan tadi sedikit berpikir, lalu setelah jeda beberapa lama, ia melanjutkan, saya ingin sering jalan-jalan dan ngalam.
Apa itu ngalam? tanya Mas Gama.
Ya main ke alam gitu, jalan-jalan.
Sumpah, itu alasan paling naif untuk masuk ekstraakurikuler yang pernah aku dengar. Dan benar, semua yang ada di ruangan tertawa mendengar alasannya. Termasuk para senior, sampai mengelilingi meja laki-laki tadi sambil tertawa. Dan itu membuatku tidak dapat melihat wajah Alan, padahal aku penasaran sekali dengan laki-laki lugu itu.
Setelah Alan, perkenalan berlanjut dengan meriah. Hingga perkenalan selesai, Mas Gama kembali berbicara didepan.
"Kami butuh formulir dari kalian sekali lagi, dan yang paling penting adalah izin dari orang tua dan tes kesehatan. Karena Bapala akan sering berpergian ke tempat-tempat yang butuh tenaga ekstra dan izin dari orang tua pastinya. Bahkan, kita bisa pergi ke luar provinsi. Jadi, saya tunggu izin dan hasil tes itu, sampai 3 hari lagi, yang dapat mengumpulkan kalian Selamat kalian dapat bergabung dengan Bapala dan yang tidak, maaf sekali, kalian tidak dapat bergabung dengan kami."
ᴥᴥᴥ
Ini sih yang sulit. Bagaimana caranya agar aku mendapat izin dari ayah dan bunda untuk mengikuti eskul Bapala. Apa yang harus ku katakan supaya mereka dapat memberi izin dengan mudah?
"Bun, aku mau ikut eskul di sekolah, tapi harus ada izin dari orang tua. Di kasih izin kan bun?" tanyaku sambil menarik pelan baju belakang yang dikenakan bunda.
Bunda yang tengah memasak untuk hidangan makan malam, menoleh. "Eskul apa?"
"Bapala bun,"
"Kok kayak lagu nya Judika ya, Ra?"
Aku berpikir sebentar, bunda memang penggemar berat penyanyi bersuara emas itu. Aku mencoba mengingat-ingat lagunya yang berbau Bapala. Tapi, tidak juga ku temukan apa yang bunda maskud, "Hah? Emang ada ya Bun?"
"Ada yang gini loh Ra, ucap Bunda lalu mengambil napas, berbalik ke arahku dan menggunakan spatula sebagai microphone nya.
Bunda mulai bernyanyi,
Kamu segalanya..
Tak terpisah oleh waktu
Biarkan bumi menolak ku tetap cinta kamu.."
Aku menepuk jidat, "Itu Mapala bun, Ma-pa-la."
Bunda tersenyum dengan memperlihatkan giginya, "Ih anak bunda pinter. Hafal lagu kesukaan bundanya, ucap Bunda sambil mengelus-elus kepalaku, Ngomong-ngomong, Bapala itu eskul apa Ra? Ngapain?"
"Pecinta alam gitu bun,"
"APA?!"
Bunda terdengar begitu terkejut mendengar jawabanku. Sebenarnya aku sih yang terkejut dengan reaksi berlebihan bunda. Coba saja kamu bayangkan, di dapur saat malam hari seperti ini. Ibumu berteriak seperti tadi dan seakan ada kamera yang menyorot tepat didepan wajahnya seperti adegan dalam sinetron saat tokoh antagonis sedang naik darah.
"Kenapa bun? Ngga boleh ya?" Aku bertanya, takut-takut bunda langsung tidak memberikan izin.
Bunda mengatur ekspresinya lalu tersenyum lagi, "Bunda sih, boleh aja. Coba tanya sama ayah,"
"Terus tadi bunda kenapa kaget gitu?"
"Oh tadi, lagi latihan akting aja sih. Cocok juga kayanya bunda jadi artis kaya Meriam Belina."
Ya ampun bunda, untung ibu kandung.
KAMU SEDANG MEMBACA
ELEGI WIYATA
Teen Fictionresposted on ASA by my another accound that has been locked @MeilindaErsa