3 bulan berlalu begitu cepat, kini semua anggota Bapala rasanya sudah seperti keluarga sendiri, terlebih angkatanku, angkatan Garuda. Aku merasa memiliki keluarga kedua selain keluargaku di rumah. Terlebih, aku dan Zea yang menjalin persahabatan sejak kejadian memalukan masa orientasi silam.
Tapi, tidak dengan Alan. Tidak seperti anggota Bapala lainnya, yang sudah saling menganggap layaknya keluarga. Alan masih tetap sama seperti Alan yang dulu. Tidak banyak bicara, lebih banyak diam, dan hanya akan tersenyum kecil bila ada yang melemparkan lelucon.
Laki-laki itu benar-benar pelit ekspresi. Jarang tersenyum, jarang tertawa, bahkan berbicara jika hanya ada yang bertanya kepadanya saja. Ternyata, rumor Alan jutek itu benar, dan aku merasakannya sendiri!
Sepulang rapat Bapala, aku memilih mengikuti Alan untuk berjalan bersama hingga depan sekolah dan menunggu angkot bersama. Awalnya, aku berjalan satu langkah dibelakangnya dan hanya mengikutinya dari belakang. Namun, lama kelamaan aku gemas juga, akhirnya aku memutuskan untuk berjalan di sampingnya. Setengah perjalanan 'kami' tidak berbicara satu patah katapun ('kami' disini, maksudnya dia. Karena aku sedikit bersenandung untuk menghilangkan rasa canggung). Hingga kami melewati sebuah warung, aku menghentikan langkah dan ia ikut berhenti.
"Kamu mau beli minum?" tawarku.
Ia menatapku polos, lalu menggeleng tanpa berbicara.
"Oke, aku beli minum dulu. Tunggu ya," kataku, tanpa menatapnya.
Ia mengangguk.
Aku masuk ke warung tersebut, dan memaki-maki diriku sendiri. Merutuki betapa bodohnya aku. Harusnya tadi aku tidak usah berbicara saja kepadanya, dan kalau perlu tadi aku tahan saja rasa haus ku daripada harus berujung malu seperti ini!
Setelah membayar air mineral dingin yang ku pegang ini, aku segera keluar dan berjalan mendahului Alan tanpa berbicara apapun kepadanya. Sumpah, aku malu!
Sepertinya, aku akan mundur saja dari perjuanganku untuk mendapat laki-laki yang satu ini.
ᴥᴥᴥ
Sudah tiga hari aku memutuskan untuk menghindari Alan. Sangat sulit ternyata, mungkin karena kami berada dalam sekolah yang sama, terlebih satu estrakurikuler. Di markas, aku sebisa mungkin tidak mengajak Alan berbicara, tidak menatap Alan, dan bahkan tidak membahas Alan dengan Zea. Aku sudah ungkapkan keinginanku untuk move on dari Alan, dan Zea mendukung keinginanku itu. Karena katanya, halu ku tentang Alan sudah berada di stadium 4, mematikan.
Sepulang sekolah hari ini, aku dengan sabar menunggu angkot di depan halte seperti biasanya.
Tiiiiinn... tiiin...
Suara klakson mengejutkanku, aku menatap pengendara dibalik helmnya. Aku belum dapat mengenali siapa dibalik helm itu, hingga akhirnya ia melepas helm nya. Dan, aku menemukan ternyata dia
Anggar Saputra.
Salah satu sahabatku, di SMP. Anggar saat di SMP dulu adalah anggota Pramuka, salah satu sahabat dekat Aldi –mantanku selain Asraf-. Aku dan Anggar, menjadi sahabat, karena dulu aku hampir setiap hari meminta Anggar untuk memantau gerak-gerik Aldi. Sering menjadikannya tempat curhat, dan tempat pengaduan bila Aldi membuatku menangis.
Sudah cukup, mengenang masa lalu nya bukan? Mari kita membahas ceritaku yang selanjutnya.
"Raisa!" Panggilnya sambil turun dari motornya.
Aku tersenyum, lalu menghampirinya dan memukul bahu nya pelan setelah ia berada di dekatku.
"Anggar! kemana saja?" Pertanyaan basa-basi.
Ia tersenyum, lalu seperti kebiasaannya dulu, mencubit ujung telinga kiriku dengan gemas.
"Kamu yang kemana saja? Ganti nomor whatsapp kok ngga bilang-bilang! Jadi susah dihubungi kan," omelnya panjang.
Aku hanya terkekeh, lalu menatap motornya.
"Wah, baru ya? Boleh dong, nebeng. Anter sampai rumah, ya?" Pintaku sedikit memaksa.
"Ah, engga ah. Ngga boleh."
"Panas tau Gar, daritadi aku sudah berdiri disini, cuma aku belum dapat angkot. Kamu ngga kasihan sama aku?"
Anggar menggaruk tengkuknya, terlihat berpikir.
"Iya iya deh, dasar mantannya Aldi!" ucapnya sambil berlari ke arah motornya.
"Heh, ngga usah bawa-bawa mantan ya kamu!" balasku, sambil ikut berlari menuju motornya.
Setelah kejar-kejaran, Anggar benar mengantarku pulang, sebelum sampai di rumah, ia mengajakku makan mie ayam Pak Mul di dekat pengkolan menuju rumahku. Katanya, ia ingin sekali-sekali mentraktirku yang wajahnya seperti pengemis memelas siang hari ini.
Anggar sialan.
ᴥᴥᴥ
Seminggu setelah kejadian siang itu, aku dan Anggar kembali dekat. Saat ini kedekatan kami melebihi kedekatan sepasang sahabat. Anggar yang memberikan perhatian lebih kepadaku, dan aku yang membalas perhatiannya, membuatku sedikit lupa tentang perasaanku pada Alan.
Anggarrrr
Ra
Oit
Read.
Makan belum?
Udah Gar, kamu?
Read.
Sayang sm kamu aj udah. Masa makan blm??
Heh, diajarin sp gombal gtu!
Read.
Cabad gw kan raja gombal ra.
Lo lupa ya?:(
Alay bngt sih, sp emang
Read.
Mantanmu:(
Aldi tercayank kan ra?
Najis!
Read.
Anggar memang suka bercanda dari dulu, tapi leluconnya akhir-akhir ini membawa-bawa masalah perasaan. Jadi tidak salah kan kalau aku terbawa perasaan?
ᴥᴥᴥ
Percakapan diatas mungkin adalah yang terakhir kalinya aku masih bisa tertawa dengan lelucon Anggar. Karena, setelahnya ia memutuskan untuk menyatakan perasaannya kepadaku. Dan, tidak sampai seminggu dengan alasan jarak dan waktu, ia memutuskan untuk menghilang dan pergi dari hidupku.
Benar-benar pergi dan menjauh. Sebetulnya ada rasa sakit dan sesak yang tidak bisa diterima. Namun, ada perasaan lega yang menyusup ketika aku sadar perasaanku terhadap Anggar adalah bukan perasaan sebenarnya. Melainkan sebuah pelarian dari perasaanku terhadap Alan yang tidak terbalaskan.
I'm So Sick Of This
Fake Love, Fake Love
Fake Love
I'm So Sorry But It's
Fake Love, Fake Love
Fake Love
Karena akhirnya aku sadar, aku masih mengharapkan balasan perasaan dari Alan.
ᴥᴥᴥ
Lebih baik cinta bertepuk sebelah tangan, daripada cinta karena perasaan kasihan.
KAMU SEDANG MEMBACA
ELEGI WIYATA
Teen Fictionresposted on ASA by my another accound that has been locked @MeilindaErsa