bagian 6

0 0 0
                                    

Waktu berjalan dengan cepat tanpa peduli perasaan yang tertinggal atau yang senang-- karena menang dapat mengaturnya. Waktu tidak pernah ingin kembali, katanya biar saja orang yang lalai terhadapnya, menyesali dan berharap semua yang ada tidak pernah terjadi.

Begitupun aku, sudah hampir satu semester aku berada di sekolah ini. Rasanya, kalau ditanya keinginanku saat ini. Aku ingin kembali, di masa orientasi kala itu. Aku tidak ingin mengejar-ngejar Mas Gama untuk mengambil brosur Bapala hingga aku terjatuh dan menjadi bahan tertawaan semua teman-teman baruku. Aku tidak ingin masuk ke markas Bapala dan bertemu dengan Alan. Aku tidak ingin mengenal Alan, berbicara dengannya atau bahkan menyukai nya.

Benar, aku begini karena perasaanku pada Alan.

Semua ini karena Alan.

Freeclass hari ini, membuatku begitu kesal. Bagaimana tidak? Aku sudah bersusah payah membuat tugas yang tadinya akan dikumpulkan hari ini. Sampai-sampai aku harus lembur tadi malam untuk mengerjakannya. Dan, sialnya guru Sastra Indonesia yang menyebalkan itu tidak datang pagi ini.

Aku benar-benar kesal. Tapi, tidak dengan teman-temanku. Mereka bahkan loncat kegirangan dan banyak-banyak mengucap syukur ketika ada kabar bahwa guru Sastra Indonesia, yang kami panggil 'nenek' (karena sudah tua dan cerewet) itu tidak berangkat.

Memang  rasanya seperti ini, ketika kamu sudah mati-matian mengerjakan tugas untuk hari ini tapi ternyata guru yang meminta tugas itu tidak berangkat. Seperti di iklan air mineral, kalau air mineral itu kan, 'kayak ada manis-manisnya gitu'. Lah, kalau ini, 'kayak ada nyesek-nyeseknya gitu'.

Aku menangkupkan kedua tanganku di wajahku, ingin menangis kencang. Seharusnya tadi malam, aku dapat tertidur pulas dan tidak mengantuk seperti saat ini, kalau saja aku tidak sibuk mengerjakan tugas sialan itu. Bayangkan saja, kamu harus membuat 2 cerita nonfiksi yang benar-benar memperhatikan tata bahasa, tanda baca, dan pengejaan yang tepat. Dan, ketika kamu sudah mengerjakannya dengan begitu teliti dan hati-hati, tugas itu justru tidak jadi dikumpulkan hari ini. Kesal sekali bukan?

Aku merogoh saku rok ku, dan serangan jantung kecil muncul, ketika aku menyadari bahwa ponselku tidak ada disana. Aku sedikit panik, lalu berlari keluar kelas untuk pergi ke markas. Sepertinya, aku meninggalkannya di sana.

ᴥᴥᴥ

Sampai di depan pintu markas, aku mencari kuncinya. Semua anggota Bapala tahu tempat dimana kami menyimpan kunci markas, dan ini hanya rahasia anggota Bapala. Karena kamu bukan anggota Bapala, jadi aku tidak bisa memberitahumu ya.

Aku membuka kuncinya, segera masuk, lalu menutupnya kembali. Aku berlari kecil, mencari ponselku di setiap sudutnya. Astaga, bagaimana ini? Kenapa tidak dapat ku temukan? 

Klek.

Pintu dibuka.

Astaga siapa itu? Apakah itu guru yang akan memergokiku dan mengira kalau aku bolos kelas disini?

"Sedang apa?"

Ini lebih menyeramkan dari guru yang datang. Ternyata, dia Alan. 

Lebih menyeramkan bukan?

"Ponselku hilang, aku lupa menaruhnya dimana"

Ia mengangguk paham, lalu merogoh saku celananya. Mengambil ponselnya, lalu menelpon seseorang dan suara nada dering ponselku terdengar nyaring di markas. Aku langsung mencarinya, dan betapa bodohnya aku ketika baru tersadar aku tadi menyimpannya di kolong meja. Ponselku yang kehabisan daya membuatku mencharge nya dan lupa mengambilnya. Sial, aku terlihat bodoh lagi di depan Alan. Memalukan sekali.

ELEGI WIYATATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang